Beranda > halaman > Mengkritisi Hadits Populer

Mengkritisi Hadits Populer




MUQODDIMAH

 

الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ
Sesungguhnya telah mutawatir dalam timbangan ahli hadits bersabda:bahwa Rasulullah

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Barangsiapa berdusta padaku dengan sengaja, maka hendaknya dia bersiap-siap mengambil tempat di Neraka.

Pada zaman kita sekarang, telah banyak beredar beberapa hadits palsu yang dilariskan oleh para penceramah di mimbar, di sekolah dan perkumpulan-perkumpulan, disebabkan kurangnya pengetahuan manusia tentang ilmu hadits dan sedikitnya orang yang ahli di bidang hadits.

Sungguh, merupakan musibah besar yang melanda kaum muslimin sejak dahulu hingga sekarang adalah menyebarnya hadits-hadits lemah dan palsu di tengah-tengah mereka, sehingga hampir tidak pernah kita mendengar ceramah seorang ustadz atau khutbah seorang khatib melainkan mereka membumbuinya dengan hadits-hadits yang tidak shahih dari Rasulullah

Hadits-hadits lemah dan palsu itu begitu banyak sekali, ratusan bahkan ribuan! Bagaimana tidak, seorang zindiq saja pernah membuat hadits palsu sebanyak empat ribu hadits ! Dan tiga orang yang terkenal sebagai pemalsu hadits pernah membuat hadits palsu lebih dari sepuluh ribu hadits! Ditambah lagi hadits-hadits yang disebarkan oleh manusia dengan berbagai tujuan baik politik, fanatik golongan, taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah ala mereka, orang-orang sufi dan para fuqoha yang kurang perhatian terhadap hadits. Semua itu banyak sekali bertebaran dalam kitab-kitab fiqih, tafsir, akhlak dan sebagainya.

Tetapi Alloh telah berjanji akan menjaga kemurnian agama ini dengan dibangkitkannya para ulama ahli hadits yang berjuang dengan penuh kegigihan . Oleh karena itu, tatkala dikatakan kepada Imam Abdullah bin Mubarak: “Ini adalah hadits-hadits dusta”. Beliau menjawab: “Akan hidup para pakar ahli yang menanganinya”.

Suatu saat, Khalifah Harun ar-Rasyid pernah menangkap seorang zindiq dan hendak membunuhnya, lalu beliau bertanya: “Bagaimanakah dirimu dari seribu hadits yang kau buat-buat?! Si zindiq tersebut menjawab: Bagaimanakah dirimu wahai musuh Allah dari Abu Ishaq al-Fazari dan Ibnul Mubarak yang menyaringnya satu persatu?!!

Ibnul Jauzi berkata: “Tatkala seorang tidak dapat untuk membuat ayat-ayat palsu pada Al-Qur’an, maka suatu kaum menuju kepada hadits dengan membuat-buat hadits yang tidak pernah beliau Rasulullah ucapkan, lalu Allah membangkitkan para ulama untuk membela hadits dan menjelaskan mana yang shahih dan lemah. Tidak akan sepi suatu masa dari mereka, hanya saja para ulama tersebut jumlahnya sedikit pada zaman kita sekarang.
وَقَدْ كَانُوْا إِذَا عُدُّوْا قَلِيْلاً فَقَدْ صَارُوْا أَعَزَّ مِنَ الْقَلِيْلِ
Mereka apabila dihitung berjumlah sedikit
Dan kini mereka sangat sedikit sekali.

Kalau demikian keadaannya pada masa Ibnul Jauzi, lantas berapa kiranya jumlah para ulama pembela hadits pada zaman kita sekarang?!
Saya amat yakin bahwa usaha menulis buku seperti ini akan didukung oleh pecinta ilmu yang tidak terbutakan oleh hawa nafsu, karena dengan usaha ini akan tersaringlah hadits-hadits yang dianggap hadits padahal bukan. Dahulu, Imam Abdur Rahman bin Mahdi saja pernah mengatakan:
لأَنْ أَعْرِفَ عِلَّةَ حَدِيْثٍ عِنْدِيْ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَكْتُبَ حَدِيْثًا لَيْسَ عِنْدِيْ
Saya mengetahui kecacatan suatu hadits yang ada padaku, itu jauh lebih saya sukai daripada menulis hadits yang tidak ada padaku.

Perlu dicermati juga bahwa hadits-hadits lemah dan palsu ini memiliki dampak negatif dan kerusakan yang lumayan banyak pada masyarakat, baik berkaitan dengan aqidah mereka, cara ibadah mereka, dan lain sebagainya.

Metode Penulisan

Sebenarnya, sejak lama terlintas angan-angan dalam hati ini untuk mengumpulkan hadits-hadits lemah dan palsu yang banyak beredar di masyarakat kita, Indonesia sebagai sumbangsih kami dalam menyebarkan ilmu dan membantu saudara-saudara kami dalam menambah wawasan mereka tentang ilmu hadits. Namun, Allah Yang Maha bijaksana baru mentaqdirkan dan memudahkan saya untuk mewujudkan angan-angan tersebut sekarang. Kami bersukur kepada-Nya atas segala karunia dan rahmat-Nya yang tak terhingga jumlahnya.
Buku yang ada di hadapan anda sekarang ini adalah upaya sederhana dari penulis yang faqir ini untuk mewujudkan angan-angan di atas, sebagai dari kedustaan. Buku inipembelaan kepada agama dan nabi Muhammad memuat lebih dari 125 hadits yang populer dan banyak dikomsumsi oleh para penulis, khathib, muballigh dan sebagainya. Semoga buku ini bermanfaat bagi kita semua.

Adapun metode penulisan ini yang perlu diketahui oleh pembaca adalah sebagai berikut:

1. Saya mencantumkan sepuluh kaidah dan faedah berharga sebagai pengantar buku ini
2. Saya banyak menukil dan meringkas tulisan ini dari kitab besar Syaikh al-Albani yang sangat bermutu “Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah” karena kitab tersebut merupakan kamus terbesar menurutku tentang masalah ini dan beliau telah melakukan penelitian tajam tentang kajian haditsnya dan mengumpulkan keterangan ulama dari banyak sumber . Ditambah lagi, untuk memudahkan penulis dan meringankan bebannya dalam penulisan
3. Apabila saya tidak menemukan dalam adh-Dha’ifah, maka saya akan berpindah pada kitab-kitab hadits lainnya
4. Apabila ada tambahan faedah berupa fiqih hadits, atau kemunkaran matan hadits atau pengganti hadits, maka saya akan mencantumkannya setelah nukilan tersebut
5. Saya menyusun hadits-hadits dalam beberapa bab agar lebih rapi, praktis dan mudah
6. Saya hanya mencantumkan hadits-hadits yang masyhur sebatas pengetahuan saya yang terbatas agar tidak terlalu mempertebal jumlah halaman
7. Saya berusaha untuk menjelaskan secara ringkas agar tidak menjemukan pembaca
Pesan saya kepada para pembaca agar tidak tergesa-gesa untuk menyalahkan penulis tentang hukum hadits sampai dia membaca sumber rujukan penulis, karena buku ini saya buat hanya sekedar sebagai kunci dan batu loncatan kepada kitab-kitab besar para ulama, saya tidak memiliki jerih payah apa-apa kecuali hanya menyusun dan mengumpulkan saja, adapun untuk menghukumi dan meneliti hadits secara tajam maka biarlah hal itu kita serahkan kepada ahli bidangnya.

Beberapa Istilah
Sebelum memasuki isi buku ini, ada baiknya kita memahami beberapa istilah hadits yang akan sering muncul di buku ini agar mempermudah pemahaman kita:

Dha’if/Lemah: Suatu hadits yang tidak memenuhi salah satu sifat hadits hasan, seperti terputusnya sanad, lemahnya hafalan perawi dan sebagainya.

Dha’if Jiddan/lemah sekali: Suatu hadits yang pada sanadnya terdapat perawinya yang lemah sekali disebabkan tertuduh berdusta dalam hadits, banyak salah dan sangat lalai.

Maudhu’/Palsu: Hadits yang didustakan kepada Rasulullah baik secara sengaja maupun tidak

Laa Ashla Lahu/Tidak ada asalnya: Maksudnya di sini adalah hadits yang tidak memiki sanad

Marfu’: Suatu hadits yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa ucapan, perbuatan ataupun persetujuan

Munkar: Suatu hadits lemah yang menyelisihi hadits shahih.

Mursal: Suatu hadits yang diriwayatkan dari tabi’in langsung kepada Rasulullah.

Ucapan Terima Kasih

:Berdasar pada sebuah hadits Nabi
لاَ يَشْكُرُ اللهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ
“Tidak bersyukur kepada Allah seorang yang tidak berterima kasih kepada manusia”.
Maka ucapan syukur dan terima kasih, kami ucapkan kepada segenap pihak yang telah membantu kesempurnaan tulisan ini. Kepada para ulama yang telah berjasa besar memberikan ilmu kepada kami melalui kitab-kitab mereka, khususnya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, karena kami banyak mengambil manfaat dari kitabnya yang sangat bagus “Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah”, kepada kedua orang tuaku yang telah mendidikku dan mengasihiku, kepada para masayikhku di Jami’ Ibnu Utsaimin Unaizah, Qasim KSA, kepada para ustadzku di Ma’had Al Furqon Al-Islami Gresik Jatim, dan lain-lainnya yang tidak mungkin saya sebut satu persatu. Saya berdoa kepada Allah agar membalas kebaikan mereka semua.
Akhirnya, seperti kata pepatah: “Tiada gading yang tak retak”, sekalipun kami telah berusaha semaksimal mungkin tetapi kami sangat menyadari bahwa buku ini masih jauh dari kesempurnaan. Kami mohon maaf sebesar-besarnya dan besar harapan kami saran dan kritikan anda semua wahai saudara pembaca tercinta untuk perbaikan berikutnya.
Kami berdoa kepada Allah agar menjadikan tulisan ini ikhlas hanya karena mencari ridho-Nya dan bermanfaat bagi saudara-saudaraku semua serta menjadikannya dalam timbangan amal kebajikan penulis di akherat kelak. Amiin.

Ditulis oleh hamba yang sangat mengharap ampunan Rabbnya
Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar bin Munthohir as-Sidawi
Unaizah, 27 Ramadhan 1428 H

10 KAIDAH DAN FAEDAH BERHARGA

KAIDAH I
PENTINGNYA SANAD

Ketahuilah -semoga Allah memberi taufiq kepadamu- bahwa sanad (bunga rampai para perawi dalam meriwayatkan hadits) merupakan kenikmatan Allah kepada umat ini, sehingga terjagalah kesucian agama ini dari tangan-tangan lancang yang ingin mengotorinya. Oleh karena itu tatkala ahli kitab tidak memilki sanad dalam agama mereka, maka akibatnya banyak terjadi campuran antara kebenaran dan kebathilan dalam agama mereka .
Karena itulah, para ulama sangat memperhatikan masalah sanad ini secara serius, karena sanad merupakan pondasi utama untuk sampai kepada tujuan ilmu hadits, yaitu memilah antara hadits shahih dan lemah. Imam Ibnul Mubarak pernah berkata:
الإِسْنَادُ مِنَ الدِّيْنِ, وَلَوْلاَ الإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
Sesungguhnya sanad itu termasuk agama. Seandainya tidak ada sanad, niscaya seorang akan sembarangan berbicara.
Sufyan ats-Tsauri bekata:
الإِسْنَادُ سِلاَحُ الْمُؤْمِنِ, فَإِذَا لَمْ يَكُنْ مَعَهُ سِلاَحٌ, فَبِأَيِّ شَيْئٍ يُقَاتِلُ؟!
Isnad adalah senjata seorang mukmin, kalau dia tidak memiliki senjata, lantas dengan apa dia berperang?!
Seseorang pernah berkata kepada Imam Zuhri, “Ceritakanlah kepadaku hadits tanpa sanadnya.” Maka beliau berkata, “Bisakah diriku ini menaiki atap tanpa tangga?!!”
Maka hendaknya kita tidak merasa bosan untuk membaca sanad karena itu adalah perangai orang-orang yang malas, tetapi hendaknya dia merasa senang membacanya sebagaimana akhlak para ulama terkemuka.

KAIDAH II
MENCERITAKAN HADITS LEMAH

Banyak para penulis masa kini dari berbagai madzhab dan fakultas membawakan tanpa menjelaskanhadits-hadits yang dinisbatkan kepada Nabi kelemahannya, baik karena jahil terhadap hadits, atau memang karena malas membuka kitab-kitab hadits. Sebagian mereka menyepelekan secara khusus dalam masalah fadhoil amal.
Abu Syamah berkata : “Hal ini menurut ahli hadits dan ulama ahli ushul fiqih merupakan suatu kesalahan, bahkan hendaknya dijelaskan derajatnya apabila diketahui, kalau dia tidak menjelaskan maka dia masuk dalam hadits:
مَنْ حَدَّثَ عَنِّيْ بِحَدِيْثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبَيْنِ
Barangsiapa menceritakan hadits dariku dan hadits tersebut diketahui dusta maka dia adalah salah satu pendusta.(Muslim)
Syaikh al-Albani berkomentar: “Ini hukum orang yang diam dari hadits-hadits lemah dalam fadho’il! Lantas bagaimana dalam masalah hukum dan sejenisnya?!
Imam Nawawi berkata: “Haram hukumnya meriwayatkan hadits maudhu’ bagi orang yang mengetahui atau menurut prasangka kuatnya bahwa derajat hadits tersebut adalah maudhu’. Maka barangsiapa meriwayatkan suatu hadits yang dia yakin atau berprasangka kuat bahwa derajatnya adalah maudhu’, namun dia tidak menjelaskan derajatnya, maka dia termasuk dalam ancaman hadits ini”.
Ibnu Hajar al-Haitami pernah ditanya tentang para khatib yang biasa menyampaikan hadits-hadits lemah dan palsu dalam khutbahnya, beliau menjawab: “Tidak halal berpedoman dalam menyampaikan hadits pada suatu kitab atau khutbah yang penulisnya bukan ahli hadits. Barangsiapa yang melakukan hal itu maka dia layak untuk dihukum dengan hukuman yang berat. Inilah keadaan para khathib zaman sekarang, tatkala melihat ada khutbah yang berisi hadits-hadits, mereka langsung menghafalnya dan berkhutbah dengannya tanpa menyeleksi terlebih dahulu apakah hadits tersebut ada asalnya ataukah tidak. Maka merupakan kewajiban bagi pemimpin negeri tersebut untuk melarang para khathib dari perbuatan tersebut dan menegur dari khathib yang telah melakukan perbuatan tersebut”.

KAIDAH III
IBADAH DENGAN HADITS SHOHIH

Hendaknya bagi kita beribadah di atas dalil yang shohih, dan tidak beramal suatu amalan sebelum kita mengetahui keshohihan dalil tersebut. Para ulama salaf kita telah memberikan contoh akan pentingnya hal ini. Imam Al-Harawi meriwayatkan bahwasanya Abdullah bin Mubarak pernah tersesat dalam safar. Sebelumnya telah sampai khabar kepadanya, “Barangsiapa yang terjepit dalam kesusahan kemudian berseru, “Wahai hamba Alloh! Tolonglah aku,” maka dia akan ditolong.” (Abdullah bin Mubarak) berkata, “Maka aku mencari hadits ini untuk aku lihat sanadnya.’”
Al-Harawi mengomentari dengan perkataannya, “Abdullah bin Mubarak tidak memperbolehkan dirinya untuk berdo’a dengan suatu do’a yang tidak dia ketahui sanadnya.”
Setelah membawakan ucapan di atas, Syaikh Al-Albani berkomentar: “Demikianlah hendaknya Ittiba’!!!.” Allahu Akbar, dan demikian juga hendaknya dijauhi al-Ibtida’ (perkara bid’ah)!!!

KAIDAH IV
KEBENARAN MAKNA HADITS

Ada beberapa hadits yang lemah tetapi maknanya benar, karena adanya dalil shohih dari Al-Qur’an dan hadits yang menunjukkan kebenaran makna tersebut, atau terbukti dalam fakta lapangan. Namun harus diketahui pernahbahwa tidak semua hadits yang maknanya benar berarti Nabi .mengatakannya, sehingga tidak boleh menisbatkannya kepada Nabi
Sebagai suatu contoh, hadits berikut:
إِذَا أَبْغَضَ الْمُسْلِمُوْنَ عُلَمَاءَهُمْ, وَأَظْهَرُوْا عُمَارَةَ أَسْوَاقِهِمْ, وَتَنَاكَحُوْا عَلَى جَمْعِ الدَّرَاهِمِ, رَمَاهُمُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ بِأَرْبَعِ خِصَالٍ : بِالْقَحْطِ مِنَ الزَّمَانِ, وَالْجَوْرِ مِنَ السُّلْطَانِ, وَالْخِيَانَةِ مِنْ وُلاَةِ الحُكَّامِ, وَالصَّوْلَةِ مِنَ الْعَدُوِّ
Apabila kaum muslimin membenci para ulama mereka, menampakkan para penjaga pasar mereka, saling menikah untuk mengumpulkan dirham, maka Allah akan menimpakan pada mereka empat perkara; kekeringan yang cukup lama, kedzaliman penguasa, pengkhianatan para pemimpin, dan serangan dari musuh.
Adz-Dzahabi berkata tentang hadits ini: “Munkar”. Syaikh al-Albani berkomentar: “Sebagian penuntut ilmu yang bodoh telah menulis dengan tinta yang tidak bisa dihapus setelah ucapan adz-Dzahabi di atas pada nuskhah Zhahiriyyah: “Saya berkata: Bahkan, haditsnya adalah shohih sekali (!)”.
Sepertinya, orang bodoh ini beranggapan bahwa suatu hadits apabila sesuai dengan kenyataan berarti Rasul pasti mengucapkannya. Sungguh ini adalah kejahilan yang amat parah, karena betapa banyak hadits-hadits yang dilemahkan oleh para ulama ahli hadits padahal maknanya shahih. Terlalu banyak sekali kalau saya harus menampilkan contoh-contohnya, cukuplah apa yang terdapat dalam kitab karyaku ini.
Seandainya penshahihan hadits dibuka karena melihat maknanya yang shohih tanpa melihat kepada sanadnya, niscaya berapa banyak kebathilan akan masuk pada syariat dan ucapan yangbetapa banyak manusia yang akan menyandarkan kepada Nabi tidak beliau katakan dengan alasan tersebut, kemudian mereka mengambil tempat duduknya di neraka”.

KAIDAH V
PERCOBAAN BUKANLAH HUJJAH

Suatu hadits tidak bisa dihukumi shahih berdasarkan percobaan, tetapi harus dibangun di atas sanad dan undang-undang hadits yang telah mapan. Sebagi suatu contoh adalah hadits berikut:
إِذَا انْفَلَتَتْ دَابَّةُ أَحَدِكُمْ بِأَرْضِ فَلاَةٍ فَلْيُنَادِ : يَا عِبَادَ اللهِ احْبَسُوْا عَلَيَّ, يَا عِبَادَ اللهِ احْبَسُوْا عَلَيَّ, فَإِنَّ لِلَّهِ فِي الأَرْضِ حَاضِرًا سَيَحْبِسُهُ عَلَيْكُمْ
Apabila hewan kendaraan kalian lepas di tanah luas, maka hendaknya dia memanggil: Wahai hamba Allah, tahanlah untukku, wahai hamba Allah tahanlah untukku, maka Allah memiliki orang yang hadir di bumi untuk menahan hewan kendaraan tersebut untuk kalian.
As-Sakhawi berkata: “Sanadnya lemah, tetapi an-Nawawi berkata bahwa dirinya dan sebagian gurunya pernah mencobanya dan terbukti”.
Syaikh al-Albani mengomentari hal ini: “Ibadah tidaklah dibangun di atas percobaan, lebih-lebih apabila berkaitan dengan masalah ghaib seperti hadits ini, maka tidak boleh untuk condong menshahihkannya karena berdasarkan percobaan”.
Alangkah bagusnya ucapan al-Hafzih asy-Syaukani: “Sunnah tidaklah ditetapkan dengan percobaan. Terkabulnya doa tidaklah menunjukkan bahwa faktor terkabulnya , karena bisa jadi Allah mengabulkan doaadalah shahih dari Rasulullah seorang tanpa tawassul kepadaNya sebab Allah Maha Penyayang terhadap hambaNya dan bisa jadi terkabulnya doa dikarenakan Allah memanjakan seorang sehingga dia terus larut dalam kelalaiannya”.

KAIDAH VI
ILHAM DAN ILMU HADITS

Al-Ajluni berkata menyebutkan dari Ibnu Arabi as-Shufi bahwa suatu hadits yang lemah karena adanya perawi yang pendusta bisa jadi shahih karena ilham yang diberikan Rasul kepadanya.
Ucapan ini tidak perlu dibantah karena sangat jelas sekali kebathilannya. Apalah faedahnya sanad kalau begitu?! Dan apa faedahnya jerih payah para ulama ahli hadits dalam menjernihkan hadits Nabi kalau begitu?!
Syaikh al-Albani berkata setelah menjelaskan palsunya suatu hadits: “Adapun ucapan asy-Sya’rani dalam al-Mizan: “Hadits ini sekalipun dibicarakan oleh ahli hadits, tetapi shahih menurut ahli kasyf (sufi)”. Maka ini adalah ucapan yang bathil, tidak perlu dilirik sedikitpun, sebab penshahihan hadits berdasarkan ilham merupakan kebid’ahan shufi yang hina. Berpedoman dengan teori tersebut akan menyebabkan penshahihan hadits-hadits bathil dan tidak ada asalnya”.

KAIDAH VII
POPULER BELUM TENTU SHOHIH

Suatu hadits yang masyhur (populer) dan laris manis di kalangan masyarakat tidaklah menunjukkan bahwa hadits tersebut shahih sama sekali. Berapa banyak hadits yang masyhur di masyarakat, tetapi para ulama ahli hadits menghukuminya sebagai hadits lemah, palsu bahkan tidak ada asalnya. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Hadits masyhur bisa juga diartikan dengan suatu hadits yang banyak beredar di lidah masyarakat umum, maka hal ini mencakup hadits yang memiliki satu sanad atau lebih, bahkan hadits yang tidak memiliki sanad sama sekali”.
Syaikhul Islam juga berkata: “Seandainya sebagian masyarakat umum yang mendengar hadits dari tukang cerita dan aktivis dakwah, atau dia membaca hadits, yang baginya adalah populer, maka bukanlah hal itu menjadi patokan sama sekali. Betapa banyak hadits-hadits yang populer di masyarakat umum, bahkan di kalangan para ahli fiqih, kaum sufi, ahli filsafat dan sebagainya, lalu menurut pandangan ahli hadits ternyata hadits tersebut adalah tidak ada asalnya, dan mereka menegaskan hadits tersebut palsu”.
Perlu diketahui bahwa populernya suatu hadits berbeda-beda sesuai dengan waktu dan tempat. Oleh karena itulah, para ulama ahli hadits memperhatikan masalah ini dan membukukannya secara khusus, seperti Kasyful Khofa oleh al-Ajluni, ad-Durar al-Muntasyiroh oleh as-Suyuthi, al-Maqashidul Hasanah oleh as-Sakhawi dan lain sebagainya.

KAIDAH VIII
HADITS LEMAH DALAM FADHOIL AMAL

Banyak orang yang beranggapan bahwa hadits lemah bisa dijadikan sandaran dalam masalah fadhail amal dengan tidak ada perselisihan di kalangan ulama. Sungguh, ini adalah anggapan yang keliru sebab para ulama telah berselisih tentangnya. Namun yang harus diperhatikan di sini bahwa para ulama yang membolehkan berhujjah dengan hadits lemah dalam fadhoil amal, mereka mensyaratkan tiga persyaratan penting yang banyak dilalaikan oleh orang-orang yang beralasan dengannya, yaitu:
1. Hadits tersebut kelemahanya ringan, tidak terlalu parah seperti lemah sekali, maudhu’, apalagi tidak ada asalnya.
2. Orang yang mengamalkannya mengetahui bahwa itu adalah hadits yang lemah dan tidak berkeyakinan bahwa itu adalah dari Rasulullah
3. Hadits lemah tersebut didasari oleh dalil shahih yang bersifat global.
Sekalipun pendapat yang kuat menurut kami bahwa tidak boleh berhujjah dengan hadits-hadits lemah baik dalam fadhoil amal maupun hukum karena semuanya adalah sama-sama syari’at agama. Cukuplah kita dengan dalil-dalil yang shohih. Dahulu, para ulama kita mengatakan:
فِيْ صَحِيْحِ الْحَدِيْثِ شُغْلٌ عَنْ سَقِيْمِهِ
Dalam hadits yang shohih itu terdapat kesibukan dari hadits yang lemah.

KAIDAH IX
TANDA-TANDA HADITS PALSU

Ketahuilah bahwa hadits yang munkar dan palsu membuat hati penuntut ilmu menjadi geli dan mengingkarinya. Rabi’ bin Hutsaim berkata:
إَنَّ لِلْحَدِيْثِ ضَوْءًا كَضَوْءِ النَّهَارِ تَعْرِفُهُ, وَظُلْمَةً كَظُلْمَةِ اللَّيْلِ تُنْكِرُهُ
Sesungguhnya hadits itu memiliki cahaya seperti cahaya di siang hari sehingga engkau dapat melihatnya. Dan memiliki kegelapan seperti gelapnya malam sehingga engkau mengingkarinya.
Perlu diketahui bahwa hadits palsu itu memiliki beberapa tanda secara umum:
1. Ucapan tersebut tidak menyerupai ucapan para Nabi
2. Ucapan tersebut lebih menyerupai ucapan dokter dan ahli tariqat sufi
3. Bertentangan dengan kaidah-kaidah umum yang paten dalam agama Islam
4. Lucunya makna yang terkandung dalam hadits tersebut.
5. Tidak adanya hadits tersebut dalam kitab-kitab hadits yang penting seperti kitab-kitab sunan dan musnad.

KAIDAH X
KEMBALI KEPADA KEBENARAN

Wahai saudaraku -semoga Allah memberkahimu-, tinggalkanlah segala kesombongan dan jadilah dirimu pecinta kebenaran. Bila memang dirimu pernah berpedoman pada hadits-hadits lemah dan palsu, dan engkau pernah menjadi pembelanya, lalu Allah memberikan petunjuk kepadamu, maka janganlah segan-segan dirimu untuk memeluk kebenaran dan meninggalkan keyakinanmu yang dulu sekalipun mungkin telah mengakar dalam hatimu.
Menakjubkanku kisah Ibnul Jauzi tatkala dia mengamalkan sebagian hadits tentang dzikir setelah sholat, beliau berkata: “Dahulu saya telah mendengar hadits ini sejak kecil, sayapun mengamalkannya kurang lebih tiga puluh tahun lamanya karena saya bersangka baik kepada para perawi. Namun tatkala saya mengetahui bahwa haditsnya adalah maudhu’/palsu maka sayapun meninggalkanya. Ada seorang pernah berkata padaku: “Bukankah itu mengamalkan suatu kebaikan?! Saya menjawab: Mengamalkan kebaikan itu harus disyari’atkan, kalau kita tahu bahwa itu adalah dusta maka berarti keluar dari perkara yang disyari’atkan”.

BAB AQIDAH DAN TASAWWUF

Hikmah Penciptaan Makhluk
لَوْلاَكَ لَمَا خَلَقْتُ الأَفْلاَكَ
Seandainya bukan karenamu (Nabi Muhammad), Aku (Allah) tidak akan menciptakan makhluk.
MAUDHU’. Sebagaimana dikatakan as-Shoghoni . Diriwayatkan ad-Dailami dalam Musnadnya 2/41 dari jalur Ubaidullah bin Musa al-Qurasyi: Menceritakan kami Fudhail bin Ja’far bin Sulaiman dari Abdus Shomad bin Ali bin Abdullah bin Abbas dari ayahnya, Ibnu Abbas secara marfu’.
Kecacatan hadits terletak pada Abdus Shomad. Al-Uqaili berkata tentangnya: “Haditsnya tidak terjamin”. Dan orang-orang sebelum Abdus Shomad tidak saya kenal.
Ibnul Jauzi juga meriwayatkan dalam al-Maudhu’at 1/288-289 dari sahabat Salman. Lalu berkomentar: “Haditsnya maudhu'”. Dan disetujui as-Suyuthi dalam al-Alaai 1/282.
Syaikhul Islam Ibnu baik dari jalurTaimiyyah berkata: “Ucapan ini bukanlah hadits Nabi yang shahih maupun lemah, tidak dinukil oleh seorangpun dari ahli atau dari sahabat, bahkan ucapan ini tidakhadits, baik dari Nabi diketahui siapa yang mengucapkannya”.
Makna hadits inipun tidak benar, karena bertentangan dengan firman Allah:
وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyat: 56)
.Ayat ini menegaskan bahwa Allah mencipatkan anak Adam untuk beribadah, bukan karena Nabi Muhammad

Nur Muhammad
أَوَّلُ مَا خَلَقَ اللهُ نُوْرُ نَبِيِّكَ يَا جَابِرُ !
Makhluk yang pertama kali dicipatkan adalah cahaya Nabimu wahai Jabir!
TIDAK ADA ASALNYA. Hadits yang populer ini adalah bathil, demikian juga diciptakan darisemua hadits yang menegaskan bahwa Nabi Muhammad cahaya, karena hal itu bertentangan dengan firman Allah:
قُلْ إِنَّمَآ أَنَا بَشَرٌ مِّثْلَكُمْ يُوحَى إِلَىَّ أَنَّمَآ إِلاَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ
Katakanlah:”Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku:”Bahwa sesungguhnya Ilah kamu itu adalah Ilah Yang Esa”. (QS. Al-Kahfi: 110)
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : خُلِقَتِ الْمَلاَئِكَةُ مِنْ نُوْرٍ, وَخُلِقَ إِبْلِيْسُ مِنْ نَارِ السَّمُوْمِ, وَخُلِقَ آدَمُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ مِمَّا قُدْ وُصِفَ لَكُمْ
Rasulullah bersabda: Malaikat diciptakan dari cahaya, Iblis dicptakan dari api yang menyala-nyala, dan Adam diciptakan dari apa yang telah disifatkan pada kalian.
Hadits ini secara jelas menunjukkan bahwa Malaikat saja yang diciptakan dari cahaya, bukan Adam dan anak keturunannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa hadits ini adalah dusta dengan kesepakatan ahli hadits. Demikian juga ditegaskan oleh Syaikh Sulaiman bin Sahman . As-Suyuthi juga menegaskan bahwa hadits ini tidak ada sanadnya . Demikian juga Jamaluddin al-Qasimi dan Muhammad Rasyid Ridho , keduanya menegaskan bahwa hadits ini tidak ada asalnya.
Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: “Adapun ucapan sebagian manusia, ahli khurafat dan orang-orang Sufi bahwa Nabi diciptakan dari cahaya dan makhluk pertama adalah cahaya Muhammad, semua ini adalah tidak ada asalnya, ucapan bathil dan kedustaan belaka”.
Faedah: Sebagian orang yang mempromosikan hadits ini menisbatkan hadits ini pada Mushannaf Abdur Rozzaq , padahal ini hanyalah sekedar omongan kosong belaka yang tidak ada kenyataannya. Maka janganlah engkau tertipu!!
Abdullah al-Ghumari berkata dalam risalahnya “Mursyidul Haair li Bayani Wadh’I Hadits Jabir”: “Menyandarkan hadits ini kepada Abdur Rozzaq merupakan suatu kesalahan, karena tidak ada dalam Mushonnafnya, Jami’nya, maupun Tafsirnya…Hadits ini jelas maudhu’ dan di dalamnya terdapat istilah-istilah Tasawwuf. Sebagian orang sekarang membuat sanad hadits ini dan menyebutkan bahwa Abdur Rozzaq meriwayatkannya dari jalur Ibnul Munkadir dari Jabir. Semua ini adalah dusta dan dosa. Kesimpulannya, hadits ini munkar, palsu, dan tidak ada asalnya dalam kitab-kitab hadits”.

Wahdatul Wujud
مَا وَسِعَنِيْ أَرْضِيْ وَلاَ سَمَائِيْ, وَوَسِعَنِيْ قَلْبُ عَبْدِيْ الْمُؤْمِنِ
BumiKu dan langitKu tidak mencukupiKu, dan mencukupiKu hati hambaKu yang beriman.
TIDAK ADA ASALNYA. Ucapan ini hanyalah israiliyyat sebagaimana ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, beliau berkata: “Ucapan . Makna: “ini adalah israiliyyat, tidak ada sanad yang jelas dari Nabi MencukupiKu hati hambaKu” yakni keimanan dan kecintaannya kepadaKu. Kalau bukan seperti ini maksudnya, lalu dia mengartikan bahwa Dzat Allah singgah dalam hati manusia, maka ucapannya lebih keji dari orang-orang Nashrani yang mengkhususkan hal itu pada al-Masih Isa saja”.
Hal ini disetujui al-Hafizh as-Sakhawi dan sebelumnya juga al-Hafizh al-Iraqi , beliau berkata: “Saya tidak menjumpai asal usulnya”. As-Subki berkata: “Saya tidak mendapati sanadnya”.

Tawassul Dengan Kehormatan Nabi
تَوَسَّلُوْا بِجَاهِيْ فَإِنَّ جَاهِيْ عِنْدَ اللهِ عَظِيْمٌ
Bertawassulah kalian dengan kedudukanku, karena sesungguhnya kedudukanku sangat agung di sisi Allah.
TIDAK ADA ASALNYA. Sebagaimana ditegaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam al-Qa’idah al-Jalilah . Tidak diragukan lagi bahwa kedudukan Nabi sangat tinggi di sisi Allah. Allah berfirman tentang Musa:
وَكَانَ عِندَ اللهِ وَجِيهًا
Dan adalah dia seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah. (QS. Al-Ahzab: 69)
Sebagaimana dimaklumi bahwa Nabi kita Muhammad lebih tinggi kedudukannya daripada Nabi Musa. Namun hal itu bukan berarti kita bertawassul dengan kedudukan beliau.

Siapa mengenal dirinya, berarti mengenal Robbnya
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ
Barangsiapa yang mengenal dirinya, berarti dia mengenal Robbnya.
TIDAK ADA ASALNYA. Al-Hafidz As-Sakhowi mengatakan: “Berkata Abu Mudhoffar bin As-Sam’ani: Tidak diketahui secara marfu’ (sampai kepada Nabi n\) hanya saja perkataan tersebut dihikayatkan dari Yahya bin Muadz Ar-Rozi. Nawawi juga mengatakan bahwa hadits ini tidak ada asalnya”. As-Suyuthi berkata: “Hadits ini tidak shohih”. Syaikh Al-Qory menukil dari Ibnu Taimiyyah bahwa beliau berkata: “Maudhu’”.
Al-Allamah Al-Fairuz Abadi berkata: “Tidaklah termasuk hadits Nabi, sekalipun kebanyakan manusia menganggapnya sebagai hadits Nabi. Tidak shohih sama sekali, itu hanyalah diriwayatkan dalam isroiliyyat (kitab-kitab Bani Israil)”.
Saya (Al-Albani) berkata: “Demikianlah ketegasan para ulama’ ahli hadits. Kendatipun demikian, anehnya ada sebagian fuqoha’ belakangan ini dari penganut madzhab Hanafi yang menulis sebuah kitab berupa syarh (penjelasan) hadits ini. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak berusaha untuk mengambil faedah dari jerih payah ahli hadits dalam menyaring sunnah dari kotoran-kotoran hadits-hadits palsu. Karena itulah pantas saja banyak sekali hadits-hadits dho’if dan maudhu yang bertumpukan dalam kitab-kitab mereka. Wallul Musta’an.

Faedah: as-Suyuthi punya risalah khusus tentang hadits ini berjudul “Al-Qaulul Asybah fi Hadits Man Arafa Nafsahu Faqod Arofa Rabbahu”, dicetak dalam al-Haawi 2/238.

Bualan Kaum Shufi
حَسْبِيْ مِنْ سُؤَالِيْ عِلْمُهُ بِحَالِيْ

Cukuplah pengetahuan-Nya tentang keadaanku dari permintaanku.
TIDAK ADA ASALNYA. Ibnu Taimiyyah berkata: “Maudhu'”. Sebagian orang tasawwuf mengambil makna dari ucapan ini seraya berkata: “Permintaanmu kepada Allah adalah tuduhan buruk kepadaNya”!! Sungguh ini adalah kesesatan yang amat nyata! Apakah para Nabi menuduh Allah yang bukan-bukan tatkala mereka meminta dan berdoa kepada Allah?! Lihatlah Ibrahim tatkala berkata:

“Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan Kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, Maka Jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, Mudah-mudahan mereka bersyukur. Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang Kami sembunyikan dan apa yang Kami lahirkan; dan tidak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit. Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha mendengar (memperkenankan) doa. Ya Tuhanku, Jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Ya Tuhan Kami, perkenankanlah doaku. Ya Tuhan Kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)”. (QS. Ibrahim: 37-41)
Kesimpulannya, ucapan ini tidak pantas keluar dari seorang muslim yang mengetahui kedudukan doa dalam agama Islam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidak memiliki sanad yang dikenal, dan maknanya bathil, bahkan telah shahih dari Ibnu Abbas bahwa beliau berkata: “Kalimat “Hasbiyallahu wani’mal wakil” (Cukuplah Allah bagiku dan Dia adalah sebaik-baik wakil) diucapkan oleh Ibrahim ketika dibakar deng ketika sebagian orang berkataan api dan dikatakan oleh Muhammad kepadanya: “Sesungguhnya manusia telah berkumpul untuk memerangi kalian, maka takutlah kepada mereka”. (HR. Bukhari: 4563)
Adapun permintaan Al-Khalil (Nabi Ibrahim) kepada Allah, maka banyak sekali disebutkan dalam Al-Qur’an.”

Umur Dunia
الدُّنْيَا كُلُّهَا سَبْعَةُ أَيَّامٍ مِنْ أَيَّامِ الآخِرَةِ, وَذَلِكَ قَوْلُ اللهِ تَعَالَى : وَإِنَّ يَوْمًا عِندَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِّمَّا تَعُدُّونَ
Dunia itu semuanya tujuh hari dari hari-hari akherat, itulah firman Allah: Sesungguhnya sehari di sisi Rabbmu adalah seperti seribu tahun dari tahun-tahun yang kamu hitung. (QS. Al-Hajj: 47)
MAUDHU’. Ibnu Syahin dalam ar-Ruba’iyyat 1/172, as-Suhami dalam Tarikh Jurjan 99, dan ad-Dailami 2/149 dari Umar bin Yahya bin Nafi’ dari ‘Ala’ bin Zaidal dari Anas secara marfu’.
Hadits ini maudhu’, sebab Ala’ bin Zaidal adalah pemalsu hadits sebagaimana kata Ali bin Madini. Dan Umar bin Yahya bin Nafi’, saya tidak mengetahuinya.
As-Sakhawi berkata: “Tidak shohih”. Lalu katanya juga: “Demikian pula hadits-hadits tentang pembatasan hari kiamat secara pasti, semuanya tidak shohih sanadnya”.
Kenyataan telah membuktikan batilnya hadits-hadits yang berkaitan tentang penentuan umur umat yang dihitung dengan hitungan tahun . Bagaimana mungkin bagi manusia untuk menentukan dengan waktu seperti ini yang berkonsekuansi penentuan waktu tibanya hari kiamat.

يَسْئَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِندَ رَبِّي لاَيُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَآ إِلاَّ هُوَ ثَقُلَتْ فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ لاَتَأْتِيكُمْ إِلاَّبَغْتَةً يَسْئَلُونَكَ كَأَنَّكَ حَفِيٌّ عَنْهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَعْلَمُونَ
Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat:”Bilakah terjadinya”. Katakanlah:”Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Rabbku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba”. Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah:”Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu adalah di sisi Rabb, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Al-A’raf: 187)
Di samping itu juga, hadits ini bertentangan dengan penelitian ilmiyah tentang bumi bahwa umur dunia diperkirakan dengan jutaan tahun, bukan dengan ribuan!! .

Islamkah Orang Tua Nabi?!
عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ : حَجَّ بِنَا رَسُوْلُ اللهِ حَجَّةَ الْوَدَاعِ فَمَرَّ بِيْ عَلَى عَقَبَةِ الْحَجُوْنَ وَهُوَ بَاكٍ حَزِيْنٌ مُغْتَمٌّ فَنَزَلَ فَمَكَثَ عَنِّيْ طَوِيْلاً ثُمَّ عَادَ إِلَيَّ وَهُوَ فَرِحٌ فَتَبَسَّمَ فَقُلْتُ لَهُ ,فَقَالَ : ذَهَبْتُ لِقَبْرِ أُمِّيْ فَسَأَلْتُ اللهَ أَنْ يُحْيِيَهَا فَآمَنَتْ بِيْ وَرَدَّهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ
Dari Aisyah berkata: “Pada saat Rasulullah melaksankan haji bersama kami, beliau bertemu denganku di Aqobah Hajun sambil menangis sedih, lalu beliau turun dan tinggal cukup lama kemudian kembali lagi kepadaku dengan gembira dan senyum, maka saya tanyakan hal itu padanya, lalu beliau menjawab: Aku pergi ke kuburan ibuku, lalu aku memohon kepada Allah agar menghidupkannya, kemudian ibuku beriman kepadaku, lalu Allah mematikannya kembali.
MAUDHU’. Diriwayatkan Ibnu Syahin dalam an-Nasikh wal Mansukh 656, al-Jauraqani dalam al-Abathil wal Manakir 1/222, Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at 1/283-284.
Ibnul Jauzi berkata: “Maudhu’ tanpa diragukan lagi, ibu Rasulullah wafat di kota Abwa’ antara kota Madinah dan Mekkah serta di kubur di sana, bukan di Hajun”.
Al-Jauraqani berkata: “Hadits ini bathil”. Adz-Dzahabi berkata: “Hadits ini dusta dan bertentangan dengan hadits shohih bahwa beliau meminta izin kepada Rabbnya untuk memintakan ampun untuk ibunya tetapi Allah tidak mengizinkannya”. Syaikh Ali bin Sulthon al-Qori berkata: “Hadits ini lemah dengan kesepakatan ahli hadits sebagaimana diakui oleh as-Suyuthi”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Hadits ini tidak shohih menurut ahli hadits, bahkan mereka bersepakat bahwa hadits ini adalah dusta sekalipun diriwayatkan dengan sanad para perawi yang tidak dikenal. Tidak ada perselisihan di kalangan ahli hadits bahwa hadits tersebut adalah palsu dan sangat nyata kedustaannya. Seandainya kejadian tersebut benar-benar terjadi, niscaya akan banyak dinukil karena masalah seperti ini sangat luar biasa ditinjau dari dua segi:
1. Segi menghidupakan orang yang telah meninggal dunia
2. Segi keimanan setelah mati
Hadits ini di samping palsu, juga bertentangan dengan Al-Qur’an, hadits dan ijma'”.
Faedah: Syaikh al-Albani berkata tentang hadits ini: “Ini adalah kisah yang bathil menurut para pakar ulama seperti Ibnul Jauzi, Ibnu Taimiyyah dan sebagainya. Diantara yang membuatnya bathil adalah sabda Nabi kepada seorang yang bertanya tentang ayahnya: “ayahku dan ayahmu di neraka”. Hadits ini shohih sekalipun as-Suyuthi dalam sebagian risalahnya memberatkan diri untuk mementahkannya. Alangkah bagusnya ucapan Syaikh Abdur Rahman al-Yamani ketika mengomentari hadits ini dalam Al-Fawaid al-Majmu’ah hal. 322 oleh asy-Syaukani: “Seringkali kecintaan seorang tak terkendalikan sehingga dia menerjang hujjah serta memeranginya, padahal orang yang diberi taufiq mengetahui bahwa hal itu berlawanan dengan kecintaan yang disyari’atkan”.
Alangkah bagusnya ucapan Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini, tatkala berucap: “Termasuk kegilaan, bila orang yang berpegang teguh dengan hadits-hadits shahih disifati dengan kurang adab. Demi Allah, seandainya hadits tentang Islamnya kedua orang tua Nabi adalah shahih, niscaya kami adalah orang yang paling bahagia dengannya, bagaimana tidak? Sedangkan mereka adalah manusia yang paling dekat dengan Nabi yang lebih saya cintai daripada diriku ini. Allah menjadi saksi atas apa yang saya ucapkan ini. Tetapi kita tidaklah membangun suatu ucapan tanpa ada dalilnya yang shahih. Sayangnya, banyak manusia melangkahi dalil yang shahih dan menerjang hujjah. Wallahul Musta’an”.

Nabi Hidhir Masih Hidup?!
TIDAK ADA YANG SHOHIH. Al-Hafizh Ibnu Qayyim berkata: “Seluruh hadits yang menyebutkan bahwa , semuanya tidakHidhir masih hidup dan bertemu dengan Nabi Muhammad ada yang shohih satu haditspun”. Demikian juga ditegaskan oleh Ibnul Munadi , al-Hafizh al-Iraqi , al-Hafizh Ibnu Hajar dan as-Sakhawi. Dan tak ketinggalan juga, Syaikh al-Albani .
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata setelah menyebutkan riwayat dan cerita tentang hidupnya Hidhir: “Semua hadits ini lemah sekali, tidak bisa dijadikan sandaran dalam agama, demikian juga cerita, tidak luput dari kelemahan dalam sanadnya…Lanjutnya: “Dalam kitabnya “‘Adalah Muntadhar fi Syarhi Halatil Hidhir”, Abul Faraj Ibnul Jauzi telah mengupas hadits-hadits ini dan menjelaskan bahwa seluruhnya adalah maudhu’, demikian juga beliau menjelaskan kelemahan sanad atsar-atsar sahabat dan tabi’in secara bagus sekali”.
Faedah: Ibnul Jauzi berkata: “Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Hidhir telah meninggal adalah empat; Al-Qur’an, sunnah, ijma’ ulama dan akal”.
Ibnu Taimiyyah berkata: “Seandainya Hidhir masih hidup, tentu dia akan datang kepada Nabi dan berjihad bersamanya serta belajar dari beliau”.
Ibnu Hajar al-Asqalani berkata: “Hati ini lebih condong kepada pendapat yang menyatakan bahwa karena dalil-dalil yang kuat”.Hidhir tidak bertemu dengan Nabi

Agama Itu Akal
الدِّيْنُ هُوَ الْعَقْلُ وَمَنْ لاَ دِيْنَ لَهُ فَلاَ عَقْلَ لَهُ
Agama adalah akal. Siapa yang tidak beragama, berarti dia tak berakal.
BATHIL. Dikeluarkan Nasa’i dalam “Al-Kuna” dan Ad-Dulabi dalam “Al-Kuna Wal Asma’’” (2/104) dari Abu Malik dari Bisyr bin Gholib bin Bisyr bin Gholib dari Zuhri dari Mujammi’ bin Jariyah dari pamannya secara marfu’ tanpa kalimat pertama “agama adalah akal”. Nasa’i berkata: “Hadits ini bathil munkar”.
Saya (Al-Albani) katakan: “Kecacatannya terletak pada Bisyr ini, dia seorang yang majhul (tidak dikenal) sebagaimana dikatakan Al-Azdi dan disetujui Ad-Dzahabi dalam Mizanul I’tidal Fi Naqdir Rijal dan Al-‘Asqolani dalam Lisanul Mizan.
Al-Harits bin Abu Usamah juga meriwayatkan dalam Musnadnya dari Dawud bin Muhabbar tiga puluh hadits lebih tentang keutaman akal. Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan: “Seluruhnya maudhu’ (palsu)”.
Di antaranya adalah hadits di atas sebagaimana disebutkan oleh as-Suyuthi dalam Dhail Al-Alai Masnu’ah Fil Ahadits Maudhu’ah (hal.4-10) dan dinukil oleh Al-Allamah Muhammad Thohir al-Hindi dalam Tadzkirotul Maudhu’at (hal.29-30).
Tentang Dawud bin Muhabbar, adz-Dzahabi mengatakan: Dia adalah “Pengarang kitab Al-Aql. Aduhai, alangkah baiknya seandainya dia tidak mengarang kitab itu. Ahmad berkata: Dawud tidak mengerti apa itu hadits. Abu Hatim berkata: Tidak terpercaya, hilang haditsnya. ad-Daroqutni berkata: Matruk (ditinggalkan). Abdul Ghoni meriwayatkan dari ad-Daroqutni bahwa beliau pernah berkata: Kitab Al-Aql ditulis oleh Maisaroh bin Abi Robbihi kemudian dicuri oleh Dawud bin Muhabbar dengan mencantumkan sanad yang bukan dari Maisaroh…”.
Perlu menjadi perhatian bersama bahwa seluruh riwayat tentang keutamaan akal, tidak ada yang shohih satupun. Semuanya berkisar antara dho’if dan maudhu’. Saya telah memeriksa setiap hadits yang dipaparkan oleh Abu Bakr bin Abi Dunya dalam kitabnya “Al-Aql Wa Fadhluhu” ternyata sesuai dengan perkataanku tadi yaitu tidak ada yang shohih satupun. Al-Allamah Ibnu Qoyyim berkata dalam “Al-Manar” (hal.25): “Hadits-hadits tentang akal seluruhnya dusta belaka”.
Perlu menjadi catatan juga, bahwa agama Islam ini tidak dibangun di atas akal, tetapi di atas wahyu dari Rabbil Alamin. Alangkah indahnya ucapan Ali bin Thalib:
لَوْ كَانَ الدِّيْنُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ, وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِهِ
Seandainya agama itu berdasarkan akal, tentu bagian bawah sepatu lebih utama untuk diusap daripada bagian atasnya, tetapi mengusap bagian atasnya saya melihat Rasulullah

BAB ILMU DAN ULAMA

Menuntut Ilmu Walaupun Ke Cina
اطْلُبُوْا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنِ
Carilah ilmu sekalipun di negeri Cina.
BATHIL. Diriwayatkan oleh Ibnu Adi (2/207), al-Baihaqi dalam al-Madkhal (241, 324), Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi (1/7-8) dari jalan Hasan bin Athiyah, menceritakan kami Abu A’tikah Tharif bin Sulaiman dari Anas ). secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah
Kecacatan hadits ini terletak pada Abu A’tikah. Dia telah disepakati kelemahannya.
Al-Marwazi bercerita: “Hadits ini pernah disebut di sisi Imam Ahmad, maka beliau mengingkarinya dengan keras”. Ibnul Jauzi mencantumkan hadits ini dalam al-Maudhu’at (1/215) dan berkata, “Ibnu Hibban berkata: “Hadits bathil, tidak ada asalnya.” Dan disetujui as-Sakhawi .
Kesimpulannya, hadits ini adalah hadits batil, tidak ada asalnya, dan tidak ada jalan lain yang menguatkannya .
Berkenaan tentang hadits ini, saya teringat pada suatu kisah yang pernah saya baca dahulu dalam majalah Suara Muhammadiyah bahwa ada seorang muballigh dari Cina tatkala berceramah di hadapan jama’ah Indonesia, dia mengemukakan hadits ini seraya berkomentar: “Bapak-bapak, ibu- ibu seharusnya banyak bersyukur, karena bapak ibu tidak perlu repot-repot pergi ke Cina, karena orang Cina-nya sudah datang ke sini”!!!
Faedah: Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata setelah menjelaskan lemahnya hadits ini: “Seandainya hadits ini shahih, maka tidaklah menunjukkan tentang keutamaan negeri Cina dan penduduknya, karena maksud hadits ini –kalaulah memang shahih- adalah anjuran untuk menuntut ilmu sekalipun harus menempuh perjalanan yang sangat jauh, sebab menuntut ilmu merupakan perkara yang sangat penting sekali, karena ilmu merupakan sebab kebaikan dunia dan akherat bagi orang yang mengamalkannya. Jadi, bukanlah maksud hadits ini adalah negeri Cina itu sendiri, tetapi karena menjadikannyaCina adalah negeri yang jauh dari tanah Arab, maka Nabi sebagai permisalan. Hal ini sangat jelas sekali bagi orang yang mau memperhatikan hadits ini”.

Menuntut Ilmu Bagi Muslimah
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ
Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimah.
Tambahan lafadz وَمُسْلِمَةٍ tidak ada asalnya dalam kitab-kitab hadits. Syaikh al-Albani mengatakan, “Hadits ini masyhur pada zaman sekarang dengan tambahan وَمُسْلِمَةٍ padahal tidak ada asalnya sedikitpun. Hal ini ditegaskan oleh al-Hafizh as-Sakhawi. Beliau berkata dalam al-Maqashid al-Hasanah (hal. 277): “Sebagian penulis telah memasukkan hadits ini dengan tambahan وَمُسْلِمَةٍ, padahal tidak disebutkan dalam berbagai jalan hadits sedikitpun”.
Adapun hadits ini tanpa tambahan tersebut, derajatnya shahih atau hasan, karena telah diriwayatkan dari jalan yang banyak, dari sekelompok sahabat.”
Sekalipun demikian, makna hadits ini benar, karena perintah menuntut ilmu mencakup kaum pria dan wanita juga. Sungguh benar Ibnul Jauzi tatkala berkata: “Saya selalu menganjurkan manusia untuk menuntut ilmu agama, karena ilmu adalah cahaya yang menyinari, hanya saja saya memandang bahwa para wanita lebih utama dengan anjuran ini, dikarenakan jauhnya mereka dari ilmu dan menguatnya hawa nafsu pada diri mereka”. Lanjutnya: “Wanita adalah manusia yang dibebani seperti kaum pria, maka wajib olehnya untuk menuntut ilmu agar dia dapat menjalankan kewajiban dengan penuh keyakinan”.
Oleh karena itu, lihatlah semangat para wanita salaf dalam menuntut ilmu.
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ: قَالَتِ النِّسَاءُ لِلنَّبِيِّ : غَلَبَنَا عَلَيْكَ الرِّجَالُ, فَاجْعَلْ لَنَا يَوْمًا مِنْ نَفْسِكَ. فَوَعَدَهُنَّ يَوْمًا لَقِيَهُنَّ فِيْهِ فَوَعَظَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ, فَكَانَ فِيْمَا قَالَ لَهُنَّ : مَا مِنْكُنَّ امْرَأَةٌ تُقَدِّمُ ثَلاَثَةٌ مِنْ وَلَدِهَا إِلاَّ كَانَ لَهَا حِجَابًا مِنَ النَّارِ. فَقَالَتِ امْرَأَةٌ : وَاثْنَيْنِ؟ فَقَالَ : وَاثْنَيْنِ.
Dari Abu Sa’id al-Khudri menceritakan bahwa sejumlah para wanita berkata kepada Nabi: “Kaum lelaki lebih banyak bergaul denganmu daripada kami, maka jadikanlah suatu hari untuk kami”. Nabi menjanjikan mereka suatu hari untuk bertemu dengan mereka guna menasehati dan memerintah mereka. Diantara sabda beliau saat itu: “Tidak ada seorang wanitapun yang ditinggal mati oleh tiga anaknya kecuali akan menjadi penghalang baginya dari neraka”. Seorang wanita bertanya: “Bagaimana kalau Cuma dua?”. Nabi menjawab: “Sekalipun Cuma dua”.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini menunjukkan semangat para wanita sahabat dalam mempelajari masalah-masalah agama”.
Sejarah telah mencatat nama-nama harum para wanita yang menjadi para ulama dalam bidang agama, Al-Qur’an, hadits, syair, kedokteran dan lain sebagainya.

Menuntut Ilmu Hingga Mati
اطْلُبُوْا الْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ إِلَى اللَّحْدِ
Carilah ilmu sejak bayi hingga ke liang kubur.
TIDAK ADA ASALNYA. Demikian ditegaskan Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz.
Tetapi maknanya benar, yaitu anjuran untuk menuntut ilmu syar’I sejak dini hingga meninggal dunia. Pernah dikatakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal: “Sampai kapankah seorang menuntut ilmu? Beliau menjawab: Sampai meninggal dunia, lalu katanya: “Kami hingga saat ini tetap menuntut ilmu”.

Meraih Kesuksesan Dunia Akherat Dengan Ilmu
مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ, وَمَنْ أَرَادَ الأَخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ, وَمَنْ أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ
Barangsiapa yang menghendaki dunia, maka hendaknya dia berilmu. Dan barangsiapa yang menghendaki akherat, maka hendaknya dia berilmu. Dan barangsiapa yang menghendaki dunia akherat, maka hendaknya dia berilmu.
TIDAK ADA ASALNYA. Sekalipun populer dan sering disampaikan oleh para penceramah dalam upaya menggalakkan semangat menuntut ilmu. Wallahul Musta’an.
Sungguh penulis telah melacak hadits ini dalam ensiklopedi hadits, namun sampai detik ini penulis belum menemukannya. Oleh karena itu, untuk sementara waktu penulis berkesimpulan bahwa hadits ini tidak ada asalnya. Penulis hanya menemukan penjelasan imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu Syarh Al-Muhadzdzab 1/30 tatkala menyebutkan bahwa ucapan di atas adalah termasuk salah satu kata mutiara Imam Syafi’i tanpa penggalan kata terakhir.
Menurut hemat penulis, barangkali saja para propagandis hadits ini mencomot ucapan imam Syafi’i di atas lalu menganggapanya sebagai hadits Nabi!!!. Cukuplah bagi kita dalil-dalil shahih yang termuat dalam Al-Qur’an maupun hadits yang shahih tentang keutamaan ilmu.

Ulama Umatku Seperti Para Nabi Bani Israil
عُلَمَاءُ أُمَّتِيْ كَأَنْبِيَاءِ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ
Ulama umatku seperti para Nabi Bani Israil.
TIDAK ADA ASALNYA. Dengan kesepakatan ulama. Hadits ini dijadikan dalil oleh kelompok al-Qodiyaniyah yang sesat tentang adanya Nabi setelah Nabi . Justru, bila dicermati andaikan hadits ini shahih, tentuMuhammad malah akan membantah mereka .
Ibnu Muflih berkata: “Saya tidak mendapati asal usulnya, dan tidak disebutkan dalam kitab-kitab yang masyhur, dan tidak shahih”.
Perlu diperhatikan juga bersabda:bahwa para ulama adalah pewaris Nabi, bukan seperti Nabi. Rasulullah
الْعُلَمَاءُ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ
Ulama adalah pewaris Nabi.

Kebaikan Ulama dan Umara’
صِنْفَانِ مِنْ أُمَّتِيْ إِذَا صَلَحَا صَلَحَ النَّاسُ : الأُمَرَاءُ وَالْفُقَهَاءُ وَفِيْ رِوَايَةٍ : الْعُلَمَاءُ
Dua golongan dari umatku apabila keduanya baik, maka manusia akan baik; umara’ (pemimpin) dan fuqoha’ (ahli fiqih). Dalam riwayat lain: ulama’.
MAUDHU. Diriwayatkan Tammam dalam al-Fawaid 1/238, Abu Nu’aim dalam al-Hilyah 4/96, Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi 1/184 dari jalur Muhammad bin Ziyad al-Yasykuri dari Maimun bin Mihran dari Ibnu Abbas dari Nabi.
Sanad hadits ini maudhu’, sebab Muhammad bin Ziyad adalah pendusta sebagaimana dikatakan Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Ma’in, ad-Daraquthni, Abu Zur’ah dan lain sebagainya.
Matan hadits ini juga perlu dikoreksi ulang, sebab membuat dikotomi antara ulama dan umara, yang hal ini berlawanan dengan tradisi Nabi sendiri dan para penerus beliau (al-Khulafa’ Rasyidin), dimana mereka di samping sebagai ulama juga sekaligus sebagai umara.

Ulama Lebih Berat Daripada Ahli Ibadah
فَقِيْهٌ وَاحِدٌ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنْ أَلْفِ عَابِدٍ
Satu orang alim itu lebih berat bagi syetan daripada seribu ahli ibadah.
MAUDHU’. Diriwayatkan Tirmidzi 2681, Ibnu Majah 222 dan lain sebagainya.
At-Tirmdzi berkata: “Ghorib”. Yakni lemah . Al-Munawi menukil dari al-Hafizh al-Iraqi bahwa beliau berkata tentang hadits ini: “Lemah sekali”.

Semua Orang Mati Kecuali Ulama
النَّاسُ كُلُّهُمْ مَوْتَى إِلاَّ الْعَالِمُوْنَ, وَالْعَالِمُوْنَ كُلُّهُمْ هَلْكَى إِلاَّ الْعَامِلُوْنَ, وَالْعَامِلُوْنَ كُلُّهُمْ غَرْقَى إِلاَّ الْمُخْلِصُوْنَ ,وَالْمُخْلِصُوْنَ عَلَى خَطَرٍ عَظِيْمٍ
Semua manusia itu mati kecuali orang yang berilmu, dan semua yang berilmu itu binasa kecuali yang mengamalkan, dan yang beramal semuanya tenggelam kecuali yang ikhlas, dan yang ikhlas dalam bahaya besar.
TIDAK ADA ASALNYA. Disebutkan oleh as-Shaghani dalam al-Maudhu’at hal.5 seraya berkata: “Hadits ini diada-adakan, dan secara tata bahasa Arab juga keliru, karena yang benar adalah الْعَالِمِيْنَ, الْعَامِلِيْنَ, الْمُخْلِصِيْنَ”.
Ucapan ini persis dengan ucapan orang-orang shufi, seperti ucapan Sahl bin Abdullah at-Tustari: “Semua manusia itu mabuk kecuali ulama, dan semua ulama itu bingung kecuali yang mengamalkan ilmunya”. Kemungkinan ini asal hadits di atas, lalu sebagian orang jahil menganggapnya hadits.
Hadits ini sering saya dengar di pengajian ba’da shubuh di Radio, lebih-lebih saat bulan suci Ramadhan!! Allahul Musta’an.

Belajar Di Saat Kecil
مَثَلُ الَّذِيْ يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ فِيْ صِغَرِهِ كَالنَّقْشِ فِي الْحَجَرِ, وَمَثَلُ الَّذِيْ يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ فِيْ كِبَرِهِ كَالَّذِيْ يَكْتُبُ عَلَى الْمَاءِ
Perumpamaan seorang yang menuntut ilmu sejak kecilnya seperti mengukir di batu, dan perumpamaan seorang yang menuntut ilmu saat usia tua seperti menulis di atas air.
MAUDHU. Diriwayatkan ath-Thabarani dalam Mu’jam al-Kabir dari sahabat Abu Darda’.
Hadits ini maudhu’, sebab dalam sanadnya terdapat Marwan bin Salim asy-Syami, dan dia adalah seorang yang lemah sekali sebagaimana dikatakan Imam Bukhari, Abu Hatim, as-Saaji, Ibnu Hibban dan lainnya.
Cukuplah bagi kita ayat dan hadits berikut yang menganjurkan kepada kita untuk mendidik anak-anak sejak dini, seperti ayat dan hadits berikut:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. (QS. at-Tahrim: 6)
menjelaskan, “Maksudnya, ajari dan didiklah mereka.Ali bin Abu Thalib
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ n مُرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ, وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشَرِ سِنِيْنَ, وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فيِ الْمَضَاجِعِ
Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya berkata, Rasulullah n/ bersabda, “Perintahkanlah anak-anak kalian shalat tatkala mereka berumur tujuh tahun dan pukul mereka (jika tidak mau shalat) pada umur sepuluh tahun serta pisahkanlah tempat tidur mereka.”
Maksud hadits ini bukan hanya sekedar memerintahkan mereka sholat begitu saja, tetapi mengajarkan kepada .mereka tata cara sholat yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah

BAB THOHARAH

Kebersihan sebagian dari Iman
النَّظَافَةُ مِنَ الإِيْمَانِ
Kebersihan itu sebagian dari iman.
TIDAK , ia hanyalah ucapan yangADA ASALNYA. Ucapan ini bukan hadits nabi beredar di lisan manusia lalu dianggap sebagai hadits.
Hadits ini sangat laris manis di lidah dan dihafal oleh anak-anak dan juga orang . Cukuplah sebagaidewasa, padahal hadits ini tidak sah dari Nabi :gantinya, sabda Nabi
إِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ
Sesungguhnya Allah itu Jamil (indah), Dia mencintai keindahan. (Muslim: 91)

Do’a pada setiap anggota wudhu
Seperti do’a ketika mengusap wajah:
أَللَّهُمَّ بَيِّضْ وَجْهِيْ يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوْهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوْهٌ
Ya Alloh putihkanlah wajahku pada hari wajah-wajah (kaum mukmin) putih dan wajah-wajah (kaum kafir) hitam….
TIDAK ADA ASALNYA. Dibawakan secara panjang oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin (1/132-133).
Imam Nawawi berkata: “Adapun do’a tersebut, maka tidak ada asalnya, disebutkan oleh kebanyakan kawan-kawan kami (madzhab Syafi’i) dan tidak disebutkan oleh para pendahulu….”
Beliau juga berkata: “Adapun do’a pada setiap anggota wudhu, maka tidak datang sedikitpun dari Nabi.”
Al-Hafizh Ibnul Qayyim berkata: “Adapun dzikir-dzikir yang biasa dibaca oleh orang-orang awam pada setiap anggota wudhu, maka tidak ada asalnya dari dan seorang pun dari sahabat, tabi’in dan imam empat. DanRasululllah .”di dalamnya terdapat hadits dusta atas Rasulullah
(Faedah)
Al-Hafizh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata: “Dan tidak dinukil dari Nabi n/ bahwa beliau n/ berdo’a dalam wudhunya dengan suatu do’a pun selain tasmiyah (bismillah). Dan setiap hadits tentang dzikir-dzikir wudhu yang dikatakan di dalamnya adalah dusta, tidak pernah diajarkan oleh . Tidak shahih dari beliau n/ melainkan bacaan tasmiyahRasulullah (bismillah) di awalnya dan do’a setelah wudhu yaitu:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan rasulNya. Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang yang sering bertaubat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bersuci.
Ash-Shan’ani berkata: “Pengarang (Ibnu Hajar) tidak menyebutkan dzikir-dzikir dalam wudhu kecuali hadits tasmiyah pada awalnya dan dzikir ini (do’a setelah wudhu) pada akhirnya. Adapun hadits tentang dzikir pada setiap anggota wudhu, maka beliau tidak menyebutkannya karena telah disepakati kelemahannya….”.

Mengambil Air Baru Untuk Telinga
خُذُوْا لِلرَّأْسِ مَاءً جَدِيْدًا
Ambilah untuk kepala air yang baru.
LEMAH SEKALI. Diriwayatkan ath-Thobarani 1/214/2 dari Dahtsam bin Qurron dari Nimron bin Jariyah dari ayahnya secara marfu’.
Sanad ini lemah sekali, sebab Dahtsam adalah seorang yang ditinggalkan haditsnya sebagaimana ditegaskan al-Hafizh Ibnu Hajar.
Kesimpulannya, tidak ada dalam sunnah yang shahih tentang mengambil air baru untuk membasuh telinga, maka cukup dengan air yang digunakan untuk membasuh kepala. Hal ini dikuatkan dengan hadits:
الأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ
Dua telinga itu termasuk kepala.
Ditambah tidak adalagi, hadits-hadits yang menceritakan tentang wudhu Nabi seorangpun yang menceritakan bahwa beliau mengambil air baru untuk telinga.

Wudhu Lagi Adalah Cahaya
الْوُضُوْءُ عَلَى الْوُضُوْءِ نُوْرٌ عَلَى نُوْرٍ
Wudhu di atas wudhu adalah cahaya di atas cahaya.
TIDAK ADA ASALNYA. Sebagaimana ditegaskan oleh Al-Mundziri , Al-Hafizh al-Iraqi juga berkata: “Saya tidak mendapatinya”. Syaikh al-Albani berkata: “Adapun hadits yang sangat populer “Wudhu di atas wudhu adalah cahaya di atas cahaya” maka tidak ada asalnya dari ucapan Nabi sebagaiamana ditandaskan oleh al-Mundziri dan al-Iraqi, kemungkinan itu adalah ucapan sebagian salaf”.
Adapun al-Hafizh Ibnu Hajar, beliau mengatakan bahwa hadits ini lemah, diriwayatkan Rozin dalam Musnadnya.

BAB ADZAN DAN IQOMAT

Adzan Tatkala Lahirnya Bayi
مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُوْدٌ فَأَذَّنَ فِيْ أُذُنِهِ الْيُمْنَى, وَأَقَامَ فِيْ أُذُنِهِ الْيُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ
Barangsiapa yang dikaruniai seorang bayi, lalu dia adzani di telinga bagian kanan-nya dan iqomat di telinga bagian kirinya, maka dia tidak akan ditimpa gangguan jin.
MAUDHU’. Diriwayatkan al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman 6/390, Abu Ya’la 6780, Ibnu Sunni dalam Amalul Yaumi wa Lailah 623 dari jalan Yahya bin Al-Ala’ dari Marwan bin Salim dari Tholhah bin Ubaidillah dari Husain bin Ali.
Sanad hadits ini maudhu’, disebabkan Yahya bin al-Ala’ dan Marwan bin Salim adalah dua rawi yang memalsukan hadits.
Faedah: Hadits ini memiliki beberapa penguat, tetapi sayangnya tetap tidak bisa terangkat derajatnya. Maka pernyataan sebagian ulama bahwa hadits ini adalah hasan adalah sebuah kekeliruan, termasuk Syaikh al-Albani dalam beberapa kitabnya, tetapi pada akhirnya beliau meralat pendapatnya. Oleh karena haditsnya lemah, maka tidak bisa diamalkan.
Dalam kitabnya Al-Insyirah fi Adabi Nikah (hal. 96), setelah membawakan hadits tentang adzan di telinga bayi, Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini berkata, “Tetapi haditsnya lemah. Sedangkan hukum sunnah secara sepakat tidak dapat ditetapkan dengan hadits lemah. Sekalipun saya telah mencari dan membahasnya, belum juga mendapatkan penguatnya.”

Sholawatan Antara Adzan dan Iqomat
كَانَ بِلاَلٌ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُقِيْمَ الصَّلاَةَ, قَالَ : السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ, يَرْحَمُكَ اللهُ
Adalah Bilal apabila akan mengumandangkan iqomat, dia berkata: Keselematan bagimu wahai Nabi dan rahmat Allah serta keberkahannya, semoga Allah merahmatimu.
MAUDHU’. Diriwayatakn ath-Thobarani dalam al-Ausath 1/27: Menceritakan kami Miqdam bin Dawud: Menceritakan kami Abdullah bin Muhammad al-Mughirah: Menceritakan kami Kamil Abul Ala’ dari Abu Sholih dari Abu Hurairah, lalu berkata: “Hadits ini tidak ada yang meriwayatkan dari Kamil kecuali Abdullah saja”.
Sanad ini lemah, sebabnya adalah Abdullah bin Mughirah ini, hadits-haditsnya palsu sebagaimana dikatakan adz-Dzahabi. Demikian juga Miqdam bin Dawud, dia tidak terpercaya sebagaimana dikatakan Nasa’i.
Hadits ini seakan dasar untuk suatu bid’ah yang menyebar, yaitu sholawatan secara keras sebelum iqomat seperti bid’ah lainnya yaitu sholawatan secara keras usai adzan sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. Padahal dhohir hadits ini kalau memang shohih bahwa Bilal masuk ke kamar Nabi untuk memberitahu beliau agar keluar karena iqomat sudah dekat.
(Perhatian): Para ulama apabila mengingkari bid’ah seperti ini, maka janganlah ada anggapan pada diri seorang bahwa mereka mengingkari disyaria’atkannya shalawat kepada Nabi!
Namun yang mereka ingkari adalah apabila sholawat , atau dengandiletakkan pada tempat yang tidak dicontohkan oleh Nabi model-model yang tidak disyari’atkan oleh Allah melalui lisan Nabi-Nya, sebagaimana telah shohih dari Ibnu Umar bahwa tatkala ada seorang bersin dan berkata: “Alhamdulillah dan sholawat serta salam atas Rasulullah “, beliau berkata: “Saya juga mengatakan Alhamdulillah dan sholawat serta salam untuk Rasulullah”. Namun bukan seperti itu Rasulullah mengajarkan kita! Katakanlah: Alhamdulillah Rabbil Alamin.
Lihatlah bagaimana Ibnu Umar mengingkari peletakan Sholawat di samping pujian kepada Allah dengan alasan bahwa Nabi tidak melakukan hal itu, padahal dalam waktu yang sama beliau menegaskan bahwa dirinya juga bersholawat kepada Nabi. Hal itu untuk menolak anggapan yang mungkin terlintas dalam benak seorang bahwa beliau mengingkari sholawat secara keseluruhan! Sebagaimana anggapan sebagian orang-orang bodoh tatkala pembela sunnah mengingkari bid’ah-bid’ah seperti ini! Semoga Allah memberi petunjuk mereka kepada sunnah.

Paling Berhak Untuk Iqomat
مَنْ أَذَّنَ فَهُوَ يُقِيْمُ
Barangsiapa yang adzan, maka dialah yang iqomat.
LEMAH. Diriwayatkan Abu Dawud 514, Tirmidzi 146, Ibnu Majah 717, dan selain mereka dari jalan Abdur Rahman bin Ziyad al-Ifiriqi dari Ziyad bin Nu’aim al-Hadzrami dari Ziyad bin Harits ash-Shuda’I secara marfu’.
Sanad ini lemah, karena al-Ifriqi adalah seorang rawi yang lemah. At-Tirmidzi berkata: “Kami hanya mengetahuinya dari hadits al-Ifriqi, dan dia lemah menurut ahli hadits”. Hadits ini dilemahkan juga oleh al-Baghawi , Imam Nawawi , al-Baihaqi .
Termasuk dampak negatif hadits ini, dia menyebabkan pertikaian diantara jama’ah shalat sebagaimana kadang terjadi, yaitu tatkala muadzin terlambat ke masjid karena udzur, lalu ada sebagian hadirin yang ingin iqomat, maka seketika itu pula dia akan ditegur dengan hadits ini, padahal si miskin tersebut tidak tahu kalau ,hadits ini ternyata lemah dan tidak boleh dinisbatkan kepada Nabi apalagi untuk menghalangi manusia untuk segera melaksankan ketaatan kepada Allah, yaitu menegakkan shalat.

Doa Menjawab Iqomat
أَنَّ بِلاَلاً أَخَذَ فِي الإِقَامَةِ, فَلَمَّا أَنْ قَالَ : ” قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ ” قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” أَقَامَهَا اللهُ وَأَدَامَهَا”
Sesungguhnya Bilal tatkala dia iqomat dan sampai pada kata “Qod Qomathis Sholat”, Nabi bersabda: “Aqomahallahu wa Adamaha” (Allah menegakkan dan melanggengkannya).
LEMAH. Diriwayatkan Abu Dawud 528, Ibnu Sunni dalam Amalul Yaum wa Lailah 102, al-Baihaqi 1/411 dari jalur Muhammad bin Tsabit dari seorang penduduk Syam dari Syahr bin Hausyab dari Abu Umamah dari sebagian sahabat Nabi.
Sanad hadits ini lemah, sebab Muhammad bin Tsabit adalah lemah, demikian juga Syahr bin Hausyab, dan seorang dari Syam juga tidak diketahui. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “lemah”. Demikian juga hadits ini dilemahkan oleh an-Nawawi dan Ibnu Katsir .
Apabila haditsnya lemah, maka tidak bisa dijadikan dalil tentang sunnahnya ucapan ini sebagaimana dikatakan oleh sebagian fuqoha’, karena sunnah adalah suatu hukum yang harus berlandaskan pada dalil yang shohih.
Faedah: Syaikh Bakr Abu Zaid berkata: “Tidak diketahui adanya hadits shohih yang jelas menunjukkan tentang menjawab iqomat sebagaimana dalam adzan. Adapun memasukkan menjawab iqomat dalam keumuman hadits menjawab adzab, maka tidakhal itu tidak bisa diterima, karena ajaran terperinci dari Nabi bisa terpenuhi kecuali dalam adzan. Barangkali hal ini -Allahu A’lam- untuk keringanan, karena iqomat disyari’atkan lebih cepat dan pendengarpun sibuk untuk menata barisan”.

Menjawab Ucapan Muadzin “As-Solah Khairun Minan Naum”
صَدَقْتَ وَبَرِرْتَ
Engkau benar dan baik
TIDAK ADA ASALNYA. Sebagaimana ditegaskan Al-Hafizh Ibnu Hajar dan Mula al-Qori . Ash-Shon’ani berkata: “Ini adalah anggaan baik dari pelontarnya, padahal tidak ada sunnah yang bisa dijadikan sandaran tentangnya”.
Karena haditsnya tidak bisa dijadikan sandaran, maka apa yang dibaca ketika mendengar ucapan muadzin “As-Solat Khoirun Minan Naum”?! Kita jawab: Bacalah seperti ucapannya juga (as-Sholatu Khoirun Minan Naum) , berdasarkan keumuman sabda Nabi:
إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ
Apabila kalian mendengar adzan, maka katakanlah seperti apa yang dikatakan oleh muadzin.

BAB SHOLAT

Sholat Hari-Hari Tertentu
TIDAK ADA YANG SHOHIH. Dibawakan oleh al-Ghozali dalam Ihya’ Ulumuddin 1/232-235. Ibnul Qayyim berkata: “Hadits-hadits tentang sholat pada hari dan malam tertentu seperti hari Ahad, malam Ahad, hari Senin, malam senin dan seterusnya. Semua haditsnya adalah dusta”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Lebih parah darinya adalah apa yang disebutkan oleh sebagian penulis dalam keutamaan amal sholat mingguan dan tahunan seperti sholat hari Ahad, senin, selasa, rabu, kamis, jumat, sabtu seperti yang terdapat dalam kitab Abu Thalib, Abu Hamid (al-Ghozali), Abdul Qadir dan sebagainya..dan solat-solat sejenisnya. Semua itu dengan kesepakatan ahli hadits”.merupakan kedustaan kepada Nabi
Az-Zabidi mengatakan: “Tidak shohih tentang sholat malam dan hari mingguan ini satu haditspun”. Dan semua hadits yang dibawakan al-Ghozali dilemahkan oleh al-Iraqi.
Hadits-haditsnya dikupas secara rinci oleh Abdul Hayyi al-Laknawi dalam kitabnya Al-Atsarul Marfu’ah fil Akhbar Al-Maudhu’ah hal. 47-58. Lebih parahnya lagi, mereka membuat-buat ketentuan sebagian surat dalam bacaan sholat-sholat ini.

Shalat “Alfiyah” pada malam nishfu Sya’ban
Dinamakan Alfiyah (seribu) karena bacaan shalatnya adalah surat al-Ikhlas seribu kali dalam seratus raka’at, Pada setiap raka’at membaca al-Fatihah sekali dan al-Ikhlas sepuluh kali. Adapun haditsnya adalah:
يَا عَلِيُّ! مَنْ صَلَّى مِائَةَ رَكْعَةٍ لَيْلَةَ النِصْفِ مِنْ شَعْبَانَ يَقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ وَ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ عَشَرَ مَرَّاتٍ إِلاَّ قَضىَ اللهُ لَهُ كُلَّ حَاجَةٍ
Wahai Ali, barangsiapa shalat seratus raka’at pada malam nishfu Sya’ban dengan membaca surat al-Fatihah dan ‘Qul huwa Allohu ahad’ (surat al-Ikhlas) pada setiap raka’at sepuluh kali, maka Alloh akan memenuhi seluruh kebutuhannya.
MAUDHU’. Dibawakan Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at 2/129, seraya berkata “Tidak diragukan lagi, hadits ini adalah maudhu’.” Kemudian lanjutnya, “Dan sungguh kita telah melihat mayoritas orang melakukan shalat Alfiyah ini sampai larut malam, sehingga mereka pun malas shalat Shubuh atau bahkan tidak shalat Shubuh.”
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Di antara contoh hadits-hadits maudhu’ adalah hadits tentang shalat nishfu Sya’ban.” Lalu lanjutnya, “Sungguh sangat mengherankan, ada seorang yang mengerti ilmu hadits, namun tertipu dengan hadits-hadits semacam ini lalu mengamalkannya. Padahal shalat seperti ini baru disusupkan dalam Islam setelah tahun 400 Hijriyah dan berkembang di Baitul Maqdis.”
Imam Nawawi berkata: “Shalat Rajab dan Sya’ban, keduanya merupakan bid’ah yang jelek dan mungkar.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan “Adapun mengkhususkan puasa pada hari nishfu Sya’ban, tidak ada dasarnya, bahkan haram. Demikian pula menjadikannya sebagai perayaan, dengan membuat makanan dan menampakkan perhiasan. Semua ini merupakan perayaan-perayaan bid’ah yang tidak berdasar sama sekali. Termasuk pula berkumpul untuk melakukan shalat Alfiyah di masjid-masjid. Karena melaksanakan shalat sunnah pada waktu, jumlah raka’at, dan bacaannya tertentu yang tidak disyari’atkan, hukumnya adalah haram.
Selain itu hadits tentang shalat Alfiyah adalah maudhu’ menurut kesepakatan ahli hadits. Oleh karena itu, tidak boleh menganggap sunnah shalat Alfiyah berdasarkan hadits tersebut. Dan jika tidak disunnahkan maka haram mengamalkannya. Seandainya malam-malam yang mempunyai keutamaan tertentu, disyari’atkan untuk dikhususkan dengan melakukan shalat, tentunya amalan shalat tersebut disyari’atkan pula, untuk dilakukan pada malam Idul Fithri, Idul Adha, dan hari Arafah.”

Shalat Ragha’ib
Shalat Ragha’ib adalah shalat yang dilaksanakan pada malam Jum’at pertama bulan Rajab, tepatnya antara shalat Maghrib dan Isya’ dengan didahului puasa hari Kamis, dikerjakan dengan dua belas raka’at. Pada setiap raka’at membaca surat al-Fatihah sekali, surat al-Qadar tiga kali dan surat al-Ikhlas dua belas kali … dan seterusnya.
Sifat shalat seperti di atas tadi didukung oleh sebuah riwayat dari sahabat Anas bin Malik a/ yang dibawakan secara panjang oleh Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin 1/203 dan beliau menamainya ‘shalat Rajab’ seraya berkata, “Ini adalah shalat yang disunnahkan.”
MAUDHU’. Para pakar hadits telah bersepakat dalam satu kata bahwa hadits-hadits tentang shalat Ragha’ib adalah maudhu’ .
Al-Hafizh Ibnul Jauzi berkata: “Hadits shalat Ragha’ib adalah palsu, didustakan . Para ulama mengatakan hadits ini dibuat-buatatas nama Rasulullah oleh seseorang yang bernama Ibnu Juhaim. Dan saya mendengar syaikh (guru) kami Abdul Wahhab al-Hafizh mengatakan, ‘Para perawinya majhul (tidak dikenal), saya telah memeriksa seluruhnya dalam setiap kitab, namun saya tidak mendapatkannya.’
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Shalat Ragha’ib adalah bid’ah menurut kesepakatan para imam , tidak pula oleh seorang punagama, tidak disunnahkan oleh Rasulullah dari khalifahnya, serta tidak dianggap baik oleh para ulama panutan, seperti Imam Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, Abu Hanifah, Sufyan ats-Tsauri, Auza’i, Laits, dan sebagainya. Adapun hadits tentang shalat Ragha’ib tersebut adalah hadits dusta, menurut kesepakatan para pakar hadits.”
Al-Hafizh Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata: “Demikian pula hadits-hadits tentang shalat Ragha’ib pada awal malam Jum’at bulan Rajab, seluruhnya dusta, dibuat-buat atas nama Rasulullah n/.” Al-Hafizh al-Iraqi berkata, “Hadits maudhu’.”
Asy-Syaukani berkata: “Maudhu’, para perawinya majhul. Dan inilah shalat Ragha’ib yang populer, para pakar telah bersepakat bahwa hadits tersebut maudhu’. Kepalsuannya tidak diragukan lagi, hingga oleh seorang yang baru belajar ilmu hadits sekalipun. Berkata al-Fairuz Abadi dalam al-Mukhtashar bahwa hadits tersebut maudhu’ menurut kesepakatan ahli hadits, demikian pula dikatakan oleh al-Maqdisi.”
Imam Nawawi dalam berkata, “Shalat yang dikenal dengan shalat Ragha’ib dua belas raka’at antara Maghrib dan Isya’ awal malam Jum’at bulan Rajab serta shalat malam Nisfu Sya’ban seratus raka’at, termasuk bid’ah mungkar dan jelek. Janganlah tertipu dengan disebutnya kedua shalat tersebut dalam kitab Quutul Qulub dan Ihya’ Ulumuddin (oleh al-Ghazali) dan jangan tertipu pula oleh hadits yang termaktub pada kedua kitab tersebut . Sebab, seluruhnya merupakan kebatilan.” Beliau juga berkata: “Semoga Allah membinasakan pembuatnya, karena itu adalah kebid’ahan, kemunkaran, kesesatan dan kejahilan. Di dalamnya terdapat kemunkaran yang nampak. Para ulama telah menulis kitab-kitab bagus tentang jeleknya sholat ini dan sesatnya pelakunya”.
Al-Hafizh as-Suyuthi berkata: “Ketahuilah -semoga Alloh merahmatimu- bahwa mengagungkan hari dan malam ini (Rajab) merupakan perkara yang diada-adakan dalam Islam, yang bermula setelah 400 H. Memang ada riwayat yang mendukungnya, namun haditsnya maudhu’ menurut kesepakatan para ulama.
Riwayat tersebut intinya tentang keutamaan puasa dan shalat pada bulan Rajab yang dinamai dengan shalat Ragha’ib. Menurut pendapat para pakar, dilarang mengkhususkan bulan ini (Rajab) dengan puasa dan shalat bid’ah (shalat Ragha’ib) serta segala jenis pengagungan terhadap bulan ini seperti membuat makanan, menampakkan perhiasan, dan sejenisnya. Supaya bulan ini tidak ada bedanya seperti bulan-bulan lainnya.”
Syaikh Zainuddin al-Maliibari berkata: “Adapun shalat yang dikenal dengan shalat malam Roghoib, nisfhu Sya’ban, Asyura, maka hal itu merupakan bid’ah yang jelek dan hadits-haditsnya adalah palsu. Lebih jelek lagi, adalah kebiasaan sebagian orang untuk melakukan shalat hari kamis pada pekan akhir bulan ramadhan dengan anggapan untuk meleburkan shalat-shalat yang ditinggalkan selama setahun atau selama sehidup. Semua itu hukumnya adalah haram”.
Kesimpulannya, riwayat tentang shalat Ragha’ib adalah palsu, menurut kesepakatan ahli hadits. Oleh karena itu, beribadah dengan hadits palsu merupakan kebid’ahan dalam agama, apalagi shalat Ragha’ib ini baru dikenal mulai tahun 448 H.

Shalat Hafal Al-Qur’an
يَا أَبَا الْحَسَنِ أَفَلاَ أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ يَنْفَعُكَ اللهُ بِهِنَّ وَيَنْفَعُ بِهِنَّ مَنْ عَلَّمْتَهُ وَيُثْبِتُ مَا تَعَلَّمْتَ فِيْ صَدْرِكَ؟ قَالَ : أَجَلْ يَا رَسُوْلَ اللهِ, فَعَلِّمْنِيْ . قَالَ : إِذَا كَانَ لَيْلَةُ الْجُمُعَةِ, فَإِذَا اسْتَطَعْتَ أَنْ تَقُوْمَ فِيْ ثُلُثِ اللَّيْلِ الآخِرِ فَإِنَّهَا سَاعَةٌ مَشْهُوْدَةٌ وَالدُّعَاءُ فِيْهَا مُسْتَجَابٌ…
Wahai Abul Hasan (Ali bin Abi Thalib), maukah engkau saya ajarkan padamu beberapa kalimat yang Allah akan memberikan manfaat kepadamu dengannya, demikian juga kepada orang yang engkau ajarkan, dan menetapkan apa yang engkau pelajari dalam hatimu? Dia menjawab: Ya wahai rasulullah, ajarkanlah aku. Nabi bersabda: Pada malam jum’at, kalau kamu bisa bangun pada sepertiga malam, karena saat itu adalah waktu yang disaksikan dan doa terkabukan…
MUNKAR. Diriwayatkan Tirmidzi 2/275, al-Hakim 1/316 dari jalur Sulaiman bin Abdur Rahman ad-Dimasyqi dari Walid bin Muslim: Menceritakan kami Ibnu Juraij dari Atho’ bin Abi Robah dan Ikrimah maula Ibnu Abbas.
Hadits ini adalah maudhu’ sebagaimana dikatakan oleh adz-Dzahabi dan Ibnu Katsir .
Hadits ini juga dicantumkan Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at dan disetujui as-Suyuthi dalam al-Aalai al-Mashnu’ah 2/67. Semua itu, karena Walid bin Muslim adalah seorang yang sering mentadlis (menyembunyikan kecacatan hadits).

Shalat Birrul Walidain
TIDAK ADA ASALNYA. Syaikh Abu Hafsh al-Mushili berkata: “Sholat raghoib, mi’raj, nisfhu Sya’ban, sholat iman, setiap hari dan malam pada setiap minggu, sholat birrul walidain (bakti kepada orang tua), asyura. Tidak ada yang shohih satupun dari Nabi dalam masalah ini”.
Adapun hadits berikut:
عَنْ أَبِيْ أُسَيْدٍ مَالِكِ بْنِ رَبِيْعَةَ السَّاعِدِيِّ قَالَ : بَيْنَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِيْ سَلَمَةَ فَقَالَ : يَارَسُوْلَ اللهِ, هَلْ بَقِيَ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ شَىْءٌ أَبُرُّهُمَا بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا ؟ قَالَ : نَعَمْ, الصَّلاَةُ عَلَيْهِمَا وَالاِسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِيْ لاَ تُوْصَلُ إِلاَّ بِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيْقَيْهِمَا
Dari Abu Usaid, Malik bin Rabi’ah as-Saa’idi berkata: Tatkala kami sedang duduk-duduk bersama Nabi tiba-tiba ada seorang lelaki dari Bani Salamah berkata: Wahai rasulullah, adakah kebaikan yang dapat saya lakukan untuk kedua orang tua saya setelah keduanya meninggal dunia? Beliau menjawab: Ya, sholat (doa) untuk keduanya, memintakan ampun untuk keduanya, menunaikan janji keduanya, menyambung tali persaudaraan keduanya dan memuliakan handai taulan kedua orang tua.
Pertama: Hadits ini lemah, diriwayatkan Bukhari dalam Adabul Mufrod 35, Abu Dawud 5142, Ibnu Majah 3664. Tetapi dalam sanadnya ada Ali bin Ubaid as-Saa’idi, dia seorang yang majhul (tidak diketahui).
Kedua: Kalaulah memang hadits ini shahih, tetap tidak bisa dijadikan dasar untuk sholat birrul walidain, karena makna sholat di sini adalah doa sebagaimana ditafsirkan dalam riwayat Bukhari . Wallahu A’lam.

Sholat Akan Bepergian
مَا خَلَّفَ عَبْدٌ عَلَى أَهْلِهِ أَفْضَلَ مِنْ رَكْعَتَيْنِ يَرْكَعُهُمَا عِنْدَهُمْ حِيْنَ يُرِيْدُ سَفَرًا
Tidaklah seorang meninggalkan pada keluarganya sesuatu yang lebih utama daripada dua rakaat yang dia lakukan di sisi mereka ketika dia hendak melakukan safar (beergian).
LEMAH. Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah 1/105, al-Khothib dalam al-Muwadhih 2/220-221. Tetapi sanad hadits ini mursal, karena Muth’im bin Miqdam adalah seorang tabi’in.
Faedah: Imam Nawawi berdalil dengan hadits ini tentang disunnahkannya bagi seorang yang hendak bepergian untuk sholat dua rakaat dulu sebelum berangkat . Pendapat ini perlu dikaji ulang, sebab “sunnah” adalah hukum syar’I, tidak boleh dinyatakan karena berdasar pada hadits yang lemah, sedangkan tidak ada dalil yang shohih tentang sholat ini, lain halnya sholat ketika tatkala datang dari safar, maka hal itu disyari’atkan.

Sholat Malam Hari Raya
مَنْ أَحْيَا لَيْلَةَ الْفِطْرِ وَلَيْلَةَ الأَضْحَى لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوْتُ الْقُلُوْبُ
Barangsiapa menghidupkan malam idhul fithri dan idhul adha, maka hatinya tidak mati pada hari semua hati mati.
MAUDHU’. Al-Haitsami berkata: “Diriwayatkan ath-Thobarani dalam al-Kabir dan al-Ausath dari Ubadah bin Shamith, tetapi dalam sanadnya terdapat Umar bin Harun al-Balkhi, sekalipun Ibnu Mahdi dan selainnya memujinya tetapi kebanyakan ulama melemahkannya”.
Ibnu Mahdi juga memiliki ucapan lain yang sangat berbeda jauh, dimana dia mengatakan: “Dia tidak berharga menurutku”. Ibnu Ma’in, dan Shalih Jazro berkata tentangnya: “Pendusta”.
Ibnul Qayyim berkata ketika membicarakan petunjuk Nabi n\ malam hari raya idhul Adha: “kemudian beliau tidur dan tidak menghidupkan malam itu, dan tidak shahih satu haditspun berkaitan tentang sholat di malam hari raya”.
Namun perlu diketahui bahwa hal ini adalah bagi mereka yang mengkhususkan malam hari raya dengan ibadah dan sholat, adapun bagi mereka yang memang biasanya adalah melakukan sholat maka tidak mengapa baginya.

Sholat Arbain
مَنْ صَلَّى فِيْ مَسْجِدِيْ أَرْبَعِيْنَ صَلاَةً لاَ يَفًُوْتُهُ صَلاَةٌ كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ وَنَجَاةٌ مِنَ الْعَذَابِ وَبَرِىءَ مِنَ النِّفَاقِ
Barangsiapa shalat di masjidku empat puluh kali sholat tidak luput darinya satu sholatun, maka ditulis baginya kebebasan dari neraka dan siksa dan dia lepas dari kemunafikan.
MUNKAR. Diriwayatkan Ahmad 3/155, ath-Thobarani dalam Mu’jam al-Ausath 2/32 dari jalan Abdur Rahman bin Abi Rijal dari Nubaith bin Umar dari Anas bin Malik secara marfu’.
Sanad ini lemah, sebab Nubaith ini tidak dikenal kecuali dalam hadits ini saja. Apalagi hadits ini menyelisihi lafadz hadits shahih sebagai berikut:
مَنْ صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا فِيْ جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيْرَةَ الأُوْلَى كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَتَانِ : بَرَاءَةٌ مِِنَ النَّارِ وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ
Barangsiapa shalat empat puluh hari secara berjama’ah dan mendapati takbiratul ihram, maka ditulis baginya dua kebebasan: Kebebasan dari neraka dan kebebasan dari kemunafikan .
Lafadz hadits shahih ini sangat berbeda dengan hadits pembahasan, karena tidak mencukupkan hanya di masjid nabawi saja.

Sholat Adalah Pencegah Kemunkaran
مَنْ لَمْ تَنْهَهُ صَلاَتُهُ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْدًا
Barangsiapa yang shalatnya tidak mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar, maka Allah tidak menambahnya kecuali kejauhan.
BATHIL. Sekalipun hadits ini begitu populer, tetapi dia tidak shahih. Diriwayatkan ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir 3/106, al-Qudha’i dalam Musnad asy-Syihab 2/43 dari jalur Laits dari Thawus dari Ibnu Abbas.
Sanad hadits ini lemah karena Laits bin Abi Sulaim adalah seorang yang lemah. Al-Hafizh al-Iraqi berkata: “Sanadnya lemah” . Ibnul Junaid berkata tentang hadits ini: “Dusta”.
Kesimpulannya, hadits ini tidak shahih dari Nabi n\, tetapi hanya shahih dari ucapan Ibnu Mas’ud dan Hasan al-Bashri. Syakhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Hadits ini tidak shohih dari Nabi n\, akan tetapi sholat adalah mencegah dari perbuatan keji dan munkar sebagaimana disebutkan oleh Allah dalam kitab-Nya. Bagaimanapun, sholat tidak menambah jauh pelakunya, bahkan orang yang sholat lebih baik daripada yang tidak sholat dan lebih dekat kepada Allah sekalipun dia orang yang fasiq.

Dosa Ngobrol di Masjid
الْحَدِيْثُ فِي الْمَسْجِدِ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ الْبَهَائِمُ الْحَشِيْشَ
Obrolan di masjid itu memakan kebaikan sebagaimana hewan memakan rerumputan.
TIDAK ADA ASALNYA. Dibawakan oleh al-Ghozali dalam Ihya’ Ulumuddin 1/136. al-Iraqi berkata: “Saya belum mendapatkan sumbernya”. As-Subki berkata : “Saya tidak mendapati sanad hadits ini”.
Sesungguhnya Islam tidaklah melarang ucapan yang mubah, selagi tidak mengganggu orang yang sedang ibadah di masjid. Telah shahih dari para sahabat bahwa mereka ngobrol tentang perkara-perkara jahiliyyah dan didengar oleh Nabi n\, lalu mereka tertawa dan Nabi n\ tersenyum . Sekalipun demikian, perlu diperhatikan bahwa duduk di masjid itu pada asalnya adalah untuk sholat, membaca Al-Qur’an, dzikir, atau ilmu dengan syarat tidak mengeraskan suara dan mengganggu orang yang sedang sholat dan berdzikir.

Bila Khathib Naik Mimbar, Dilarang Bicara dan Sholat
إِذَا صَعِدَ الْخَطِيْبُ الْمِنْبَرَ, فَلاَ صَلاَةَ وَلاَ كَلاَمَ
Apabila khatib naik mimbar, maka tidak ada sholat dan ucapan.
BATHIL. Hadits dengan lafadz ini tidak ada asalnya sekaliun populer dan dipajang di dinding masjid, tetapi ada riwayat yang semakna dengannya, diriwayatkan oleh ath-Thobarani dalam al-Mu’jam al-Kabir, tetapi dalam sanadnya terdapat Ayyub bin Nuhaik, dan dia seorang rawi yang lemah. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Hadits lemah”. Apalagi hadits ini menyelisihi dua hadits berikut:

Hadits Pertama:

إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيْهِمَا
Apabila seorang diantara kalian datang, sedangkan imam sedang berkhutbah, maka hendaknya dia shalat dua rakaat dan memperingannya. (HR Muslim 3/14-15 dan selainnya).
Hadits ini secara jelas menunjukkan anjuran shalat dua rakaat setelah keluarnya imam, sedangkan hadits lemah ini malah melarangnya!!.

Hadits Kedua:
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ : أَنْصِتْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ
Apabila kamu berkata kepada kawanmu: “Diamlah” pada hari jum’at, sedangkan imam berkhutbah maka engkau telah sia-sia. (HR. Bukhari Muslim)
Dalam hadits ini dikatakan “sedangkan imam berkhutbah” berarti kalau imam tidak sedang berkhutbah maka hukumnya boleh bicara dan tidak terlarang. Jadi, yang menjadi patokan adalah khutbahnya Imam bukan hanya sekedar naiknya dia di atas mimbar.

Lupanya Rasulullah n\
أَمَّا إِنِّيْ لاَ أَنْسَى وَلَكِنْ أُنَسَّى لأُشَرِّعَ
Saya tidak lupa, tetapi saya dilupakan untuk sebagai syari’at.
BATHIL TIDAK ADA ASALNYA. Dibawakan al-Ghozali dalam Ihya’ 4/38 dan menyandarkannya kepada Nabi n\, lalu al-Iraqi berkomentar dalam Takhrijnya: “Disebutkan Imam Malik tanpa sanad. Ibnu Abdil Barr berkata: “Tidak ada dalam Al-Muwatha’ kecuali secara mursal tanpa sanad. Demikian juga dikatakan oleh Hamzah al-Kinani bahwa hadits ini tidak ada kecuali dari jalur Malik”.
Abu Thohir al-Anmathi juga berkata: “Saya telah lama mencari dan bertanya kepada para imam dan ulama tentang hadits ini, namun saya tidak mendapatkannya dan sayapun tidak pernah mendengar ada seorang yang mendapatinya”. Al-Hafizh Ibnu Hajar juga berkata: “Tidak ada asalnya”.
Apalagi dzohir hadits ini adalah meniadakan sifat lupa bagi Nabi n\ yang merupakan tabi’at manusia, maka hadits ini bertentangan dengan hadits shahih Bukhari Muslim:
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ فَإِذَا نَسِيْتُ فَذَكِّرُوْنِيْ
Saya adalah manusia biasa, lupa sebagaimana kalian juga lupa, maka apabila saya lupa maka ingatkanlah saya.
Memang benar bahwa pada lupa-nya Nabi n\ terdapat beberapa hikmah dan faedah berupa ta’lim, akan tetapi tidak boleh kita meniadakan sifat lupa darinya yang merupakan tabiat manusia hanya karena hadits bathil ini, apalagi bertentangan dengan hadits shahih.

Bagi Tetangga Masjid
لاَ صَلاَةَ لِجَارِ الْمَسْجِدِ إِلاَّ فِي الْمَسْجِدِ
Tidak ada sholat bagi tetangga masjid kecuali di masjid tersebut.
LEMAH. Diriwayatkan ad-Daraquthni hal. 161, al-Hakim 1/246, al-Baihaqi 3/57 dari jalur Sulaiman bin Dawud al-Yamami dari Yahya bin Abi Katsir dari Abu Salamah dari Abu Hurairah secara marfu’. Al-Baihaqi berkata: “Hadits ini lemah”. Hal itu karena Sulaiman bin Dawud adalah seorang yang lemah sekali, sebagaimana dikatakan Ibnu Ma’in, Bukhari dan lainnya.
Faedah: Mana yang lebih utama antara sholat di masjid kampung terdekat ataukah masjid yang lebih jauh?! Jawab: Masalah ini diperselisihkan ulama. Sebagian ulama mengatakan sebaiknya di masjid yang jauh, karena akan banyak langkah sehingga banyak pahala. Sebagian ulama lainnya mengatakan masjid terdekat lebih utama untuk memakmurkan masjid dan menjaga anggapan tidak baik dari jama’ah terdekat tersebut. Pendapat inilah yang lebih utama, kecuali apabila di masjid yang lebih jauh tersebut ada keutamaan seperti masjid Haram, Nabawi, Aqsho, atau lebih khusu’, atau masjid terdekat imamnya tidak thuma’ninah dalam sholat sedangkan di masjid yang lebih jauh lebih khusyu’, maka di sini masjid yang lebih jauh afdhol/utama.

Menarik Dari Shof
إِذَا انْتَهَى أَحَدُكُمْ إِلَى الصَّفِّ وَقَدْ تَمَّ فَلْيَجْبِذْ إِلَيْهِ رَجُلاً يُقِيْمُهُ إِلَى جَنْبِهِ
Apabila seorang diantara kalian mendapati shaf sudah penuh sempurna maka hendaknya dia menarik seorang untuk berdiri di sampingnya.
MAUDHU’. Diriwayatkan ath-Thobarani dalam al-Ausath 1/33 dari Hafsh bin Umar ar-Rabbali dari Bisyr bin Ibrahim dari Hajjaj bin Hassan dari Ikrimah dari Ibnu Abbas secara marfu’.
Sanad hadits ini maudhu’, sebab Bisyr bin Ibrahim adalah seorang yang memalsukan hadits, sebagaimana dikatakan Ibnu ‘Adi dan Ibnu Hibban. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Sanadnya lemah sekali”.
Faedah: Setelah jelas kelemahan hadits ini, maka tidak boleh dijadikan dalil tentang disyari’atkannya menarik seorang dari shof agar bershof bersamanya, karena hal itu berarti sebuah syari’at tanpa dalil yang shohih. Hal ini tidak boleh, sewajibnya untuk masuk ke shof kalau memang memungkinkan, namun kalau tidak mungkin maka tidak mengapa dia sholat sendirian dan sholatnya tetap sah, karena Allah tidak membebani manusia kecuali semampu mereka .
Apalagi kalau penarikan itu dilakukan maka akan menimbulkan beberapa dampak negatif, diantaranya:
1. Memundurkan seorang dari tempat yang afdhal
2. Menimbulkan kelonggaran dalam shof, padahal diperintahkan untuk menutupnya.
3. Banyak gerak dalam sholat tanpa faedah
4. Mengganggu kosentrasi orang yang ada di sampingnya
5. Beribadah tanpa dasar/dalil yang shohih.

Shof Untuk Anak-anak
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَجْعَلُ الرِّجَالَ قُدَّامَ الْغِلْمَانِ, وَالْغِلْمَانَ خَلْفَهُمْ, وَالنِّسَاءَ خَلْفَ الْغِلْمَانِ
Rasulullah menjadikan shaf orang-orang dewasa di depan anak-anak, dan anak-anak di belakang mereka, serta wanita di belakang anak-anak.
LEMAH. Diriwayatkan Ahmad dan Abu Dawud. Sanadnya lemah, karena di dalamnya ada Syahr bin Hausyab. Kalau shof wanita sendiri di belakang pria memang ada haditsnya yang shohih, tetapi menjadikan shof sendiri untuk anak-anak di belakang orang dewasa, hal ini saya tidak mendapatkan dalilnya kecuali hadits ini saja yang tidak bisa dijadikan hujjah, maka saya memandang tidak apa-apa kalau anak-anak bershof bersama orang dewasa bila ada tempat.
Bahkan menjadikan shof khusus bagi anak-anak menimbulkan beberapa dampak negatif:
1. Membuat mereka banyak bermain dan gaduh
2. Menimbulkan perasaan benci pada anak kepada orang yang menyuruhnya mundur
3. Menjadikan anak tidak senang pada masjid, walaupun dia kecil tapi jangan engkau remehkan karena hal itu akan membekas pada dirinya
4. Memundurkannya dari tempat yang afdhol padahal itu adalah haknya juga.

Terbiasa di Masjid
إِذَا رَأَيْتُمُ الرَّجُلَ يَعْتَادُ الْمَسَاجِدَ فَاشْهَدُوْا لُهُ بِالإِيْمَانِ
Apabila kalian melihat seorang yang terbiasa di masjid maka saksikanlah dia dengan keimanan.
LEMAH. Diriwayatkan Tirmidzi 2617, Ibnu Majah 802, ad-Darimi 1/278, Ibnu Khuzaimah 1502 dari jalur Darroj Abu Samh dari Abul Haitsam dari Abu Sa’id al-Khudri.
Sanad ini lemah, karena riwayat Darroj dari Abu Haitsam adalah lemah sebagaimana dikatakan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam at-Taqrib.
Oleh karena itu, adz-Dzahabi berkomentar tentang hadits ini, tatkala menanggapi al-Hakim: “Saya berkata: “Darroj banyak membawakan hadits-hadits munkar”.
Penulis sering mendapati hadits ini terpampang dalam dinding-dinding masjid!!

Shalat Tiang Agama
الصَّلاَةُ عِمَادُ الدِّيْنِ, مَنْ أَقَامَهَا فَقَدْ أَقَامَ الدِّيْنَ, وَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدَ هَدَمَ الدِّيْنَ
Shalat adalah tiang agama, barangsiapa yang mengerajakannya berarti dia telah menegakkan agama dan barangsiapa yang meninggalkannya berarti dia meruntuhkan agama.
DHAIF. Sekalipun masyhur di kalangan para penceramah dan sering disampaikan dalam berbagai moment tentang topik pentingnya shalat dan kedudukannya dalam Islam. Saya belum mendapatinya lafadz secara sempurna seperti di atas, hanya saja Imam Al-Baihaqi meriwayatkan dalam Syu’abul Iman penggalan pertama yaitu
(الصَّلاَةُ عِمَادُ الدِّيْنِ) dari jalur Ikrimah bin Ammar dari Umar bin Khaththab secara marfu’.
Al-Baihaqi berkata menukil ucapan gurunya, Al-Hakim: “Ikrimah tidak mendengar dari Umar”. Ibnu Shalah berkata dalam Musykil Al-Wasith: “Tidak dikenal”. An-Nawawi berkata dalam At-Tanqih: “Munkar Bathil”.
Cukuplah bagi kita sebagai penggantinya hadits yang diriwayatkan Ahmad 5/231, 237, Tirmidzi: 2616 dan Ibnu Majah: 3973 dengan sanad hasan dari Mu’adz bin Jabal.
فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ n: أَلاَ أُخْبِرُكَ بِرَأْسِ الأَمْرِ وَعَمُوْدِهِ وَذُرْوَةِ سَنَامِهِ؟ قُلْتُ: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ! قَالَ n: رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُوْدُهُ الصَّلاَةُ…
Rasulullah n bersabda: Maukah aku khabarkan padamu tentang intisari perkara, tiangnya dan puncaknya? Saya berkata: Benar wahai rasulullah! Beliau n menjawab: “Intisari perkara adalah islam, tiangnya adalah shalat…”.
Dan lihat pula Al-Maqashid Al-Hasanah: 632 oleh As-Sakhawi, An-Nafilah fi Al-Ahadits Adh-Dha’ifah wa Al-Bathilah no. 171 oleh Abu Ishaq Al-Huwaini dan Al-Fawaid Al-Majmu’ah hal. 27 no. 49 oleh Asy-Syaukani.

Cerah Dengan Sholat
مَنْ كَثُرَتْ صَلاَتُهُ بِاللَّيْلِ حَسُنَ وَجْهُهُ بِالنَّهَارِ
Barangsiapa yang banyak sholat malam, wajahnya akan cerah di waktu siang.
MAUDHU’. Diriwayatkan Ibnu Majah 1/400, Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at 2/110 dari Tsabit bin Musa dari Syarik dari A’masy dari Abu Sufyan dari Jabir secara marfu’.
Hadits ini adalah maudhu’ sebagaimana dikatakan Abu Hatim , sebab Tsabit bin Musa adalah seorang pendusta sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Ma’in. As-Suyuthi berkata: “Para ulama ahli hadits bersepakat bahwa hadits ini adalah maudhu'”. Al-Uqaili berkata: “Hadits ini bathil tidak ada asalnya”.
Cukuplah bagi ayat-ayat dan hadits-hadits yang banyak sekali tentang anjuran untuk menegakkan sholat malam.

Qunut Shubuh Terus-Menerus
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
Rasulullah selalu melakukan qunut pada shalat shubuh sehingga dia meninggal dunia.
MUNKAR. Diriwayatkan Ahmad 3/162, ad-Daraquthni hal. 178, al-Baihaqi 2/201 dari jalur Abu Ja’far ar-Razi dari Rabi’ bin Anas.
Hadits ini lemah, sebab Abu Ja’far ar-Razi yang nama aslinya Isa bin Mahan adalah seorang yang lemah haditsnya sebagaimana dikatakan para ulama ahli hadits seperti Imam Ahmad, Ali bin Madini, Nasai, al-Fallas, Ibnu Hibban dan lain sebagainya.
Hadits ini memiliki beberapa penguat lainnya, tetapi semuanya tidak ada yang shahih dan tidak dapat memperkuatnya. Di tambah lagi, hadits ini menyelisihi dua hadits shohih berikut:

Hadits Pertama:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ : أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ لاَ يَقْنُتُ إِلاَّ إِذَا دَعَا لِقَوْمٍ أَوْ دَعَا عَلَى قَوْمٍ
Dari Anas berkata: Bahwasanya Nabi tidaklah melakukan qunut kecuali apabila dia berdoa kebaikan untuk suatu kaum atau mendoakan jelek untuk suatu kaum.
Diriwayatkan al-Khathib al-Baghdadi dalam kitabnya “Al-Qunut” dari jalur Muhammad bin Abdullah al-Anshari dari Sa’id bin Abi ‘Arubah dari Qotadah dari Anas.

Hadits Kedua:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ لاَ يَقْنُتُ إِلاَّ أَنْ يَدْعُوَ لِقَوْمٍ أَوْ عَلَى قَوْمٍ
Dari Abu Hurairah berkata: Bahwasanya Nabi tidaklah melakukan qunut kecuali apabila dia berdoa kebaikan untuk suatu kaum atau mendoakan jelek untuk suatu kaum.
Diriwayatkan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya 619.
Al-Hafzih Ibnu Hajar asy-Syafi’i -dan ini merupakan keadilan dan terbebasnya beliau dari belenggu taklid- berkata: “Sanad dua hadits di atas adalah shahih”. Beliau juga mengatakan: “Dari beberapa hadits dapat disimpulkan bahwa beliau tidak melakukan qunut kecuali dalam nazilah”.
Faedah: Dalam biografi Abul Hasan al-Karji (wafat tah. 532) disebutkan bahwa beliau tidak qunut shubuh seraya mengatakan: “Tidak shahih satupun hadits tentangnya”. Hal ini menunjukkan keluasan ilmunya dan keadilannya –semoga Allah merahmatinya-, dan bahwasanya beliau termasuk orang yang diselamatkan Allah dari belenggu fanatik madzhab. Kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita termasuk mereka dengan karuniaNya.

Jauhkan Anak-anak dari Masjid
جَنِّبُوْا مَسَاجِدَكُمْ صِبْيَانَكُمْ
Jauhkanlah anak-anak kalian dari masjid-masjid kalian.
LEMAH. Diriwayatkan Ibnu Majah 1/253 dari jalur Harits bin Nabhan: Menceritakan kami ‘Utbah bin Yaqdhon dari Abu Said dari Makhul dari Watsilah bin Asqo’ secara marfu’.
Sanad ini lemah karena Harits bin Nabhan disepekati kelemahannya. Oleh karena itu Ibnu Katsir berkata 3/293: “Dalam sanadnya ada kelemahan”. Dan dibawakan Ibnul Jauzi dalam al-Wahiyat 1/404 seraya berkata: “Tidak shohih”. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam ad-Dirayah berkata: “Seluruh jalurnya lemah”.
Hadits ini lemah, tidak bisa dijadikan hujjah, dilemahkan oleh para ulama seperti Abdul Haq, Ibnul Jauzi, al-Mundziri, al-Bushiri, al-Haitsami, al-Asqolani dan selain mereka. Sekalipun demikian, hukum ini samar bagi Syaikh al-Qosimi sehingga menjadikannya sebagai landasan hukum untuk menjauhkan anak-anak dari masjid sebagai pengagungan masjid, padahal hukum ini justru merupakan suatu kebid’ahan karena menyelisihi amalan yang terjadi pada masa Nabi n\.
Syaikh Muhammad Luthfi as-Shobbagh berkata: “Bahkan bau kepalsuan hadits ini dapat tercium dari matan (isi) hadits ini, karena yang populer dalam sunnah bahwa anak-anak di zaman Nabi n\ mereka ikut masuk masjid. Saya telah menyaksikan bahaya hadits lemah ini ketika saya melihat sebagian orang awam yang jahil mengusir anak-anak dari rumah-rumah Allah dengan beralasan hadits ini sehingga melarikan anak-anak dari masjid, padahal dalam waktu yang bersamaan gereja-gereja kristen terbuka untuk anak-anak kaum muslimin bersama anak-anak mereka”.

Sifat Sholat Untuk Wanita
إِذَا سَجَدْتُمَا فَضُمَّا بَعْضَ اللَّحْمِ إِلَى الأَرْضِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ لَيْسَتَ فِيْ ذَلِكَ كَالرَّجُلِ
Apabila kalian berdua (wanita) sujud, maka rapatkanlah sebagian daging ke tanah, Karen wanita dalam hal itu tidak sama dengan lelaki.
LEMAH. Diriwayatkan al-Baihaqi 2/223, Abu Dawud dalam al-Marasil 117. Al-Baihaqi berkata: “Hadits munqathi'”. Yakni mursal, sebab Yazid bin Abu Habib adalah seorang tabi’in terpercaya, tetapi dia meriwayatkan langsung dari Nabi .
Faedah: Tidak ada dalil yang shohih tentang perbedaan sifat sholat lelaki dengan wanita. Hal ini dikuatkan dengan keumuman hadits:

صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ
Sholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat.
Dhohir hadits ini mencakup umum untuk kaum lelaki dan wanita. Inilah pendapat Ibrahim an-Nakha’I, beliau berkata: “Seorang wanita melakukan dalam sholatnya seperti apa yang dilakukan kaum lelaki”. Imam Bukhari juga meriwayatkan dengan sanad shohih dari Ummu Darda’ bahwa dia duduk dalam sholatnya seperti duduknya lelaki, dan dia adalah seorang wanita yang berilmu.
Kesimpulannya, sifat sholat wanita sama seperti lelaki karena tidak ada dalil yang membedakannya. Wallahu A’lam.

Do’a Sujud Sahwi
سُبْحَانَ مَنْ لاَ يَنَامُ وَلاَ يَسْهُوْ
Maha suci Dzat Yang tidak tidur dan tidak lupa.
TIDAK ADA ASALNYA. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Saya belum menemukan asalnya.”
Syaikh Muhamaad asy-Syuqairi berkata: “Tidak dinukil dari Nabi n/ dzikir secara khusus dalam sujud sahwi bahkan dzikir-dzikirnya sama seperti sujud-sujud dalam shalat. Adapun apa yang dikatakan bahwa beliau n/ membaca dalam sujud sahwi:
سُبْحَانَ مَنْ لاَ يَسْهُوْ وَلاَ يَنَامُ
Maha suci Dzat Yang tidak tidur dan tidak lupa.
Maka ini tidak pernah dikerjakan Nabi n/ beserta para sahabatnya serta tidak ada satupun dalil dari sunnah. Itu hanyalah impian yang dilihat oleh sebagian tokoh-tokoh sufi. Janganlah kalian mengambil agama darinya, tetapi hendaknya kalian mengambil agama dari kitab-kitab yang shahih.
Adapun bila dari yang lainnya, maka kembalikan kepada orang yang mengatakannya. Sesungguhnya membuat dzikir seperti ini dalam buku-buku lalu dijadikan agama/syari’at merupakan kesesatan dan kerusakan yang besar.”

Doa Shalat Dhuha
اللَّهُمَّ إِنَّ الضُّحَا ضُحَاؤُكَ, وَالْبَهَاءَ بَهَائُكَ, وَالْجَمَالَ جَمَالُكَ, وَالْقُوَّةَ قُوَّتُكَ, وَالْقُدْرَةَ قُدْرَتُكَ, وَالْعِصْمَةَ عِصْمَتُكَ. اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ رِزْقِيْ فِي السَّمَاءِ فَأَنْزِلْهُ, وَإِنْ كَانَ فِي الأَرْضِ فَأَخْرِجْهُ, وَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا فَيَسِّرْهُ, وَإِنْ كَانَ حَرَامًا فَطَهِّرْهُ, وَإِنْ كَانَ بَعِيْدًا فَقَرِّبْهُ
Ya Allah dhuha adalah dhuhaMu, dan kecerahan adalah kecerahanMu, kekuatan adalah kekuatanMu, kemampuan adalah kemampuanMu, dan penjagaan adalah penjagaanMu. Ya Allah, kalau rizkiku di langit maka turunkanlah dan jika di bumi maka keluarkanlah, kalau sulit maka mudahkanlah dan apbila haram maka sucikanlah dan apabila jauh maka dekatkanlah.
TIDAK ADA ASALNYA. Saya belum mendapatkannya dalam kitab-kitab hadits terpercaya. Saya pernah menanyakannya kepada Syaikh Salim al-Hilali pada 25 Rabiut Tsani 1424 H, kata beliau: “Tidak ada dalam kitab-kitab hadits”. Wallahu A’lam .

BAB JENAZAH DAN KUBURAN

Talqin Surat Yasin
اقْرَؤُوْا (يس) عَلَى مَوْتَاكُمْ
Bacakanlah Yasin pada mayit kalian.
LEMAH. Diriwayatkan Abu Dawud 3121, Ibnu Majah 1448, Ahmad 5/26, al-Hakim 1/565, al-Baihaqi 3/383 dari jalur Sulaiman at-Taimi dari Abu Utsman dari ayahnya dari Ma’qil bin Yasar.
Sanad ini lemah, karena memiliki beberapa cacat:
1. Abu Utsman tidak dikenal, dan dia bukanlah an-Nahdi, seorang yang terpercaya
2. Ayahya juga tidak dikenal
3. Mudhtharib, karena sebagian rawi ada yang meriwayatkan: “Dari Abu Utsman dari ayahnya dari Ma’qil” dan sebagian ada yang meriwayatkan: “Dari Abu Utsman dari Ma’qil”.
Imam ad-Daraquthni berkata: “Hadits ini lemah sanadnya, matannya juga tidak diketahui. Dan tidak ada hadits yang shohih tentang masalah ini”.
Cukuplah bagi kita hadits shahih riwayat Muslim 916 sebagai berikut:
لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
Talqinlah orang yang akan meninggal diantara kalian: Laa Ilaha Illa Allah.
Faedah: Makna ( مَوْتَاكُمْ)dalam dua hadits di atas adalah orang yang akan meninggal dunia karena dia masih mukallaf (orang yang dibebani) di dunia ini sehingga bisa bermanfaat dengan talqin, bukan apabila sudah meninggal dunia, karena sudah tidak bisa mengambil manfaat lagi . Perhatikanlah hal ini!

Talqin Setelah Mati

إِذَا مَاتَ الرَّجُلُ مِنْكُمْ فَدَفَنْتُمُوْهُ, فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عِنْدَ رَأْسِهِ فَلْيَقُلْ : يَا فُلاَنَ ابْنَ فُلاَنَةَ ! فَإِنَّهُ سَيَسْمَعُ, فَلْيَقُلْ : يَا فُلاَنَ ابْنَ فُلاَنَةَ! فَإِنَّهُ يَسْتَوِيْ قَاعِدًا, فَلْيَقُلْ : يَا فَلاَنَ ابْنَ فُلاَنَة َ ! فَإِنَّهُ سَيَقُوْلُ : أَرْشِدْنِيْ أَرْشِدْنِيْ رَحِمَكَ اللهُ, فَلْيَقُلْ : اذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ دَارِ الدُّنْيَا : شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ, وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ, وَأَنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ لاَ رَيْبَ فِيْهَا, وَأَنَّ اللهَ يَبْعَثُ مَنْ فِي الْقُبُوْرِ, فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيْرًا يَأْخُذُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِيَدِ صَاحِبِهِ وَيَقُوْلُ لَهُ : مَا نَصْنَعُ عِنْدَ رَجُلٍ قَدْ لُقِّنَ حُجَّتُهُ فَيَكُوْنُ اللهُ حَجِيْجَهُمَا دُوْنَهُ
Apabila seorang diantara kalian meninggal dunia lalu kalian menguburkannya, maka hendaklah seorang diantara kalian berdiri dan mengatakan di sisi kepalanya: Wahai fulan bin fulanah! Dia akan mendengar, lalu katakanlah: Wahai fulan bin fulanah! Dia akan duduk tegak, lalu katakanlah: Wahai fulan bin fulanah! Dia akan mengatakan: Bimbinglah aku, bimbinglah aku, semoga Allah merahmatimu. Lalu katakanlah: Ingatlah apa yang engkau keluarkan dari dunia yaitu syahadat Lailaha Illallahu wa Anna Muhammadan Abduhu wa Rasuluhu dan bahwa hari kiamat pasti datang tanpa keraguan di dalamnya dan bahwa Allah akan membangkitkan orang yang di dalam kubur, setelah itu maka Malaikat Munkar dan Nakir akan mengambil tangan sebagian lainnya seraya berkata: Apa yang kita perbuat terhadap seorang yang telah ditalqin hujjahnya. Kemudian Allah menanggungnya dari kedua malaikat tersebut.
MUNKAR. Diriwayatkan al-Qadhi al-Khal’i dalam al-Fawaid 2/55 dari Abu Darda’ Hasyim bin Muhammad al-Anshari: Menceritakan kami ‘Utbah bin Sakan dari Abu Zakariya dari Jabir bin Sa’id al-Azdi dari Abu Umamah.
Sanad ini lemah sekali, saya tidak mengenal mereka kecuali ‘Utbah bin Sakan, dia dikatakan oleh ad-Daraquthni: “Ditinggalkan haditsnya”. Al-Haitsami mengatakan: “Diriwayatkan ath-Thobarani dalam al-Kabir, dalam sanadnya ada beberapa rawi yang tidak saya kenal”.
Imam Nawawi berkata: “Sanadnya lemah. Ibnu Sholah mengatakan: Sanadnya tidak tegak”. Demikian juga dilemahkan oleh al-Hafizh al-Iraqi . Ibnu Qayyim berkata: “Tidak shahih”.
Kesimpulannya, hadits ini menurut saya adalah munkar kalau bukan maudhu’. Oleh karena itu, ash-Shan’ani berkata dalam Subulus Salam 2/161: “Kesimpulan komentar para ulama ahli hadits bahwa hadits ini adalah lemah, mengamalkannya merupakan suatu kebid’ahan, maka janganlah tertipu dengan banyaknya orang yang melakukannya”.
Dan tidak diragukan lagi bagi peneliti hadits bahwa hadits ini memiliki beberapa kejanggalan, diantaranya:
1. Tidak ada penukilan dari para sahabat dengan sanad yang shohih bahwa mereka melakukannya, padahal mereka adalah generasi yang paling semangat dalam mengamalkan perintah Nabi n\.
2. Ucapannya “Ya fulan bin fulanah” menyelisihi praktek Nabi n\ dan para sahabat dalam memberikan nama kepada manusia dan menisbatkan mereka kepada bapak-bapak mereka, bukan kepada ibu mereka.
3. Ucapannya “karena dia mendengarnya” menyelisihi dalil-dalil syar’i yang banyak sekali. Yang benar bahwa mayit tidak mendengar kecuali apabila manusia sudah berpaling darinya dan dia mendengar suara sandal mereka untuk persiapan menjawab pertanyaan Malaikat.
4. Konsekuansi hadits ini adalah meniadakan amalan dua malaikat yang ditugasi memberikan pertanyaan kepada mayit selagi si mayit sudah ditalqin! Tidak ada seorangpun yang berpendapat seperti ini!
5. Talqin ini menurut keyakinan mereka mencakup untuk orang yang baik dan orang jelek!!
Cukuplah bagi kita hadits shohih berikut:
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رضي الله عنه قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم إِذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ, فَقَالَ : اسْتَغْفِرُوْا لأَخِيْكُمْ وَاسْأَلُوْا لَهُ بِالتَّثْبِيْتِ فَإِنَّهُ الآنَ يُسْأَلُ
Dari Utsman bin Affan berkata: Rasulullah apabila selesai dari menguburkan mayit, beliau berdiri dan berkata: “Mintalah ampunan untuk saudara kalian, dan mintalah ketetapan baginya, karena dia sekarang ditanya”.

Baca surat Yasin Di Kuburan
مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ كُلَّ جُمُعَةٍ فَقَرَأَ عِنْدَهُمَا أَوْ عِنْدَهُ { يس } غُفِرَ لَهُ بِعَدَدِ كُلِّ آيَةٍ أَوْ حَرْفٍ
Barangsiapa berziarah ke kuburan kedua orang tuanya setiap jum’at lalu membacakan di sisinya surat yasin, niscaya akan diampuni sebanyak jumlah ayat dan huruf yang dia baca.
MAUDHU’. Diriwayatkan Ibnu ‘Adi 1/286, Abu Nuaim dalam Akhbar Ashbahan 2/344-345 dari jalur Abu Mas’ud Yazid bin Khalid: Menceritakan kami Amr bin Ziyad: Menceritakan kami Yahya bin Sulaim ath-Thaifi dari Hisyam bin Urwah dari ayahya dari Aisyah dari Abu Bakar secara marfu’.
Sanad ini, maudhu’ karena Amr bin Ziyad pemalsu hadits. Ibnu Adi berkata: “Bathil”. Hadits ini dicantumkan Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at 3/239.
Hadits ini menunjukkan sunnahnya membaca Al-Qur’an di kuburan, padahal hal ini tidak ada contohnya dalam sunnah yang shohih, bahkan yang disyariatkan dalam sunnah ketika ziarah kubur adalah salam kepada mereka dan mengingat akherat saja, sebagaimana yang dilakukan oleh para salaf shalih.
Maka membaca Al-Qur’an di kuburan merupakan suatu kebid’ahan sebagaimana ditegaskan oleh sejumlah ulama seperti Abu Hanifah, Malik, Ahmad dalam suatu riwayat.
Wahai saudaraku muslim, peganglah erat-erat sunnah Nabimu dan waspadalah dari perkara bid’ah dalam agama, sekalipun dianggap baik oleh kebanyakan manusia, karena setiap bid’ah adalah sesat sebagaimana ditegaskan oleh Nabi.
Hadits ini juga biasa dijadikan pijakan sebagian kalangan dalam mengkhususkan ziarah kubur pada hari jum’at dan menganggapnya sebagai amalan utama, padahal pengkhususan ini tidak ada dalilnya yang shohih!!.

Berbangga-Bangga dengan kafan
أَحْسِنُوْا كَفَنَ مَوْتَاكُمْ, فَإِنَّهُمْ يَتَبَاهَوْنَ وَيَتَزَاوَرُوْنَ بِهَا فِي الْقُبُوْرِ
Perbagusilah kafan mayit kalian, karena mereka saling berbangga dan berkunjung dengannya di kubur.
LEMAH. Diriwayatkan oleh ad-Dailami, dan di dalam sanadnya ada beberapa rawi yang tidak saya kenal. Mirip seperti hadits ini juga dua hadits lainnya yang dibawakan oleh Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at, dan disanggah oleh as-Suyuthi dengan sanggahan yang tiada berarti.
Termasuk kebid’ahan yang diada-adakan manusia adalah keyakinan mereka bahwa orang-orang mati saling berbangga di kubur mereka dengan bagusnya kafan, dan saling mencela mayit yang kafannya jelek. Banyak cerita yang mereka utarakan tentang ini, tetapi semua itu tiada faedahnya.
Dan masalah saling ziarah antar sesama di dalam kubur juga merupakan suatu kebid’ahan yang tidak boleh diyakini karena tidak ada dalil shohih tentangnya.
Adapun masalah membagusi kafan, maka hal ini memang ada dalilnya yang shohih. Para ulama berkata: “Makna membagusi kafan adalah bersih, menutup dan sedang, tidak terlalu berlebihan atau terlalu mewah”.
Alangkah bagusnya ucapan Syaikh Shiddiq Hasan Khon tatkala berucap : “Berlebihan dalam kemewahan kain kafan bukanlah termasuk hal yang terpuji, karena hal itu termasuk menyia-nyiakan harta, sebab si mayit tidak mengambil manfaat darinya, dan manfaatnya juga tidak kembali kepada yang hidup. Semoga Allah merahmati Abu Bakar ash-Shiddiq: “Sesungguhnya orang hidup lebih berhak dengan kain yang baru”.

Kafan Wanita beda dengan pria?
LEMAH. Syaikh al-Albani berkata: “Wanita sama seperti pria dalam kafan, karena tidak ada dalil yang membedakannya. Adapun hadits Laila bin Qaif ats-Tsaqafiyyah tentang kafan putri Nabi sebanyak lima helai kain, maka sanadanya tidak shohih, karena di dalamnya terdapat Nuh bin Hakam ats-Tsaqofi, sedangkan dia adalah seorang yang majhul (tidak dikenal) sebagaimana dikatakan al-Hafizh Ibnu Hajar dan selainnya. Dan di sana juga ada kecacatan lainnya sebagaimana dijelaskan az-Zaila’i dalam Nashbur Royah 2/258.
Demikian juga tambahan sebagian mereka tentang kisah memandikan putri Nabi, Zainab dengan lafadz “kami mengkafaninya dengan lima helai kain”, maka tambahan ini adalah ganjil dan munkar sebagaimana saya paparkan dalam adh-Dha’ifah 5844.”

Adzab Kubur Terputus?
عَذَابُ الْقَبْرِ يُرْفَعُ عَنِ الْمَوْتَى فِيْ شَهْرِ رَمَضَانَ, وَكَذَلِكَ فِتْنَةُ الْقَبْرِ تُرْفَعُ عَمَّنْ مَاتَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ
Siksa kubur diangkat dari para mayit pada bulan ramadhan, demikian juga fitnah kubur diangkat dari orang yang meninggal dunia pada hari jum’at dan malam jum’at.
LEMAH. Diriwayatkan Abu Ya’la dalam Musnadnya sebagaimana dalam al-Matholib al-Aliyah 808. Al-Hafizh Ibnu Rojab berkata: “Diriwayatkan dengan sanad lemah dari Anas bin Malik”.
Bahkan Syaikh Ali al-Qori membantah keyakinan ini seraya berkata: “Bathil”. Jadi, karena masalah ini adalah masalah ghaib, maka tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil yang shohih.

Malaikat Izra’il
TIDAK ADA ASALNYA. Penamaan malaikat pencabut nyawa yang ada dalam Al-Qur’an dan sunnah adalah dengan malaikat maut. Adapun menamainya dengan Izra’il maka tidak ada asalnya, berbeda dengan yang populer pada manusia, barangkali itu dari israiliyyat.
Syaikh Bakr Abu Zaid juga berkata: “Kesimpulan penjelasan ahli ilmu tentang masalah ini bahwa tidak ada hadits yang shohih tentang penamaan malaikat maut dengan izrail. Wallahu A’lam.”.

Ziarah Kubur Nabi n\
مَنْ حَجَّ الْبَيْتَ وَلَمْ يَزُرْنِيْ فَقَدْ جَفَانِيْ
Barangsiapa haji dan tidak menziarahiku maka dia telah berbuat kasar padaku.
MAUDHU. Diriwayatkan Ibnu Adi dalam al-Kamil 7/2480, Ibnu Hibban dalam adh-Dhua’fa 2/73 dari jalur Muhammad bin Muhammad bin Nu’man bin Syibl atau kakeknya berkata: Menceritakanku Malik dari Nafi dari Ibnu Umar secara marfu.
Hadits ini maudhu’ sebagaimana ditegaskan Imam adz-Dzahabi , asy-Syaukani dan as-Shoghoni . Hal itu disebabkan karena Muhammad bin Muhammad bin Nu’man, dia seorang yang membawa bencana dan membolak-balik hadits-hadits orang terpercaya.
Dari segi isinya juga tidak shahih, sebab berbuat kasar kepada Nabi n\ merupakan dosa besar kalau bukan suatu kekufuran, berarti menurut hadits ini orang yang tidak ziarah kubur Nabi adalah melakukan dosa besar, yang konsekwensinya ziarah kubur Nabi hukumnya adalah wajib seperti haji. Hal ini tidak ada seorang muslimpun yang berpendapat demikian, karena sekalipun ziarah kubur Nabi n\ merupakan ibadah hanya saja menurut ulama termasuk perkara sunnah, lantas bagaimana orang yang meninggalkannya dianggap berbuat kasar dan berpaling dari Nabi?!.
Faedah: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Hadits-hadits tentang ziarah kubur Nabi semuanya lemah, tidak bisa dijadikan pijakan dalam agama. Oleh karena itu, tidak ada penulis kitab shahih dan sunan yang meriwayatkannya, namun yang meriwayatkannya adalah sebagian ulama yang meriwayatkan hadits-hadits lemah semisal ad-Daraquthni, al-Bazzar dan selainnya”.

BAB PUASA

Keutamaan Bulan Ramadhan
لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُ مَا فيِ رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتِيْ أَنْ يَكُوْنَ رَمَضَانُ السَّنَةَ كُلَّهَا …. الخ
Seandainya sekalian hamba mengetahui keutamaan bulan Ramadhan, niscaya mereka berangan-angan agar setiap tahun dijadikan bulan Ramadhan seluruhnya …. (hadits panjang)
MAUDHU’. Diriwayatkan Ibnu Khuzaimah 1886, Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at 2/88-89 dari jalan Jarir bin Ayub al-Bajali dari Sya’bi dari Nafi’ bin Burdah dari Abu Mas’ud al-Ghifari.
Jarir bin Ayub adalah seorang rawi pendusta yang sangat masyhur, bahkan Abu Nu’aim berkata tentangnya, “Pemalsu hadits.”.

Awal Ramadhan Adalah Rahmat
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ، شَهْرٌ مُبَارَكٌ، شَهْرٌ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، جَعَلَ اللهُ صِيَامَهُ فَرِيْضَةً وَقِيَامَ لَيْلٍ تَطَوُّعًا، مَنْ تَقَرَّبَ فِيْهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ كَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ … وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ، وَوَسْطُهُ مَغْفِرَةٌ، وَأَخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ…. الخ
Wahai manusia! Sesungguhnya bulan Ramadhan ini telah menaungi kalian semua. Bulan penuh berkah, bulan yang mempunyai suatu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, bulan yang Alloh menjadikan puasa pada bulan tersebut suatu kewajiban dan shalat malamnya sebagai sunnah. Barangsiapa berbuat suatu kebaikan pada bulan itu, maka sama halnya dia telah melakukan suatu kewajiban pada bulan lainnya …. Bulan yang awalnya berupa rahmat, pertengahannya berupa ampunan, dan akhirnya berupa pembebasan dari neraka …. (hadits panjang)
LEMAH. Hadits ini diriwayatkan Ibnu Khuzaimah 1887, al-Mahamili dalam al-Amali 50 dari jalan Ali bin Zaid bin Jud’an dari Sa’id bin Musayyib dari Salman al-Farisi.
Hadits ini lemah, sebab, Ali bin Zaid adalah seorang rawi yang lemah. Imam Ahmad berkata tentangnya, “Dia tidak kuat.”.
Faedah: Syaikh Ali Hasan al-Halabi memiliki risalah khusus tentang kelemahan hadits ini berjudul “Tanqihul Andhor…”, cet Darul Masir.

Sehat Dengan Puasa
صُوْمُوْا تَصِحُّوْا
Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat.
LEMAH SEKALI. Diriwayatkan Ibnu Adi dalam al-Kamil 7/2521 dari jalan Nahsyal bin Sa’id dari Dhahak dari Ibnu Abbas h/. Nahsyal adalah rawi yang matruk dan suka berdusta. Ishaq bin Rahawaih berkata tentangnya, “Kadzdzab (pendusta).”.
Makna hadits ini shahih, sebab telah terbukti bahwa puasa merupakan faktor kesehatan dan dapat mengusir beberapa penyakit yang berbahaya bagi manusia. Syaikh al-Albani memiliki pengalaman menarik tentang hal ini, beliau bercerita: “Pada akhir tahun 1379 H, aku pernah melaparkan diriku selama empat puluh hari berturut-turut, saya tidak merasakan makanan sedikitpun, saya hanya minum air saja! Semua itu saya lakukan untuk pengobatan dari sebagian penyakit, akhirnya saya diberi kesembuhan dari sebagian penyakit, padahal sebelumnya saya telah berobat kepada sebagian dokter selama sepuluh tahun lamanya, tanpa ada hasil yang nampak jelas”.

Doa Buka Puasa
كَانَ النَّبِيُّ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ (بِسْمِ اللهِ)(اَللَّهُمَّ) لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ فَتَقَبَّلْ مِنِّي إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
Apabila Nabi berbuka puasa, beliau berdo’a, “Dengan nama Alloh. Wahai Alloh, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rizki-Mu aku berbuka. Maka terimalah puasaku, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
LEMAH SEKALI. Diriwayatkan ath-Thobarani dalam Mu’jamul Kabir: 12720, ad-Daraquthni dalam Sunannya 240 dan Ibnu Sunni dalam Amalul Yaum wal Lailah 474 dari jalan Abdul Malik bin Harun bin Antharah dari bapaknya dari kakeknya dari Ibnu Abbas secara marfu’ (sampai kepada Nabi).
Hadits ini lemah sekali, sebab Abdul Malik seorang rawi yang lemah sekali. Ibnul Qayyim berkata tentang hadits ini: “Tidak shahih.”. Ibnu Hajar berkata: “Sanadnya lemah.” Al-Haitsami berkata: “Dalam hadits ini, terdapat Abdul Malik, dia seorang rawi yang lemah.”.
Adapun do’a berbuka puasa yang shahih dari Nabi n/ sebagai berikut:
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ
Telah hilang rasa dahaga dan telah basah tenggorokan dan telah tetap pahalanya, Insya Alloh.

Berbuka Tanpa Udzur
مَنْ أَفْطَرَ مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلاَ مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صَوْمُ الدَّهْرِ وَإِنْ صَامَهُ
Barangsiapa tidak berpuasa di bulan Ramadhan tanpa ada udzur atau sakit, maka dia tak dapat ditebus dengan puasa setahun sekalipun dia berpuasa.
LEMAH. Diriwayatkan al-Bukhari dalam Shahihnya 4/160 (al-Fath) secara mu’allaq, tanpa sanad. Dan diriwayatkan secara bersambung sanadnya oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya 1987, Tirmidzi 723, Abu Dawud 2397, Ibnu Majah 1672, dari jalan Abu Muthawwis dari bapaknya dari Abu Hurairah.
Ibnu Hajar berkata: “Dan diperselisihkan pada diri Habib bin Abu Tsabit perselisihan yang banyak sekali. Kesimpulannya, hadits ini mempunyai tiga kecacatan: idhtirab (kegoncangan), tidak diketahuinya keadaan Abu Muthawwis tersebut, dan diragukan apakah bapaknya mendengar dari Abu Hurairah.”
Ibnu Khuzaimah juga berkata setelah membawakan riwayat ini: “Kalau memang hadits ini shahih, maka aku tidak mengetahui keadaan Abu Muthawwis maupun bapaknya.” Abu Isa at-Tirmidzi berkata, “Aku mendengar Muhammad bin Ismail (Bukhari) berkata: “Abu Muthawwis namanya Yazid bin Muthawwis, saya tidak mengetahui haditsnya selain hadits ini.’”

Tidurnya Orang Puasa adalah Ibadah
صَمْتُ الصَّائِمِ تَسْبِيْحٌ, وَنَوْمُهُ عِبَادَةٌ ,وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ , وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ
Diamnya orang yang puasa adalah tasbih, tidurnya adalah ibadah, doa’nya mustajab dan amalnya dilipatgandakan.
LEMAH SEKALI. Diriwayatkan ad-Dailami 2/253 dari Rabi’ bin Badr dari Auf al-A’rabi dari Abul Mughirah al-Qawwas dari Abdullah bin Umar secara marfu’.
Sanad ini lemah sekali, sebab Rabi’ bin Badr adalah seorang rawi yang ditinggalkan haditsnya.
Diantara dampak negatif hadits ini adalah menjadikan sebagian orang malas dan banyak tidur di bulan puasa dengan alasan hadits ini.
Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang seorang yang ketika bulan puasa, dia tidur sepanjang hari, bagaimana hukumnya? Dan bagaimana juga kalau dia bangun untuk melakukan kewajiban lalu tidur lagi?!
Beliau menjawab: Pertanyaan ini mengandung dua permasalahan:
Pertama: Seorang yang tidur seharian dan tidak bangun sama sekali, tidak ragu lagi bahwa dia telah bermaksiat kepada Allah dengan meninggalkan sholat, maka hendaknya dia bertaubat kepada Allah dan menjalankan shalat tepat pada waktunya.
Kedua: Seorang yang tidur tetapi bangun menjalan shalat secara berjama’ah kemudian tidur lagi dan seterusnya, hukum orang ini tidak berdosa (dan tidak batal puasanya -pent) hanya saja luput darinya kebaikan yang banyak, sebab orang yang berpuasa hendaknya menyibukkan dirinya dengan shalat, dzikir, doa, membaca Al-Qur’an dan sebagainya sehingga mengumpulkan beraneka macam ibabah pada dirinya. Maka nasehatku kepada orang ini agar tidak menghabiskan waktu puasanya dengan banyak tidur, tetapi hendaknya bersemangat dalam ibadah.
Namun, jangan difahami dari penjelasan di atas, bahwa orang yang sedang berpuasa tidak boleh tidur, itu pemahaman yang keliru, bahkan kalau seorang tidur sekedarnya dan meniatkan dengan tidurnya untuk istirahat, mengembalikan stamina tubuh, menyegarkan semangat ibadah, dan agar tidak ngantuk dalam sholat malam/tarawih maka dia telah melakukan ibadah dan diberi pahala atas niatnya, sebagaimana ucapan salah seorang sahabat Nabi:
أَمَّا أَنَا فَأَنَامُ وَأَقُوْمُ, وَأَرْجُوْ فِيْ نَوْمَتِيْ مَا أَرْجُوْ فِيْ قَوْمَتِيْ
Adapun saya, maka saya tidur dan bangun. Dan saya berharap dalam tidur saya (karena niat tidurnya adalah untuk semangat ibadah berikutnya) apa yang saya harapkan dalam bangun (shalat) saya. (HR. Bukhari 4086 Muslim 1733)

Puasa Awal dan Akhir Tahun

مَنْ صَامَ آخِرَ يَوْمٍ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ, وَأَوَّلِ يَوْمٍ مِنَ الْمُحَرَّمِ, فَقَدْ خَتَمَ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ بِصَوْمٍ وَافْتَتَحَ السَّنَةَ الْمُسْتَقْبَلَةَ بِصَوْمٍ, جَعَلَ اللهُ لَهُ كَفَّارَةً خَمْسِيْنَ سَنَةً
Barangsiapa berpuasa akhir hari bulan Dzulhijjah dan awal Muharram, maka dia telah menutup tahun lalunya dengan puasa dan membuka tahun barunya dengan puasa, Allah menjadikan baginya kaffarah lima puluh tahun.
MAUDHU’. Dibawakan Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at 2/566 dengan sanadnya sampai kepada Ibnu Abbas, lalu katanya: “Al-Harawi adalah al-Juwaibari dan Wahb, kedunya adalah pendusta dan pemalsu hadits”. Dan disetujui as-Suyuthi , Ibnu Arraq dan asy-Syaukani .
Dengan demikian, maka pengkhususan akhir tahun dan awal tahun dengan puasa termasuk kebid’ahan dalam agama.

Ramadhan Bergantung Pada Zakat Fithr

شَهْرُ رَمَضَانَ مُعَلَّقٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلاَ يُرْفَعُ إِلَى اللهِ إِلاَّ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ
Bulan Ramadhan tergantung antara langit dan bumi, dan dia tidak diangkat kepada Allah kecuali dengan zakat fithr.
LEMAH. Dikeluarkan oleh Ibnu Syahin dalam at-Targhib dan adh-Dhiya’ dari Jarir. Hadits ini dha’if (lemah). Ibnul Jauzi membawakannya dalam al-Wahiyat seraya mengatakan: “Tidak shahih, di dalamnya terdapat Muhammad bin Ubaid al-Bashri, dia seorang yang majhul (tak dikenal)”.
Makna hadits inipun tidak benar, sebab dia menunjukkan bahwa diterima tidaknya puasa Ramadhan seorang itu tergantung pada zakat fithr, dan barangsiapa yang tidak mengeluarkannya maka puasanya tidak diterima. Saya tidak mengetahui seorangpun dari ahli ilmu yang berpendapat seperti ini .

BAB HAJI DAN TANAH SUCI

Haji Dengan Harta Haram
مَنْ حَجَّ بِمَالٍ حَرَامٍ فَقَالَ : لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ, قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ : لاَ لَبَّيْكَ وَلاَ سَعْدَيْكَ وَحَجُّكَ مَرْدُوْدٌ عَلَيْكَ
Barangsiapa haji dengan harta haram lalu berkata: Aku penuhi panggilanmu ya Allah, maka Allah berfirman padanya: Engkau tidak memenuhi panggilan dan hajimu dikembalikan padamu (tertolak).
LEMAH. Diriwayatkan Ibnu Mardawaih dalam Tsalatsatu Majalis Minal Amali 1/192, al-Ashbahani dalam at-Targhib hal. 274 dari Dujain bin Tsabit al-Yarbu’I: Menceritakan kami Aslam maula Umar bin Khothtob dari Umar secara marfu’.
Sanad ini lemah, sebab Dujain adalah seorang yang lemah haditsnya sebagaimana dikatakan Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Nasa’I dan ad-Daraquthni .
Faedah: Termasuk kriteria haji mabrur adalah haji dengan harta yang halal. Nabi n/ bersabda:
إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ, لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
Sesungguhnya Allah itu baik, Dia tidak menerima kecuali dari yang baik. (Muslim 1015)
Ibnu Abdil Barr berkata: “Adapun haji mabrur, yaitu haji yang tiada riya’ dan sum’ah di dalamnya, tiada kefasikan, dan dari harta yang halal”.
Bahkan para ulama berselisih pendapat tentang haji seorang dengan harta yang haram, apakah hajinya sah ataukah tidak, sebagian ulama mengatakan tidak sah, dan inilah yang dikatakan oleh seorang penyair (Abu Syamaqmaq):
إِذَا حَجَجْتَ بِمَالٍ أَصْلُهُ السُّحْتُ فَمَا حَجَجْتَ وَلَكِنْ حَجَّتِ الْعِيْرُ
لاَ يَقْبَلُ اللهُ إِلاَّ كُلَّ طَيِّبَةٍ مَا كُلُّ مَنْ حَجَّ بَيْتَ اللهِ مَبْرُوْرُ
Apabila engkau haji dengan harta yang haram
Maka sebenarnya kamu tidak haji, tetapi rombonganlah yang haji
Allah tidak menerima kecuali yang baik
Tidak semua yang haji berarti hajinya mabrur.
Sebagian ulama lainnya mengatakan sah tetapi dia berdosa. Inilah –insyallah- pendapat yang lebih kuat. Wallahu A’lam.

Wafat Di Tanah Suci
مَنْ مَاتَ فِيْ أَحَدِ الْحَرَمَيْنِ بَعَثَهُ اللهُ مِنَ الآمِنِيْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Barangsiapa yang meninggal dunia di salah satu haram (Mekkah dan Madinah), niscaya Allah akan membangkitkannya termasuk orang-orang yang aman pada hari kiamat.
LEMAH. Diriwayatkan ath-Thoyyalisi dalam Musnadnya 65 dari Siwar bin Maimun dari seorang lelaki dari keluarga Umar dari Umar dari Nabi.
Sanad ini lemah, sebab ada seorang rawi yang tidak disebut namanya. Demikian juga Siwar bin Maimun seorang yang tidak dikenal. Hadits ini dilemahkan oleh al-Hafizh Ibnu Abdil Hadi dalam ash-Sharimul Munki hal. 87.
Ketahuilah bahwa semua hadits berkaitan tentang keutamaan wafat di tanah haram semuanya tidak shohih dari Nabi n\. “Dan hadits seperti ini tidak shahih selama-lamanya, karena bertentangan dengan Al-Qur’an, sunnah dan ijma umat bahwa sekedar meninggal di tanah haram tidaklah dapat menyelamatkan seseorang dari siksa dan menjamin keamanan darinya. Allah berfirman:
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُوْلَئِكَ لَهُمُ اْلأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-An’am: 82)
Dalam ayat ini Allah menggantungkan keamanan dengan iman dan tidak syirik, bukan dengan mati di tanah haram”.
Tentang masalah ini, saya teringat bahwa saya pernah menghadiri suatu pengajian di kampung saya. Dalam pengajian tersebut sang dai menceritakan suatu pengalaman lucu ketika hajinya, dia berkata bahwa suatu ketika dia di Madinah ketemu seseorang nenek tua yang ketinggalan keloter, tanyanya: “Ibu, kok belum pulang?!” Jawab si nenek: “Sengaja pak, saya ingin meninggal di sini”. Maka dengan senda gurau, si dai itu berkata: “Bu, kalau meninggal di sini, malaikatnya nanti tanyanya dengan bahasa Arab!”. Akhirnya, si nenek itu karena merasa tidak bisa bahasa Arab mengatakan: “Kalau gitu, saya ingin pulang aja-lah”. Wallahul Musta’an.

Tahiyat Baitullah
تَحِيَّةُ الْبَيْتِ الطَّوَافُ
Tahiyyat bait (ka’bah) adalah thowaf.
TIDAK ADA ASALNYA. Al-Hafizh az-Zai’lai berkata: “Ghorib jiddan”. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Saya tidak mendapatinya”.
Makna hadits inipun kurang benar, sebab keumuman dalil tentang shalat tahiyyatul masjid mencakup masjid haram juga, apalagi terbukti pada musim-musim tertentu tidak mungkin bagi setiap orang yang masuk masjid haram untuk melakukan thawaf (karena ramai seperti saat bulan ramadhan dan musim haji-pent), maka segala puji bagi Allah yang tidak memberatkan hambaNya.
Namun perlu diperhatikan bahwa hukum ini bagi selain yang ihram, adapun bagi yang ihram maka sunnahnya adalah melakukan thawaf terlebih dahulu (bukan shalat tahiyyatul masjid dulu -pent).

Melihat Ka’bah Ibadah
النَّظَرُ إِلَى الْكَعْبَةِ عِبَادَةٌ
Melihat ke ka’bah adalah ibadah.
LEMAH. Diriwayatkan ad-Dailami 4/117 dari jalur Sa’id bin Yahya dari Zafir dari Abu Utsman dari Yahya bin Sa’id dari Muhammad bin Ibrahim dari Aisyah secara marfu’.
Sanad ini lemah, sebab Said bin Yahya dan Abu Utsman, tidak dikenal, dan Said bin Zafir adalah banyak salahnya .

Doa Melihat Ka’bah
كَانَ إِذَا نَظَرَ إِلَى الْبَيْتِ قَالَ : اللَّهُمَّ زِدْ بَيْتَكَ هَذَا تَشْرِيْفًا وَتَعْظِيْمًا وَتَكْرِيْمًا وَبِرًّا وَمَهَابَةً
Nabi apabila melihat ke ka’bah, beliau berdoa: Ya Allah, tambahkanlah rumahMu ini kemuliaan, pengagungan, kebaikan, dan kewibawaan.
MAUDHU’. Diriwayatkan ath-Thobarani 1/312-313 dari jalur Umar bin Yahya al-Aili dari Ashim bin Sulaiman al-Kuzi dari Zaid bin Aslam dari Abu Thufail dari Hudzaifah bin Asid secara marfu’.
Sanad ini maudhu’, sebab Umar dan Ashim adalah pemalsu hadits.

Do a Menyentuh Hajar Aswad
كَانَ إِذَا اسْتَلَمَ الْحَجَرَ قَالَ : اللَّهُمَّ إِيْمَانًا بِكَ وَتَصْدِيْقًا بِكِتَابِكَ وَاتِّبَاعًا سُنَّةَ نَبِيِّكَ
Adalah dia apabila menyentuh batu, dia berkata: Ya Allah, kami beriman kepadaMu, membenarkan kitabMu dan mengikuti sunnah NabiMu.
MAUQUF LEMAH. Diriwayatkan oleh ath-Thobarani dalam Mu’jam al-Ausath: 488 dari Abu Ishaq dari Harits dari Ali.
Sanad ini lemah, sebab Harits al-A’war adalah seorang yang lemah haditsnya.
Dan diriwayatkan oleh ath-Thobarani juga: 5617, 5971 dari jalur Aun bin Sallam dari Muhammad bin Muhajir dari Nafi dari Ibnu Umar.
Sanad ini lemah juga, sebab Muhammad bin Muhajir al-Kufi adalah lemah .
Ibnu Kinanah asy-Syafi’i berkata: “Hadits ini tidak shahih dari Nabi”. Kemudian beliau berkata: “Imam Malik membenci doa ini seraya mengatakan: “Doa ini tidak diamalkan, cukup bertakbir dan terus berjalan tanpa berhenti. Malik mengingkari penentuan doa dalam thawaf”.

Doa setiap putaran thawaf
TIDAK ADA ASALNYA. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Disunnahkan ketika thawaf untuk berdzikir dan berdoa dengan doa-doa yang disyariatkan. Kalau mau membaca Al-Qur’an dengan lirih maka hal itu boleh. Dan tidak ada doa tertentu dari Nabi, baik dari perintahnya, ucapannya, maupun pengajarannya, bahkan beliau berdoa dengan umumnya doa-doa yang disyariatkan. Adapun apa yang disebutkan kebanyakan manusia adanya doa khusus di bawah mizab dan selainnya maka semua itu tidak ada asalnya”.
Faedah: Banyak jama’ah haji berdoa dengan membaca buku panduan doa-doa ini, padahal hal itu memiliki beberapa dampak negatif:
1. Beramal tanpa dalil, karena pnegkhususan doa-doa tersebut tidak shahih dari Nabi n\ sebagaimana keterangan di atas.
2. Kurang khusyu’ dan menghadirkan hati, karena banyak diantara mereka yang tidak memahami makna doa yang tertulis sehingga kurang meresapi apa yang dia doa’akan, bahkan terkadang salah membaca sehingga doa’anya terbalik-balik
3. Banyak diantara mereka memotong doa untuk membaca doa putaran berikutnya, padahal doa putaran tersebut belum selesai, sehingga memotong doa di tengah-tengah kalimat yang pada hakekatnya merusak bahasa
4. Menyusahkan diri dengan membawa buku panduan tersebut padahal kita tahu ketika thawaf tidak luput dari desak-desakan
5. Apabila doanya dipimpin secara bersama, maka akan mengganggu orang lain
Seandainya saja mereka membaca doa yang datang dari Nabi n\, niscaya hal itu akan lebih bermanfaat, berbarakah, lebih mudah dan lebih khusyu’. Semoga nasehat dan peringatan ini bisa diambil manfaatnya oleh setiap muslim yang hendak mengikuti jalan kebenaran. Amiin.

BAB PERNIKAHAN DAN PERCERAIAN

Doa pernikahan Ali dan Fathimah
جَمَعَ اللهُ شَمْلَكُمَا وَأََسْعَدَ جَدَّكُمَا وَبَارَكَ عَلَيْكُمَا وَأَخْرَجَ مِنْكُمَا كَثِيْرًا طَيِّبًا
Semoga Allah menghimpun yang terserak dari keduanya, memberkahi mereka berdua dan kiranya Allah meningkatkan kualitas keturunan mereka, menjadikan pintu rahmat serta pemberi rasa aman bagi umatnya.
TIDAK ADA ASALNYA. Do’a ini sangat masyhur dan sering dicantumkan dalam undangan-undangan pernikahan. Dibawakan oleh al-Muhibb ath-Thobari dalam ar-Riyadh an-Nadhirah fi Manaqib Al-Asyroh 3/146 –cet Dar Kutub Ilmiyyah- dalam kisah yang panjang dari sahabat Anas bin Malik tanpa menyebutkan sanad, beliau hanya mengatakan di akhir hadits: “Dikeluarkan oleh Abul Khair al-Qazwini al-Hakimi!!”.
Adapun doa yang shahih adalah sebagai berikut:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ : أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ إِذَا رَفَّأَ الإِنْسَانَ إِذَا تَزَوَّجَ قَالَ : بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي الْخَيْرِ
Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi apabila mengucapkan selamat kepada seorang yang menikah, beliau bersabda: “Semoga Allah memberkahimu dalam kebaikan dan kesukaran serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”.

Empat Kebahagian Seseorang
أَرْبَعٌ مِنْ سَعَادَةِ الْمَرْءِ : زَوْجَةٌ صَالِحَةٌ وَوَلَدٌ أَبْرَارُ وَخُلَطَاءُ صَالِحُوْنَ وَمَعِيْشَةٌ فِيْ بَلَدِهِ
Empat perkara termasuk kebahagiaan seseorang: istri yang shalihah, anak yang baik, teman yang baik, dan kerja di negeri sendiri.
MAUDHU’. Diriwayatkan ad-Dailami 1/166 dari jalur Sahl bin Amir al-Bajali dari Amr bin Jami’ dari Abdullah bin Hasan bin Hasan dari ayahya dari kakeknya secara marfu’.
Hadits ini maudhu’, sebab Amr bin Jami’ dan Sahl bin Amir, keduanya adalah pendusta.
Sebagai gantinya, ada sebuah hadits yang agak mirip dengannya, yaitu:
أرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ: الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ وَالْجَارُ الصَّالِحُ وَ الْمَرْكَبُ الْهَنِيْئُ
Empat perkara termasuk kebahagian: Istri yang shalihah, tempat tinggal yang luas, tetangga yang baik dan kendaraan yang nyaman.
Diriwayatkan oleh ath-Thoyyalisi 210, Ahmad 3/55, Ibnu Hibban 4932 dan al-Hakim 2/157 dengan sanad yang shahih.

Miskin, Seorang Yang belum Nikah
مِسْكِيْنٌ مِسْكِيْنٌ رَجُلٌ لَيْسَ لَهُ امْرَأَةٌ وَإِنْ كَانَ كَثِيْرَ الْمَالِ وَمِسْكِيْنَةٌ مِسْكِيْنَةٌ امْرَأَةٌ لَيْسَ لَهَا زَوْجٌ وَإِنْ كَانَتْ كَثِيْرَةَ الْمَالِ
Sungguh miskin, sungguh miskin seorang lelaki yang belum beristri sekalipun banyak harta. Dan sungguh miskin, sungguh miskin seorang wanita yang belum bersuami sekalipun banyak harta.
MUNKAR. Dikeluarkan oleh ath-Thobaroni dalam “Al-Aushot” (1/162/1-2 Zawaid) dan Al-Wahidi dalam “Al-Wasith” (3/114/2) dari jalan Kholid bin Khidas menceritakan kami Muhammad bin Tsabit Al-‘Abdy dari Harun bin Riab dari Abu Najih secara marfu’. ath-Thobaroni berkata: “Tidak ada yang meriwayatkan dari Harun selain Muhammad”.
Saya (Al-Albani) katakan: “Muhammad seorang rowi yang lemah. Dia mempunyai biografi dalam At-Tahdzib dimana mayoritas ahli ilmu melemahkan haditsnya. Al-Hafizh menyimpulkan keadaannya dalam “At-Taqrib” beliau berkata: “Shoduq, layyinul hadits (lemah)”
Dengan demikian maka hadits ini dho’if ditambah lagi hadits ini adalah mursal (seorang tabi’in meriwayatkan langsung dari Nabi). Sebab Abu Najih adalah seorang tabi’in, nama beliau adalah Yasar. Dari sini pembaca dapat mengetahui kesalahan Al-Haitsami ketika berkata dalam Al-Majma’ (4/252): “Diriwayatkan ath-Thobaroni dalam Al-Ausath dan seluruh rowinya terpercaya (!) selain Abu Najih , dia bukan sahabat”.
Kemudian saya mendapatkan Al-Baihaqi mengeluarkan hadits ini lewat jalan lain dari Muhammad bin Tsabit dalam Syu’abul Iman (2/134/2) lalu berkata: “Abu Najih, namanya adalah Yasar, ayahnya Abdullah bin Abu Najih dan dia termasuk tabi’in. Berarti hadits ini adalah mursal”.
Al-Mundziri membawakan hadits ini dalam At-Targhib (3/67) dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash dengan lafadz:
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَمِنْ خَيْرِ مَتَاعِهَا اِمْرَأَةٌ تُعِيْنُ زَوْجَهَا عَلَى الأَخِرَةِ مِسْكِيْنٌ مِسْكِيْنٌ …
Dunia adalah perhiasan. Sebaik-baik perhiasannya adalah seorang wanita yang membantu suami untuk kepentingan akherat. Sungguh miskin, sungguh miskin…..” Al-Mundziri berkata: “Disebutkan oleh Rozin dan saya belum mengetahuinya asalnya. Sedangkan kalimat terakhir adalah mungkar”.
Kalimat terakhir (Miskin miskin seorang lelaki yang tak bersuami…) telah kita ketahui derajatnya, yaitu dho’if (lemah).
Adapun kalimat baris pertama memang ada asalnya dari hadits Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash bahwasanya Rasulullah n\ bersabda:
Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah istri sholihah.
Dikeluarkan Muslim (4/178) Nasa’i (2/72-73) Ibnu Hibban (4020) Baihaqi (7/168) dari jalan Surohbil bin Syarik bahwa dia mendengar Abdur Rohman Al-Hubaly bercerita dari Abdullah bin ‘Amr dengan hadits ini.
Hadits ini sering saya dengar ketika acara-acara pernikahan, maka hendaknya diperhatikan!

Jangan Nikahi Kerabat
لاَ تَنْكِحُوْا الْقَرَابَةَ الْقَرِيْبَةَ فَإِنَّ الْوَلَدَ يُخْلَقُ ضَاوِيًا
Janganlah kalian menikah dengan kerabat, karena anak kalian akan lahir dengan lemah.
TIDAK ADA ASALNYA. Hadits ini begitu populer dilariskan oleh para ahli fiqih (!) dan doktor pada zaman ini, dimana mereka tidak takut kepada Allah untuk menyampaikan kepada murid-murid mereka pendapat dan ucapan yang tidak memiliki landasan dan hadits-hadits yang tidak ada asal usulnya seperti hadits ini, dimana saya sering ditanya tentangnya berulang-ulang. Al-Hafizh Ibnul Mulaqqin berkata : “Ghorib. Ibnu Sholah berkata: Saya tidak mengetahui asal-usulnya”.
Keyakinan bahwa menikah dengan keluarga dekat bisa menyebabkan penyakit keturunan merupakan keyakinan yang keliru ditinjau dari segi syar’I dan medis. Dari segi syar’I karena memang itu adalah boleh dalam syar’I, maka bagaimana kita akan melarang sesuatu yang dibolehkan agama?! Bahkan Nabi n\ sendiri menikahkan putrinya Fathimah dengan saudara sepupunya, Ali bin Abi Thalib. Demikian juga para sahabat, banyak diantara mereka yang menikah dengan kerabatnya sendiri.
Dan dari segi medis, karena dalam riset ilmiyah tidak ditemukan perbedaan antara masyarakat yang biasa menikah dengan orang jauh maupun dengan keluarga dekat.

Larangan Ketika Jima’
إِذَا جَامَعَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَنْظُرْ إِلَى الْفَرْجِ فَإِنَّهُ يُوْرِثُ الْعَمَى وَلاَ يُكْثِرِ الْكَلاَمَ فَإِنَّهُ يُوْرِثُ الْخَرْسَ
Apabila salah seorang diantara kalian sedang jima’ (senggama), maka janganlah dia melihat farji karena itu akan mengakibatkan buta, dan jangan memperbanyak bicara karena hal itu akan mengakibatkan bisu.
MAUDHU’. Dibawakan Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu’at 2/271. Hadits ini maudhu’, sebab dalam sanadnya ada rawi bernama Muhammad bin Abdur Rahman al-Qusyairi. Adz-Dzahabi berkata: “Tidak dipercaya, al-Azdi berkata tentangnya: “Pendusta, ditinggalkan haditsnya”. Demikian juga kata ad-Daraquthni.
Maknanya juga tidak benar, karena Allah telah menghalalkan bagi seorang suami untuk berjima’ dengan istrinya. Kalau memang demikian, apakah layak kemudian diharamkan melihat farjinya?! Tidak sama sekali! Hal ini dikuatkan dengan riwayat Ibnu Hibban dari jalur Sulaiman at-Taimi bahwa beliau ditanya tentang seorang melihat farji istrinya? Maka beliau menjawab: Aku bertanya kepada Atho’ lalu dia menjawab: Aku bertanya kepada Aisyah, lalu Aisyah menjawab: “Saya pernah mandi bersama Rasulullah n\ dalam satu bejana, sehingga saya mengatakan: “Biarkan itu untukku! Biarkan untukku!”.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari 1/290: “Hadits ini merupakan dalil tentang bolehnya seorang untuk melihat aurat istrinya, demikian juga sebaliknya”.
Apabila jelas hal ini, maka tidak ada bedanya antara melihat ketika mandi atau jima’, sehingga jelaslah bathilnya makna hadits ini.
Adapun berbicara tatkala jima’, kalau bicaranya terlalu banyak maka memang tidak pantas dilakukan karena suami istri saat itu terbuka auratnya, tetapi ucapan sedikit yang menambah birahi syahwat maka tidak apa-apa, bahkan mungkin dianjurkan.

Perceraian, Halal Tapi Dibenci
أَبْغَضُ الْحَلاَلِ إِلَى اللهِ الطَّلاَقُ
Perkara halal yang dibenci Allah adalah perceraian.
LEMAH. Diriwayatkan Abu Dawud 2178, Ibnu Majah 2018 dll. Hadits ini lemah, karena mursal, sebab diriwayatkan dari Muharib bin Datsar langsung dari Nabi n\, sebagaimana dikuatkan Abu Hatim , ad-Daraquthni, al-Baihaqi , al-Khoththobi dan al-Al-Mundziri .
Dari segi makna, hadits ini juga tidak benar, karena tidak mungkin Allah membenci syar’iat yang Dia sendiri membolehkannya. Wallahu A’lam.

Jangan Cerai
تَزَوَّجُوْا وَ لاَ تُطَلِّقُوْا فَإِنَّ الطَّلاَقَ يَهْتَزُّ لَهُ الْعَرْشُ
Menikahlah dan janganlah kalian cerai, karena perceraian mengguncang Arsy.
MAUDHU’. Diriwayatkan ad-Dailami 2/30, al-Khathib dalam Tarikhnya 12/191 dari jalur Amr bin Jami’ dari Juwaibir dari Dhohak dari Nazal bin Sabrah dari Ali bin Abi Thalib secara marfu’.
Al-Khathib membawakan hadits ini dalam biografi Amr, lalu berkomentar: “Dia meriwayatkan hadits-hadits munkar dan maudhu’ dari orang-orang terpercaya dan populer”. Beliau juga membawakan ucapan Ibnu Ma’in tentangnya: “Dia adalah pendusta dan jelek”. Juwaibir juga sangat lemah sekali.
Ibnul Jauzi berkata: “Hadits ini tidak shahih”. Dan disetujui oleh as-Suyuthi , dan Ibnul Arraq .
Hadits ini banyak dibawakan oleh para khathib yang hampir-hampir mereka mengharamkan perceraian yang dihalalkan oleh Allah, dan sebagian diantara mereka meletakkan persyaratan-persyaratan untuk melarang perceraian, sekalipun dengan kerelaan suami!! Hanya kepada Allah kita mengadu semua ini!!
Hadits ini juga bertentangan dengan praktek salaf, karena sejumlah diantara mereka juga pernah cerai, bahkan telah shahih bahwa Nabi n\ menceraikan istrinya Hafshoh binti Umar.
Faedah: Hadits Nabi n\ menceraikan Hafshoh lalu meruju’nya kembali, diriwayatkan Abu Dawud 2283, Nasai 2/117, ad-Darimi 2/160, Ibnu Majah 2016, al-Hakim 2/197. Al-Hakim berkata: “Shohih menurut syarat Bukhari Muslim”. Dan disetujui adz-Dzahabi dan al-Albani, lalu beliau berkomentar: Hadits ini menunjukkan bolehnya seorang menceraikan istrinya sekalipun dia banyak berpuasa dan sholat malam, hal itu karena kurang cocok antara keduanya atau ada masalah-masalah lain yang tidak diketahui. Oleh karena itu, mengikat sahnya perceraian dengan persetujuan hakim (baca: KUA) termasuk hal yang jelek untuk didengar pada zaman sekarang!!
Namun, jangan difahami dari penjelasan di atas bahwa kami menganjurkan perceraian! Bagaimana mungkin, padahal perceraian bertentangan dengan tujuan suatu pernikahan! Tetapi apa boleh buat bila suatu rumah tangga tidak bisa dipadukan lagi setelah usaha untuk menyatukannya. Di sinilah Islam membuat solusi terbaik, yaitu perceraian. Maka janganlah kita melarang atau mempersulit jalannya perceraian bila memang hal itu adalah pilihan terbaik. Wallahu A’lam.

BAB AL-QUR’AN

Fasih Mengucapkan Huruf Dhod
أَنَا أَفْصَحُ مَنْ نَطَقَ بِالضَّادِ
Saya adalah orang yang paling fashih dalam mengucapkan huruf dhod.
TIDAK ADA ASALNYA. Demikian ditegaskan al-Hafizh Ibnu Katsir , as-Sakhawi , asy-Syaukani , as-Suyuthi , az-Zarkasyi , Mula Ali al-Qori , Ibnu Baz dan lain sebagainya.
Hadits ini cukup masyhur di kalangan para qori’ sehingga banyak diantara mereka menyusahkan diri untuk mengucapkan huruf dhod secara fashih!!
Para ulama fiqih telah menegaskan bahwa pembedaan huruf dhod dengan dho’ adalah sesuatu yang dimaafkan, sebab keduanya sangat mirip sekali makhrajnya .

Keutamaan Surat Yasin
إِنَّ لِكُلِّ شَيْئٍ قَلْبًا, وَإِنَّ قَلْبَ الْقُرْآنِ ( يس ), مَنْ قَرَأَهَا فَكَأَنَّمَا قَرَأَ الْقُرْآنَ عَشْرَ مَرَّاتٍ
Sesungguhnya segala sesuatu memiliki jantung, dan jantungnya Al-Qur’an adalah surat Yasin, barangsiapa membacanya maka dia seakan membaca Al-Qur’an sepuluh kali.
MAUDHU’. Diriwayatkan at-Tirmidzi 4/46, ad-Darimi 2/456 dari Humaid bin Abdur Rahman dari Hasan bin Shalih dari Harun Abu Muhammad dari Muqatil bin Hayyan dari Qotadah dari Anas secara marfu’.
Sanad ini lemah sekali, bahkan maudhu’ karena Harun Abu Muhammad adalah pendusta. Dalam al-Ilal 2/55-56 dinukil ucapan Abu Hatim bahwa hadits ini adalah bathil.

Keutamaan Surat Al-Waqi’ah
مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْوَاقِعَةِ فِيْ كُلِّ لَيْلَةٍ, لَمْ تُصِبْهُ فَاقَةٌ أَبَدًا
Barangsiapa membaca surat Al-Waqi’ah setiap malam, maka dia tidak akan terkena kemiskinan selama-lamanya.
LEMAH. Diriwayatkan Ibnu Sunni dalam Amalul Yaum wa Lailah 674 dari jalur Abu Syuja’ dari Abu Thaibah dari Ibnu Mas’ud secara marfu’.
Sanad hadits ini lemah, karena Abu Syuja’ dan Abu Thaibah adalah rawi yang tidak dikenal. Di samping itu hadits ini juga terputus sanadnya, munkar matan-nya, dan ada kegoncangan dalam sanadnya.

Surat Al-Fatihah
الْفَاتِحَةُ لِمَا قُرِئَتْ لَهُ
Al-Fatihah itu sesuai untuk apa yang dibaca.
TIDAK ADA ASALNYA. Yakni dengan lafadz ini, demikian juga kebanyakan keutamaan-keutamaan surat yang disebutkan oleh sebagian ahli tafsir.
Hadits ini dijadikan dasar oleh sebagian kalangan untuk memulai segala hajat dengan membaca: “Al-Fatihah…”.
Al-Hafizh as-Sakhawi pernah ditanya tentang kebiasaan manusia usai sholat, mereka membaca Al-Fatihah dan menghadiahkannya kepada kaum muslimin yang hidup dan mati, beliau menjawab: “Cara seperti tidak ada contohnya, bahkan ini termasuk kebid’ahan dalam agama”.
Syaikh Ibnu Utsaimin juga berkata setelah menjelaskan keutamaan-keutamaan surat Al-Fatihah yang shohih: “Sebagian manusia pada zaman sekarang telah membuat suatu hal baru dalam agama tentang surat ini, mereka menutup doa dengannya dan memulai khutbah dan acara dengan mengatakan “Al-Fatihah”!! Maka ini adalah suatu kesalahan, sebab agama itu dibangun di atas dalil dan ittiba’ (mengikuti Nabi)”.

Mengamalkan Isi Al-Qur’an

كَمْ مِنْ قَارِئٍ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَالْقُرْآنُ يَلْعَنُهُ
Betapa banyak orang membaca Al-Qur’an, sedangkan Al-Qur’an melaknatnya.
TIDAK ADA ASALNYA. Demikian ditegaskan oleh Syaikh al-Albani, sebagaimana diceritakan oleh murid beliau, Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi, katanya: “Sebagian orang menisbatkan ucapan ini sebagai hadits dari Nabi n\. Saya tidak mendapatinya dalam kitab-kitab yang telah saya buka, kemudian saya bertanya kepada Syaikhuna al-Albani tentangnya? Beliau menjawab: “Tidak ada asalnya”. Kemudian saya mendapatkan dalam Ihya’ 1/274 ucapan ini dinisbatkan kepada Anas tanpa menyandarkan kepada siapa yang mengeluarkannya.

BAB MAKANAN DAN PAKAIAN

Tidak Makan Hingga Lapar

Kita adalah suatu kaum yang tidak makan hingga merasakan lapar, dan apabila kita makan maka kita tidak kenyang.
TIDAK ADA ASALNYA. Ustadzuna Abu Unaisah Abdul Hakim bin Amir Abdat -semoga Allah menjaganya- berkata: “Hadits yang masyhur ini, yang beredar demikian cepatnya dari mulut ke mulut, dari satu mimbar ke mimbar lainnya, yang disandarkan atas nama Nabi yang mulia, sama sekali tidak ada asal-usulnya. Bertahun-tahun lamanya saya mencari sanad hadits ini di kitab-kitab hadits dan yang selainnya hanya untuk mengetahui asal-usul hadits yang sangat masyhur ini, tetapi saya tidak menemukannya sampai pada hari saya menulisnya dan memasukkannya di kitab saya ini”.
Ternyata, ungkapan di atas bukanlah sebuah hadits melainkan ucapan seorang dokter ahli dari Sudan sebagaimana dalam sebuah kisah panjang yang dinukil oleh al-Hafizh as-Suyuthi dalam kitabnya Ar-Rohmah fi Thibbi wal Hikmah hal. 19 dan Syaikh Nawawi Banten dalam kitabnya Madarij Shu’ud hal. 19.

Do’a akan makan
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْمَا رَزَقْتَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Ya Alloh berkahilah apa-apa yang Engkau rizkikan kepada kami dan jagalah kami dari adzab neraka.
LEMAH SEKALI. Dikeluarkan Ibnu Sunni dalam Amalul Yaum wa Lailah: 459, Ibnu ‘Adi dalam al-Kamil 6/2212, ath-Thobarani dalam ad-Du’a: 888 dari Hisyam bin Ammar menceritakan kami Muhammad bin Isa bin Sami’ menceritakan kami Muhammad bin Abu Zu’aizi’ah dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, Abdullah bin Amr bin Ash…
Muhammad bin Abu Zu’aizi’ah disebutkan oleh Imam adz-Dzahabi dalam Mizanul I’tidal (6/149-150), “Abu Hatim berkata, “Mungkarul hadits jiddan (haditsnya munkar sekali).” Demikian juga dikatakan oleh Imam Bukhari.” Kemudian beliau (Dzahabi) menyebutkan beberapa hadits mungkar lalu berkata, “Hadits-hadits ini diriwayatkan oleh Hisyam bin Ammar dari Ibnu Sami’ dari Ibnu Zu’aizi’ah.” Dan beliau juga menyebutkan hadits pembahasan kita di atas .
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini ghorib, dikeluarkan Ibnu Sunni, dan dalam sanadnya terdapat Ibnu Abi Zu’azi’ah, dia lemah sekali. Imam Bukhari berkata: “Munkar hadits sekali”. Dan disebutkan Ibnu Adi diantara hadits yang beliau ingkari. Disebutkan juga oleh Ibnu Hibban dalam adh-Dhu’afa dan beliau melemahkannya”.
Adapun doa makan yang shahih dari Nabi n/ adalah membaca: بِسْمِ اللهِ (bismillah).
Berdasarkan hadits Umar bin Abu Salamah:
يَا غُلاَمُ سَمِّ اللهَ…
Wahai anak, bacalah bismillah.

Do’a Setelah Makan:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَطْعَمَنَا وَسَقَانَا وَجَعَلَنَا مُسْلِمِيْنَ
Segala puji bagi Alloh Yang telah memberi makan dan minum kami dan menjadikan kami termasuk orang-orang muslim.
LEMAH. Diriwayatkan Abu Dawud: 3850, Tirmidzi: 3457, Ibnu Majah: 3283, dll
Hadits ini lemah sebagaimana ditegaskan oleh Imam Al-Albani . Sebab kecacatan hadits ini adalah idhtirab sanad (sanadnya goncang). Kadang dari Ismail bin Riyah dari bapaknya atau selainnya, terkadang juga dari Ismail bin Abu Idris dari Abu Said Al-Khudri secara mauquf (sampai kepada sahabat Abu Said Al-Khudri saja). Kadang lagi dari Riyah dari budak Abu Said dan terkadang juga dari anak saudara (sepupu) Abu Said.
Imam adz-Dzahabi juga berkata dalam biografi Ismail bin Riyah: “Saya tidak mengetahui siapa dia. Abu Dawud mengeluarkan haditsnya. Perawi darinya (Ismail bin Riyah) hanyalah Abu Hasyim Ar-Rumani saja dan haditsnya (Ismail) mudhtarib (goncang). Dan Riyah bin ‘Abidah padanya ada jahalah (tidak dikenal), Abu Hasyim (seorang terpercaya) meriwayatkan dari Ismail bin Riyah dari bapaknya atau selainnya dari bapaknya bahwasanya Nabi n/ apabila selesai dari makan, beliau berdo’a… (lalu menyebutkan do’a di atas).” Kemudian Imam adz-Dzahabi berkata, “Gharib munkar.”
Adapun do’a yang shahih, diantaranya adalah:
عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَzأَنَّ النَّبِيَّ n كَانَ إِذَا رُفِعَ مَائِدَتُهُ قَالَ : الْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ غَيْرَ مَكْفِيٍّ وَلاَ مُوَدَّعٍ وَلاَ مُسْتَغْنَى عَنْهُ رَبَّنَا
Dari Abu Umamah z/ bahwasanya Nabi n/ apabila selesai makan, beliau n/ berdo’a, “Segala puji bagi Alloh dengan pujian yang banyak lagi baik dan penuh berkah di dalamnya, bukan pujian yang tidak mencukupi dan tersia-sia dan tidak dibutuhkan wahai Rabb kami.”

Cincin Akik
تَخَتَّمُوْا بِالْعَقِيْقِ, فَإِنَّهُ مُبَارَكٌ
Bercincinlah dengan akik, karena dia diberkahi
MAUDHU’. Dikeluarkan al-Mahamili dalam al-Amali 41, al-Khathib dalam Tarikhnya 11/251, al-Uqaili dalam adh-Dhua’afa 466 dari jalur Ya’qub bin Ibrahim az-Zuhri, keduanya dari Hisyam bin Urwah dari ayahya dari Aisyah.
Dicantumkan Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at 1/423 seraya berkata: “Ya’qub adalah seorang pendusta dan pemalsu hadits. Al-Uqaili berkata: “Tidak ada satu haditspun yang shahih dalam masalah ini”.
Hadits ini diriwayatkan dengan lafadz-lafadz lainnya, tetapi semuanya adalah bathil, sebagaimana ditegaskan oleh as-Sakhawi dalam al-Maqashid. Demikian juga as-Shaghoni dan al-Mushili . Selain itu, hadits ini tidak didukung oleh syara’ dan akal.

Keutamaan Sorban
الصَّلاَةُ فِي الْعِمَامَةِ تَعْدِلُ بِعَشْرَةِ آلاَفِ حَسَنَةٍ
Sholat dengan sorban sebanding dengan sepuluh ribu kebaikan.
MAUDHU’. Dibawakan as-Suyuthi dalam Dzail Ahadits Al-Maudhu’ah hal. 111 dari riwayat ad-Dailami 2/256 dengan sanadnya sampai ke Aban dari Anas secara marfu’, lalu berkata: Aban seorang yang tertuduh dusta.
As-Sakhawi berkata mengikuti gurunya, al-Hafizh Ibnu Hajar: “Maudhu'”. Al-Manufi berkata: “Hadits bathil”.
Hadits ini tidak ragu lagi menurut saya kebathilannya, karena tidak masuk akal kalau sorban yang hanya pakaian adat sebanding dengan pahala sholat jama’ah yang merupakan suatu kewajiban! Anehnya, sebagian orang yang bersorban terkadang tidak merasa salah kalau dia mencukur jenggotnya, lain halnya kalau sorban, maka itu adalah perkara yang tidak boleh diremehkan!

BAB KISAH

Turun Rahmat Ketika Disebut Kisah
عِنْدَ ذِكْرِ الصَّالِحِيْنَ تَنْزِلُ الرَّحْمَةُ
Ketika diceritakan orang-orang shalih, maka turunlah rahmat.
TIDAK ADA ASALNYA. Sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani. Al-Iraqi berkata: “Tidak ada asalnya kalau sampai kepada Nabi, tetapi itu ucapan Sufyan bin Uyainah”.

Masyithoh/Tukang Sisir Putri Fir’aun
Ringkas ceritanya, pada malam isra’ Nabi mencium aroma wangi lalu bertanya kepada Jibril tentangnya, kata Jibril: Ini adalah aroma masyithoh (tukang sisir) putri Fir’aun. Ceritanya, suatu hari di tengah menyisir rambut putri Fir’aun, tiba-tiba sisirnya jatuh, dengan reflek dia mengatakan: “Bismillah”. Dilaporkan berita ini kepada Fir’aun, kemudian dia memerintahkan anak buahnya untuk memanaskan patung sapi hingga meleleh dan melemparkan wanita tersebut berserta anak-anaknya di tempat tersebut.
LEMAH. Diriwayatkan oleh Ahmad 1/310, Ibnu Hibban 36, 37, ath-Thobarani 12279 dan lain-lain. Hadits ini lemah karena Atho’ bin Sa’ib adalah seorang yang mukhtalith (berubah hafalannya) dan Hammad mendengar dari Atho’ sebelum perubahan hafalan dan sesudahnya juga sebagaimana dijelaskan dalam Tahdzib Tahdzib Ibnu Hajar dan Silsilah Adh-Dha’ifah: 880. Maka, ucapan as-Suyuthi dalam al-Khoshois 1/399: “Sanadnya shahih”, adalah tertolak, demikian juga ucapan Ibnu Katsir: “Sanadnya tidak mengapa”.

Tsa’labah bin Hatib z/
وَيْحَكَ يَا ثَعْلَبَةُ ! قَلِيْلٌ تُؤَدِّيْ شُكْرَهُ خَيْرٌ مِنْ كَثِيْرٍ لاَ تُطِيْقُهُ
Celaka dirimu wahai Tsa’labah, sedikit tapi kamu syukuri itu lebih baik daripada banyak tapi engkau tidak sanggup untuk mengembannya.
Ringkas ceritanya: “Tsa`labah z/ adalah seorang sahabat yang fakir tetapi rajin beribadah. Suatu saat ia memohon kepada Nabi n/ agar mendo’akannya supaya dikaruniai rizki. Nabi n/ pun mendo’akannya. Walhasil, dia bekerja sebagai penggembala kambing. Waktu demi waktu berlalu, akhirnya ternaknya berkembang dengan pesat sekali. Lambat laun hal itu melalaikannya dari shalat… dan seterusnya sampai akhir kisah.”
LEMAH SEKALI. Kisah ini sangat masyhur, diriwayatkan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam Tafsirnya (14/370), Ath-Thabarani dalam Mu‘jamul Kabir (8/260) no. 7873 dan Al-Wahidi dalam Asbabul Nuzul hal 252. Semuanya dari jalan Mu’an bin Rifa’ah dari Ali bin Yazid Al-Alhani dari Qasim bin Abdur Rahman dari Abu Umamah Al-Bahili z/.”
Sanad ini lemah sekali, sebab Mu’an bin Rifa’ah seorang rawi yang lemah sekali. Demikian juga Ali bin Yazid Al-Alhani, dia seorang rawi yang lemah juga.
Al-Iraqi berkata: “Sanadnya lemah.” Al-Haitsami berkata: “Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani tetapi dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Ali bin Yazid Al-Alhani, dia matruk (ditinggalkan haditsnya).” Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini lemah, tidak dapat dijadikan hujjah.”
Kesimpulannya, hadits ini munkar dan lemah sekali, sekalipun sangat masyhur”.
Ibnu Hazm berkata: “Tidak ragu lagi bahwa kisah ini adalah batil”. Adz-Dzahabi berkata: “Munkar sekali.” .
Kisah ini juga bathil ditinjau dari segi matan, karena bertentangan dengan kaidah-kaidah umum syari’at, diantaranya:
1. Tidak adanya kesesuaian antara kisah dengan ayat, karena ayat ini bicara tentang orang munafiq, sedangkan Tsa’labah termasuk sahabat mulia, bahkan pengikut perang Badar dan ahli ibadah sehingga dijuluki dengan Hamamah Masjid karena seringnya di masjid.
2. Mu’amalah Nabi n\ dengan Tsa’labah dalam kisah ini berbeda sekali dengan kebiasaan beliau dengan orang-orang munafiq yaitu menerima udzur mereka.
3. Kisah ini menyelisihi kaidah umum bahwa orang yang bertaubat dari suatu dosa, apapun dosa tersebut maka taubatnya diterima, lantas mengapa Nabi n\ tidak menerima taubat Tsa’labah?!
4. Zakat adalah hak harta bagi orang-orang yang berhak menerimanya dari kalangan faqir miskin dan sebagainya, diambil dari pemilik harta, seandainya mereka tidak mengeluarkannya maka akan diambil secara paksa.

AlQamah Mendurhakai Ibunya
Ringkas ceritanya kurang lebih sebagai berikut: “Al-Qamah adalah seorang ahli ibadah. Tatkala dia dalam sakaratul maut, lidahnya tidak dapat mengucapkan kalimat La Ilaha illalloh. Rasul n/ pun mendatanginya seraya bertanya kepada para sahabatnya, “Apakah ibunya masih hidup?” Jawab mereka, “Masih.” Sang ibu pun dihadirkan, lantas menjelaskan bahwa dirinya telah mengutuk si anak (Al-Qamah) disebabkan dia lebih mengutamakan istrinya daripada dirinya. Nabi n/ meminta kepada sang ibu untuk mencabut kutukannya. Namun dia tidak bersedia, lantaran sudah kadung (terlanjur–red) sakit hati. Akhirnya Nabi n/ pun menyuruh para sahabatnya agar mengumpulkan kayu bakar untuk membakar Al-Qamah, supaya lekas mati. Bagaimanapun juga, sebagai seorang ibu, dia tak tega putranya mengalami nasib seperti itu, lalu mencabut kutukannya. Sedetik kemudian Al-Qamah mampu mengucapkan Laa Ilaaha Illallah. Lalu wafatlah dia.”
Kisah ini sangat masyhur dan laris, dipasarkan oleh para khatib di mimbar-mimbar, dan masyhur disampaikan di sekolah-sekolah terutama dalam buku-buku kurikulum atau dalam acara bid’ah yang biasa disebut sebagai Hari Ibu.
MAUDHU’. Kisah ini diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu’at (3/37). Al-Uqaili dalam Adh-Dhu’afa Al-Kabir (3/461), Al-Khara’iti dalam Masawi’ Al-Ahlaq 120, al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman 6/197 dari jalan Faid Abu Warqa’ dari Abdullah bin Abi Aufa.
Al-Haitsami berkata “Hadits riwayat Ath-Thabrani dan Ahmad secara ringkas sekali, tetapi dalam sanadnya terdapat seorang rawi yang bernama Faid Abu Warqa’, dia seorang yang matruk (ditinggalkan).” Ibnul Jauzi juga berkata: “Hadits ini tidak shahih dari Rasulullah n/.”
Kesimpulanya, hadits ini adalah maudhu’, tidak shahih.
Kisah ini juga dilemahkan oleh para ulama lainnya seperti al-Uqaili , al-Baihaqi , al-Mundziri , adz-Dzahabi , Ibnu Arraq , asy-Syaukani dan sebagainya .

Kisah Kesetian Istri Pada Suaminya
Ringkas kisahnya, suatu kali pernah ada seorang lelaki keluar rumah dan berpesan kepada istrinya agar tidak keluar dari rumah. Selang beberapa waktu, ternyata ayahnya yang tinggal berdekatan dengan ruahnya jatuh sakit. Akhirnya, wanita itu mengutus seorang untuk meminta fatwa kepada Nabi, namun jawab beliau: “Taatilah pesan suamimu”. Tak lama kemudian, sang ayah akhirnya melepaskan nafas akhirnya dan meninggal dunia. Wanita itu lalu mengutus seorang lagi untuk meminta fatwa kepada Nabi. Namun jawaban beliau tetap tidak berubah: “Taatilah suamimu”. Kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mengampuni ayahnya karena ketaatan putrinya kepada suaminya”.
LEMAH. Diriwayatkan ath-Thobarani dalam al-Ausath 1/169 dan Ibnu Baththoh dalam Ahkam Nisa’ 2/219 dari jalan ‘Ishmah bin Mutawakkil: Menceritakan kami Zaafir dari Sulaiman dari Tsabit al-Bunani dari Anas bin Malik dari Nabi..
Sanad ini lemah, sebab ‘Ishmah bin Mutawakkil adalah seorang yang lemah. Demikian juga Zaafir bin Sulaiman, dia adalah seorang yang lemah.
Imam ath-Thobarani berkata: “Tidak diriwayatkan dari Zaafir kecuali ‘Ishmah”. Al-Haitsami juga berkata: “Diriwayatkan oleh ath-Thobarani dalam al-Ausath tetapi dalam sanadnya terdapat ‘Ishmah bin Mutawakkil, dia adalah rawi yang lemah”.
Kesimpulannya, kisah ini adalah lemah.

BAB FITNAH
Perselisihan Umat Adalah Rahmat
اخْتِلاَفُ أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ
Perselisihan umatku adalah rahmat.
TIDAK ADA ASALNYA. Para pakar hadits berusaha mendapatkan sanadnya tetapi mereka tidak mendapatkannya, sehingga al-Hafizh as-Suyuthi berkata dalam al-Jami’ ash-Shaghir, “Barangkali dikeluarkan di sebagian kitab ulama yang belum sampai kepada kita!”
Menurutku ini sangat jauh sekali, karena konsekuensinya bahwa ada sebagian hadits Rasulullah n/ yang luput dari umat Islam. Ini tidak layak diyakini seorang muslim.”
Al-Munawi menukil dari as-Subki bahwa dia berkata: “Hadits ini tidak dikenal ahli hadits dan saya belum mendapatkannya baik dengan sanad shahih, dha’if, maupun maudhu’.”
Dan makna hadits ini disalahkan oleh para ulama. Berkata al-Allamah Ibnu Hazm dalam al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (5/64) setelah menjelaskan bahwasanya ini bukanlah hadits, “Dan ini adalah perkataan yang paling rusak. Sebab, jika perselisihan itu adalah rahmat, maka berarti persatuan adalah adzab. Ini tidak mungkin dikatakan seorang muslim. Karena tidak akan berkumpul antara persatuan dan perselisihan, rahmat dan adzab.”

Fanatik Golongan
يَكُوْنُ فِيْ أُمَّتِيْ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ مُحَمَّدُ بْنُ إِدْرِيْسَ أَضَرُّ عَلَى أُمَّتِيْ مِنْ إِبْلِيْسَ, وَيَكُوْنُ فِيْ أُمَّتِيْ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أَبُوْ حَنِيْفَةَ هُوَ سِرَاجُ أُمَّتِيْ

Akan datang pada umatku seorang yang bernama Muhammad bin Idris (Imam Syafi’i), dia lebih berbahaya bagi umatku daripada Iblis. Dan akan datang pada umatku seorang bernama Abu Hanifah, dia adalah pelita umatku.
MAUDHU’. Dibawakan Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at 1/457 dari jalur Ma’mun bin Ahmad as-Sulami: Menceritakan kami Abdullah al-Juwaibari: Menceritakan kami Abdullah bin Mi’dan dari Anas secara marfu’.
Ibnul Jauzi berkata: “Maudhu’, dipalsukan oleh Ma’mun dan al-Juwaibari”. Al-Hakim berkata: “Hadits-hadits seperti ini disaksikan oleh setiap orang yang diberi anugerah ilmu sebagai hadits yang dipalsukan kepada Nabi”.
Hadits ini juga bertentangan dengan ketegasan Al-Qur’an yang menyatakan bahwa pelita umat adalah Nabi Muhammad:
يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّآ أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا . وَدَاعِيًا إِلَى اللهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُّنِيرًا
Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi.(QS. Al-Ahzab: 45-46)
Jadi, hadits ini adalah dusta dan bathil. Para ulama menegaskan bahwa tidak ada yang shohih satu haditspun tentang pujian kepada Abu Hanifah dan Syafi’I maupun celaan kepada keduanya. Semua itu kedustaan yang dibuat-buat oleh para fanatisme golongan.
Al-Hakim berkata tentang hadits-hadits seperti ini: “Hadits-hadits seperti diketahui oleh orang yang dikarunia ilmu sedikit saja bahwa dia adalah palsu dan didustakan kepada rasulullah”. Ali al-Qori berkata: “Maudhu’ dengan kesepakatan ahli hadits”.
Hadits ini memiliki banyak jalur dari sahabat Nabi yang dibongkar kecacatannya oleh Syaikh Abdur Rahman bin Yahya al-Mu’allimi, lalu katanya: “Demikianlah kebiasaan para pendusta, mereka membuat beberapa sanad untuk satu hadits supaya orang-orang jahil tertipu, dan kebiasaan orang-orang fanatik golongan adalah bertaqarrub kepada Allah dengan pemalsuan hadits dan merekayasa sanad”.
Faedah: Perseteruan antara Syafi’iyyah dan Hanafiyyah adalah sesuatu yang sangat populer sejak dahulu. Ketahuilah wahai saudaraku bahwa fanatik madzhab adalah virus ganas yang dapat merusak akal dan menghancurkan bangunan! Cukuplah sebagai bukti, apa yang sering disebutkan oleh Yaqut al-Hamawi dalam kitabnya Mu’jam Buldan, dimana dia sering mengatakan: “Kota ini hancur disebabkan perseteruan antara Syafi’iyyah dan Hanafiyyah!!!”.

Perpecahan Umat
تَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى بِضْعٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً, كُلُّهَا فِيْ الْجَنَّةِ إِلاَّ فِرْقَةً وَاحِدَةً وَهِيَ الزَّنَادِقَةُ
Umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh kelompok lebih, semuanya di surga kecuali satu yaitu orang-orang zindiq.
MAUDHU’. Dikeluarkan oleh al-Uqaili dalam Adh-Dhu’afa 4/201, Ibnu Jauzi dalam Al-Maudhu’at 1/267 dari jalan Muadz bn Yasin az-Zayyat: Menceritakan kami al-Abrad bin al-Asyrasy dari Yahya bin Said dari Anas secara marfu’.
Ibnul Jauzi mengatakan: “Para ulama menyatakan: Hadits ini dipalsukan oleh al-Abrad dan dicuri oleh Yasin az-Zayyat sehingga membalik sanadnya dan mencampurnya, dicuri pula oleh Utsman bin Affan (bukan khalifah sahabat) padahal dia adalah matruk, demikian pula Hafsh dia adalah pendusta. Hadits yang shahih adalah berbunyi “Satu di surga yaitu al-Jama’ah”. Perkataan ini disetujui oleh as-Suyuthi , Ibnu Arraq , asy-Syaukani dan lain sebagainya .
Di samping sanad haditsnya yang hancur seperti di atas, matan (isi) haditsnya juga lebih hancur lagi ditinjau dari dua segi:
Pertama: Menyelisihi riwayat-riwayat yang shahih dan masyhur dengan lafazh: “Semuanya di neraka kecuali satu” sebagaimana ditegaskan oleh mayoritas ahli hadits.

Kedua: Menyelisihi ketegasan Al-Qur’an, dimana hadits ini menjelaskan bahwa perpecahan berbagai kelompok tersebut menjurus ke surga yang merupakan rahmat Allah, padahal kalau kita perhatikan ayat-ayat Al-Qur’an, niscaya kita akan mendapati bahwa rahmat Allah berada dalam persatuan seperti dalam frman-Nya:
وَلَوْ شَآءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلاَيَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ . إِلاَّمَن رَّحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لأَمْلأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya. (QS. Hud: 118-119) .

Taqlid Ulama
مَنْ قَلَّدَ عَالِمًا لَقِيَ اللهَ سَالِمًا
Barangsiapa yang taklid kepada seorang alim, maka dia akan berjumpa Allah dengan selamat.
TIDAK ADA ASALNYA. Syaikh Muhammad Rasyid Ridho pernah ditanya tentang hadits ini dalam Majalah Al-Manar 34/749, lalu beliau menjawab: “Itu bukan hadits”.
Hadits ini menganjurkan manusia agar taklid kepada ulama, padahal tidak ragu lagi bahwa taklid merupakan hal yang terlarang, bahkan para ulama sendiri, diantaranya adalah ulama empat madzhab, Abu Hanifah, Malik, Syafi’I dan Ahmad telah melarang keras dari taklid dan mengambil ucapan mereka tanpa dalil.

Cinta Dunia
حُبُّ الدُّنْيَا رَأْسُ كُلِّ خَطِيْئَةٍ
Cinta dunia sumber segala dosa.
MAUDHU. Diriwayatkan al-Baihaqi, lalu beliau berkata: “Tidak ada asalnya dari hadits Nabi”.as-Suyuthi berkata: “Para ulama menilai hadits ini maudhu'”.
Ibnu Taimiyyah berkata : “Ucapan ini populer dari Jundub bin Abdillah al-Bajali, adapun dari Nabi maka tidak ada sanad yang jelas”. Di tempat lain , beliau menambahkan: “Ucapan ini diceritakan dari Isa bin Maryam. Orang yang paling berlebihan dengan lafadz ini adalah para ahli filsafat dan yang sejalan dengan mereka dari kalangan Sufi…”.
Faedah: Al-Hafizh asy-Syaukani memiliki risalah khusus tentang hadits ini berjudul “Al-Abhats Al-Wadhiyyah fil Kalam Ala Hadits Hubbu Dunya Ra’su Kulli Khati’ah”, telah tercetak dengan tahqiq Muhammad Shubhi Hasan Hallaq, cet Darul Iman, Mesir.
Cukuplah bagi kita ayat-ayat dan hadits yang banyak sekali tentang hinanya dunia dan hendaknya kita waspada terhadap fitnahnya yang banyak melupakan manusia dari akheratnya!!

Cinta Itu Buta
حُبُّكَ الشَّيْءَ يُعْمِيْ وَيُصِمُّ
Cintamu terhadap sesuatu itu membuat buta dan tuli.
LEMAH. Diriwayatkan Abu Dawud 5130, Ahmad 5/194 dan lain-lain dari jalur Abu Bakar bin Abu Maryam dari Khalid bin Muhammad dari Bilal bin Abu Darda’ dari Abu Darda’ dari Nabi n\.
Sanad ini lemah, karena Abu Bakar adalah rusak hafalannya, ditambah lagi hadits ini diperselisihkan apakah marfu’ sampai kepada Nabi ataukah hanya sampai kepada sahabat saja.
Tetapi makna hadits ini adalah shahih. Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.

Para Penyesat Akhir Zaman
سَيَأْتِيْ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يَبْقَى مِنَ الْقُرْآنِ إِلاَّ رَسْمُهُ وَلاَ مِنَ الإِسْلاَمِ إِلاَّ اسْمُهُ يَقْسِمُوْنَ بِهِ وَهُمْ أَبْعَدُ النَّاسِ مِنْهُ, مَسَاجِدُهُمْ عَامِرَةٌ خَرَابٌ مِنَ الْهُدَى, فُقَهَاءُ ذَلِكَ الزَّمَانِ شَرُّ فُقَهَاءِ تَحْتَ ظِلِّ السَّمَاءِ, مِنْهُمْ خَرَجَتِ الْفِتْنَةُ وَإِلَيْهِمْ تَعُوْدُ
Akan datang pada manusia suatu zaman dimana tidak tersisa pada Al-Qur’an selain hanya tulisannya, dan Islam kecuali hanya namanya, mereka bersumpah dengannya padahal mereka adalah manusia yang paling jauh dari Islam, masjid-masjid mereka begitu mewah tetapi kosong dari petunjuk, para ulama zaman itu adalah sejelek-jelek ulama di bawah langit, dari merekalah keluar fitnah dan kepada merekalah fitnah kembali.
LEMAH SEKALI. Diriwayatkan ad-Dailami dalam Musnadnya 1/107 dari jalur Khalid bin Yazid al-Anshori dari Ibnu Abi Dzi’bin dari Nafi’ dari Ibnu Umar secara marfu’.
Sanad ini lemah sekali, sebab Khalid bin Yazid adalah pendusta sebagaimana dikatakan Abu Hatim dan Yahya bin Ma’in. Ibnu Hibban berkata 1/258: “Dia meriwayatkan hadits-hadits palsu dari orang-orang terpercaya”.
Hadits ini memiliki-memiliki jalur-jalur lainnya tetapi dia tetap rapuh karena sangat lemahnya, sekalipun makna sebagian atau kebanyakan isi hadits ini hampir bisa dirasakan oleh seorang muslim dalam realita sekarang. Hanya kepada Allah, kita memohon pertolongan.

BAB BID’AH

Bid’ah Hasanah
مَا رَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّءٌ
Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin maka itu menurut Allah baik, dan apa yang dianggap jelek oleh kaum muslimin jelek maka itu menurut Allah juga jelek.
MAUQUF. Hadits ini tidak ada asalnya secara marfu’ sampai kepada Nabi, tetapi hanya mauquf sampai pada sahabat Ibnu Mas’ud, sebagaimana dalam riwayat Ahmad 3600, ath-Thoyyalisi hal. 23 dan Ibnul A’rabi dalam Mu’jamnya 2/84 dengan sanad hasan.
Sungguh, termasuk keajaiban dunia, tatkala hadits ini dijadikan dalil oleh sebagian kalangan tentang adanya bid’ah hasanah dalam agama dengan alasan banyaknya orang yang melakukan. Namun perlu dicermati hal-hal berikut:
1. Hadits ini mauquf, sehingga tidak bisa dijadikan alasan untuk menentang dalil-dalil yang jelas menegaskan bahwa semua bid’ah adalah sesat sebagaimana telah shohih dari Nabi n\.
2. Anggaplah shohih, tetap tidak bisa menentang dalil-dalil di atas, karena:
Pertama: Maksud Ibnu Mas’ud dengan “kaum muslimin” adalah kesepakatan para sahabat. Hal ini diperkuat bahwa beliau berdalil dengannya dalam masalah kesepakatan para sahabat untuk memilikih Abu Bakar sebagai khalifah.
Kedua: Maksud “Muslimun” dalam ucapan beliau bukan setiap muslim walaupun dia tidak memiliki ilmu sama sekali, tetapi maksudnya adalah orang-orang yang memiliki ilmu diantara mereka dan tidak taklid buta dalam agama.
Kesimpulannya, hadits ini tidak bisa dijadikan pegangan oleh ahli bid’ah, apalagi kalau kita ingat bahwa sahabat Ibnu Mas’ud adalah seorang sahabat yang dikenal keras memerangi bid’ah, diantara ucapan beliau: “Ikutilah Nabi dan janganlah kalian berbuat bid’ah, karena kalian telah diberi kecukupan”.
Maka wajib bagi kalian wahai kaum muslimin untuk berpegang teguh dengan sunnah Nabi kalian, niscaya kalian akan bahagia.

Perayaan Maulid Nabi
مَنْ أَقَامَ مَوْلِدِيْ كُنْتُ شَفِيْعًا لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ, وَمَنْ أَنْفَقَ دِرْهَمًا فِيْ مَوْلِدِيْ فَكَأَنَّمَا أَنْفَقَ جَبَلاً مِنَ الذَّهَبِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ
Barangsiapa yang merayakan hari kelahiranku, maka aku akan menjadi pemberi syafa’atnya di hari kiamat. Dan barangsiapa yang menginfakkan satu dirham untuk maulidku maka seakan-akan dia telah menginfakkan satu gunung emas di jalan Allah.
Perkataan serupa juga dinisbatkan kepada Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali bin Abi Thalib, sebagaimana dalam kitab Madarij as-Shu’udh hlm. 15 karya Syaikh Nawawi Banten .
TIDAK ADA ASALNYA. Sejak awal mendengar ucapan yang dianggap hadits ini, hati penulis langsung mengingkarinya karena bagaimana mungkin hadits ini shahih, sedangkan maulid tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah n/ dan para sahabatnya ?!!.
Tetapi penulis ingin memperkuat pendapatnya dengan perkataan ulama, maka penulis pun membolak-balik kitab-kitab hadits tetapi tidak menjumpainya satu huruf pun, baik dalam kitab-kitab hadits yang shahih, dhaif, maupun maudhu’ (palsu). Alhamdulillah, penulis tanyakan kepada Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salman lalu beliau menjawab:
هَذَا كَذِبٌ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ اخْتَلَقَهُ الْمُبْتَدِعَةُ
Ini merupakan kedustaan kepada Rasulullah yang hanya dibuat-buat oleh para ahlu bid’ah.
Kepada para saudara kami yang berhujjah dengan hadits ini, kami katakan: “Dengan tidak mengurangi penghormatan kami, datangkan kepada kami sanad hadits ini agar kami mengetahuinya!!
Singkat kata, hadits tersebut di atas adalah dusta, tidak berekor dan berkepala (yakni: tanpa sanad). Aneh dan lucunya, setelah itu ada seorang yang melariskan hadits ini berkata: “Walaupun hadits ini lemah, tetapi bisa dipakai dalam fadhoilul A’mal”!!! Hanya kepada Allah kita mengadu dari kejahilan manusia di akhir zaman!

Perayaan Nishfu Sya’ban
عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ a قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُوْمُوْا لَيْلَهَا وَ صُوْمُوْا نَهَارَهَا فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى يَنْزِلُ فِيْهَا لِغُرُوْبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُوْلُ: أَلاَ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ لِيْ فَأَغْفِرَ لَهُ ! أَلاَ مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ ! أَلاَ مُبْتَلَى فَأُعَافِيَهُ ! أَلاَ كَذَا… أَلاَ كَذَا… حَتَّى يَطْلُعَ الفَجْرُ
Dari Ali bin Abu Thalib a/ bahwasanya Rasulullah bersabda, “Apabila tiba malam nishfu Sya’ban, shalatlah pada malam harinya, dan puasalah di siang harinya, karena Alloh turun ke langit dunia di saat tenggelamnya matahari, lalu berfirman, ‘Adakah yang meminta ampun kepada-Ku, Aku akan mengampuninya. Adakah yang meminta rizki kepada-Ku, Aku akan memberinya rizki. Adakah yang sakit, Aku akan menyembuhkannya. Adakah yang demikian…. Adakah yang demikian…. Sampai terbit fajar.’”
MAUDHU’. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 1388, Ibnul Jauzi dalam al-‘Ilal 2/561, dan al-Baihaqi dalam Fadha’ilul Auqat 24 dan Syu’abul Iman no. 3822 dari jalur Ibnu Abi Sabroh dari Ibrahim bin Muhammad dari Mu’awiyah bin Abdullah bin Ja’far dari ayahya dari Ali bin Abi Thalib dari Nabi.
Sanad hadits disepakati kelemahannya, bahkan menurutku derajatnya adalah maudhu’, sebab Abu Bakr bin Muhammad bin Abi Sabrah adalah seorang yang memalsukan hadits sebagaimana dikatakan Ibnu Ma’in dan Ahmad bin Hanbal.
Ibnu Rajab berkata: “Sanadnya dha’if .” Demikian juga diisyaratkan oleh al-Mundziri dalam At-Targhib 2/81.

Yasinan malam jum’at

مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ يس فِيْ لَيْلَةِ الْجُمُعَةِ غُفِرَ لَهُ
Barangsiapa membaca surat Yasin pada malam jum’at, maka dia akan diampuni.
LEMAH SEKALI. Dikeluarkan al-Ashfahani dalam At-Targhib wa Tarhib hal. 244 dari jalur Zaid bin Huraisy dari Aghlab bin Tamim dari Ayyub dan Yunus dari Hasan dari Abu Hurairah.
Sanad ini lemah sekali. Kecacatannya pada Aghlab bin Tamim. Ibnu Hibban berkata: “Munkar haditsnya, dia meriwayatkan dari orang-orang terpercaya hadits-hadits yang bukan dari mereka, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah kerena banyaknya kesalahan dia”.
Barangkali hadits ini adalah pedoman sebagian kaum muslimin yang mengadakan acara Yasinan setiap malam jum’at, padahal cara seperti tidak pernah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya. Seandainya itu baik, tentu akan dianjurkan oleh Nabi dan para sahabatnya! Namun, jangan ada anggapan bahwa ini pelecehan kepada salah satu surat Al-Qur’an, sekali lagi jangan! Karena itu adalah tuduhan yang tidak pantas keluar dari seorang muslim kepada saudaranya yang bukan mengingkari surat Al-Qur’an tetapi yang dia ingkari adalah tata acara ibadah yang tidak ada tuntunannya tersebut!!.

BAB AKHLAK DAN ADAB

Peduli Umat
مَنْ لاَ يَهْتَمُّ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِيْنَ فَلَيْسَ مِنْهُمْ
Barangsiapa yang tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, maka dia bukan dari mereka.
LEMAH. Dikeluarkan ath-Thobarani dalam ash-Shaghir hal. 188 dan Abu Nuaim dalam Akhbar Ashfahan 2/252 dari jalur Abdullah bin Ja’far ar-Razi dari ayahya dari Rabi’ dari Abul Aliyah dari Hudhaifah bin Yaman secara marfu’.
Sanad ini lemah, karena Abdullah bin Ja’far dan ayahnya adalah lemah.
Hadits ini dijadikan dalil oleh sebagian saudara kita untuk mencela para salafiyyin dan menuduh mereka tidak peduli dengan urusan umat, mereka hanya sibuk dengan tumpukan kitab saja dan menghukumi ini tauhid, ini syirik, ini sunnah, itu bid’ah dan seterusnya!!
Hendaknya diingatkan terlebih dahulu bahwa hadits ini lemah, kemudian tuduhan tersebut apabila diarahkan kepada salafiyyin maka itu adalah tuduhan dusta, sebab mereka -terutama para ulamanya- berusaha memperhatikan keadaan umat, salah satunya adalah dengan menyebarkan ilmu yang sangat dibutuhkan umat dewasa ini.
Maka hendaknya kita tolong menolong, saling melengkapi, saling menasehati dan memperbaiki, bukan saling mencakar antara satu dengan lainnya.
Kita berdoa kepada Allah agar mengembalikan kejayaan Islam sebagaimana telah diraih oleh generasi awal. Amin.

Diam Itu Hikmah
الصَّمْتُ حِكَمٌ وَقَلِيْلٌ فَاعِلُهُ
Diam itu hikmah, tetapi sedikit sekali pelakunya.
LEMAH. Diriwayatkan al-Qudho’I hal. 240 dari Zakariya bin Yahya: Menceritakan kami al-Ashma’I: Menceritakan kami Ali bin Mas’adah dari Qotadah dari Anas bin Malik secara marfu’.
Sanad ini lemah. Ali bin Mas’adah diperselisihkan. Dalam at-Taqrib, al-Hafizh Ibnu Hajar berkata tentangnya: “Shaduq dan memiliki beberapa kesalahan”.
Yang benar, ini adalah ucapan Luqman al-Hakim sebagaimana diriwayatkan Ibnu Hibban dalam Raudhoh Uqola’ hal. 43 dari jalur Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas bahwa Luqman mengatakan…
Al-Baihaqi berkata: “Inilah yang shohih dari Anas, bahwa Luqman berkata…” Dan disetujui oleh al-Iraqi . Walhamdulillah.

Diam itu Emas
إِنْ كَانَ الْكَلاَمُ مِنْ فِضَّةٍ, فَالصَّمْتُ مِنْ ذَهَبٍ
Kalau bicara itu itu dari perak, maka diam itu dari emas.
TIDAK ADA ASALNYA. Ini bukan hadits, tetapi ucapan Sulaiman bin Dawud atau Luqman kepada anaknya. Al-Khoththobi berkata: “Ini dibawa kalau ucapan tersebut tidak ada faedahnya, sebab bicara dalam sebagian tempat dan keadaan terkadang bisa hukumnya wajib atau sunnah”.
Cukuplah bagi kita hadits shahih yang masyhur sebagai berikut:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya berucap ucapan yang baik atau diam. (HR. Bukhari 6019 Muslim 48)
Hadits ini menunjukkan bahwa ucapan yang baik itu lebih baik daripada diam, karena yang pertama manfaatnya kepada orang lain, dan yang kedua untuk diri sendiri.

Surga di bawah telapak kaki Ibu
الْجَنَّةُ تَحْتَ أَقْدَامِ الأُمَّهَاتِ
Surga di bawah telapak kaki ibu.
MAUDHU’. Diriwayatkan Ibnu Adi (1/325) dan al-Uqaili dalam adh-Dhu’afa dari Musa bin Muhammad bin Atha’, menceritakan kepada kami Abdul Malik, menceritakan kepada kami Maimun dari Ibnu Abbas secara marfu’.
Sanad ini adalah maudhu’, sebab Musa bin Atho adalah seorang pendusta. Al-Uqaili berkata “Hadits ini munkar”.
Sebagai ganti hadits ini adalah hadits Mu’awiyah bin Jahimah, bahwasanya beliau datang kepada Rasulullah n/ seraya berkata:
يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوْ وَقَدْ جِئْتُ أَسْتَشِيْرُكَ. فَقَالَ: هَلْ لَكَ أُمٌّ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَالزمها فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا
Wahai Rasulullah, aku hendak berperang, kini aku datang untuk meminta pendapat engkau. Rasulullah menjawab, “Apakah engkau mempunyai ibu?” Jawabnya, “Ya.” Lalu Rasulullah bersabda, “Berbuat baiklah kepadanya. Sesungguhnya surga itu berada di bawah kedua kakinya.”
Diriwayatkan Nasa’i (2/54) dan ath-Thobarani (2/225), dan sanadnya hasan –insya’ Alloh–. Al-Hakim menshahihkannya (4/151) dan disetujui oleh adz-Dzahabi dan al-Mundziri (3/214).
Faedah: Maksud “Surga di telapak kaki ibu” adalah bahwa tawadhu’/rendah diri kepada seorang ibu merupakan sebab masuknya seorang ke surga.

Melawan Hawa Nafsu
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ
Tidak sempurna iman salah seorang diantara kalian sehingga hawa nafsunya mengikuti apa yang saya bawa.
LEMAH. Diriwayatkan Hasan bin Sufyan dalam al-Arbain, as-Silafi dalam al-Arbain al-Buldaniyyah dan Mu’jam Safar, al-Harawi dalam Dzammul Kalam dan lain sebagainya.
Sanad hadits ini lemah, seluruh rawinya terpercaya kecuali Nu’aim bin Hammad, dia lemah karena banyak salahnya. Ibnu Asakir berkata: “Hadits ini ghorib” yakni lemah. Al-Hafizh Ibnu Rojab juga menyebutkan bahwa hadits ini memiliki kecacatan-kecacatan lainnya.

LAIN-LAIN

Jihad Besar
رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ الأَصْغَرِ إِلىَ الْجِهَادِ الأَكْبَرِ
Kita kembali dari jihad kecil menuju jihad yang besar.
MUNKAR. Hadits ini sangat populer sekali dan sering disampaikan oleh para dai, padahal tidak shahih.
Al-Hafizh al-Iraqi berkata: “Sanadnya lemah.” Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini diriwayatkan dari jalan Isa bin Ibrahim dari Yahya dari Laits bin Abu Sulaim, padahal seluruhnya adalah orang-orang yang lemah.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini sangat masyhur dan banyak beredar, padahal itu hanyalah perkataan Ibrahim bin Abu Ablah (seorang tabi’in dari Syam) yang diriwayatkan oleh Nasa’I dalam al-Kunna.’”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Hadits ini tidak ada asalnya, tidak ada seorang ahli haditspun yang meriwayatkannya, jihad melawan orang kafir merupakan amalan ketaatan yang paling utama.”
Matan hadits ini juga perlu ditinjau ulang, karena bagaimana jihad melawan orang kafir yang merupakan amalan yang sangat utama dalam Islam disebut sebagai jihad kecil, padahal betapa banyak ayat dan hadits yang menganjurkannya?!!

Cinta Tanah Air
حُبُّ الْوَطَنِ مِنَ الإِيْمَانِ
Cinta tanah air termasuk iman.
MAUDHU’. Sebagaimana dikatakan ash-Shagha’i (hal. 7) dan selainnya . Dan maknanya tidak benar. Sebab cinta negeri sama halnya cinta jiwa dan harta; seseorang tidak terpuji dengan sebab mencintainya lantaran itu sudah tabiat manusia. Bukankah anda melihat bahwa seluruh manusia berperan serta dalam kecintaan ini, baik dia kafir maupun mukmin?!
Allah berfirman:
وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ أَوِاخْرُجُوا مِن دِيَارِكُم مَّافَعَلُوهُ إِلاَّ قَلِيلُُ مِّنْهُمْ
Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka:”Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu”, niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. (QS. An-Nisa’: 66)
Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang kafir juga mencintai tanah air mereka. Musuh-musuh Islam telah menjadikan hadits palsu ini untuk menghilangkan syiar agama dalam masyarakat dan menggantinya dengan syiar kenegaraan, padahal aqidah seorang mukmin lebih berharga baginya dari segala apapun”.

Faedah:
1. Syaikh Muhammad al-Utsaimin berkata: “Seorang yang perang hanya untuk membela negeri saja maka dia bukanlah syahid, namun kewajiban kita sebagai muslim dan tinggal di negeri islam adalah untuk perang karena Islam yang ada di negeri kita. Perhatikanlah baik-baik perbedaan ini, kita berperang karena Islam yang ada di negeri kita, adapun sekadar karena negeri saja maka ini adalah niat bathil yang tidak berfaedah bagi seorang. Adapun ungkapan yang dianggap hadits “Cinta negeri termasuk keimanan” maka ini adalah dusta”.
2. Al-Hafizh asy-Syaukani berkata menjelaskan sebab menyebarnya hadits palsu ini: “Para ahli sejarah telah meremehkan dalam mengutarakan hadits-hadits bathil seputar keutamaan negeri, lebih-lebih negeri mereka sendiri, mereka sangat meremehkan sekali, sampai-sampai menyebutkan hadits palsu dan tidak memperingatkannya, sebagaimana dilakukan oleh Ibnu Dabi’ dalam Tarikhnya yang berjudul “Qurrotul Uyun bi Akhbaril Yaman Al-Maimun” dan kitab lainnya yang berjudul “Bughyatul Mustafid bi Akhbar Madinah Zabid” padahal beliau termasuk ahli hadits.
Maka hendaknya seorang mewaspadai dari keyakinan ini atau meriwayatkannya, karena kedustaan dalam masalah ini sudah menyebar dan melampui batas. Semua itu sebabnya adalah fithrah manusia untuk cintah tanah air dan kampung halamannya”.

Amal Dunia dan Akherat
اعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأَنَّكَ تَعِيْشُ أَبَدًا وَاعْمَلْ لِأَخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غُدًا
Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau mati besok.
TIDAK ADA ASALNYA secara marfu’, sekalipun masyhur di zaman sekarang ini. Benar, diriwayatkan Baihaqi dalam Sunannya (3/19) dari jalan Abu Shalih, menceritakan kepada kami Laits dari Ibnu Ajlan dari budak Umar bin Abdul Aziz dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash dari Rasulullah n/ bahwa beliau bersabda:
… فَاعْمَلْ عَمَلَ امْرِىءٍ يَظُنُّ أَنْ لَنْ يَمُوْتَ أَبَدًا وَاحْذَرْ حَذَرَ ]امْرِىءٍ[ يَخْشَى أَنْ يَمُوْتَ غَدًا
Bekerjalah sebagaimana seseorang yang menyangka tidak akan mati selamanya. Dan berhati-hatilah sebagaimana orang yang akan mati esok.
Tetapi sanad hadits ini lemah karena dua cacat; tidak dikenalnya budak Umar bin Abdul Aziz dan lemahnya Abu Shalih yaitu Abdullah bin Shalih, sekretarisnya Laits.
Matan potongan awal hadits inipun tidak benar, karena menganjurkan kepada manusia untuk mengejar dunia seakan-akan hidup selama-lamanya, yang benar kita mencari dunia sekedar kebutuhan saja . Alangkah bagusnya ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Hendaknya harta bagi seorang hamba seakan seperti tempat buang hajat yang tidak ada ketergantungan dalam hatinya”.

Sahabat Nabi Bagaikan Bintang
أَصْحَابِيْ كَالنُّجُوْمِ، بِأَيِّهِمِ اقْتَدَيْتُمُ اهْتَدَيْتُمْ
Para sahabatku itu seperti bintang-bintang. Dengan siapa saja di antara mereka kalian mengikuti, niscaya kalian mendapatkan hidayah.
MAUDHU’. Diriwayatkan Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi (2/291), Ibnu Hazm dalam al-Ihkam (6/82) dari jalan Sallam bin Sulaim, dia berkata: “Menceritakan kepada kami Harits bin Ghusain dari A’masy dari Abu Sufyan dari Jabir secara marfu’.
Ibnu Abdil Barr berkata, “Sanad hadits ini tidak dapat dijadikan hujah karena Harits bin Ghusain adalah seorang yang majhul (tidak dikenal).” Ibnu Hazm berkata, “Riwayat ini jatuh, karena Abu Sufyan adalah lemah. Harits bin Ghusain ini adalah Abu Lahab Ats-Tsaqafi. Adapun Sallam bin Sulaiman, dia meriwayatkan hadits-hadits maudhu’ (dusta). Di antara hadits-hadits tersebut adalah hadits ini, dengan tidak ragu lagi.”
Membawa kecacatan hadits ini pada Sallam bin Sulaim atau Sulaiman itu lebih benar, sebab dia adalah seorang yang lemah secara sepakat. Bahkan Ibnu Khirras berkata: ‘Pendusta.’ Dan Ibnu Hibban berkata, ‘Dia telah meriwayatkan hadist-hadits palsu.’
Imam Ahmad mengatakan ‘Hadits ini tidak shahih’. Hadits ini juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Umar bin Khaththab dan anaknya –Abdullah bin Umar– tetapi seluruhnya maudhu’.”

Kefakiran Penyebab Kekufuran
كَادَ الْفَقْرُ أَنْ يَكُوْنَ كُفْرًا وَ كَادَ الْحَسَدُ أَنْ يَسْبِقَ الْقَدَرَ
Hampir-hampir saja kefakiran akan menjadi kekufuran dan hampir saja hasad mendahului takdir.
DHO’IF. Berkata As-Sakhowi dalam “Al-Maqosidul Hasanah”: “Diriwayatkan Ahmad bin Mani’ dari Hasan atau Anas secara marfu’. Dan diriwayatkan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (3/53,109 dan 8/253) Ibnu Sakan dalam Mushonnaf-nya, Baihaqi dalam Syu’abul Iman (2/486/1) dan Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil dari Hasan tanpa ada keraguan”.
Berkata Al-‘Iroqy (3/163): “Diriwayatkan Abu Muslim Al-Kisyi dan Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari riwayat Yazid Ar-Roqosy dari Anas. Sedangkan Yazid ini, seorang rowi yang lemah”.
Dan diriwayatkan pula oleh Ad-Dulaby dalam “Al-Kuna” (2/131) dari jalan Yazid bin Roqqosy juga. Demikian pula al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (2/286/1) dan Al-Qodho’i (380).
Berkata Al-Haitsami dalam “Mazma’ Zawaid” (8/78): “Diriwayatkan Thobroni dalam Al-Ausath dari Anas. Dalam sanadnya, terdapat ‘Amr bin Utsman Al-Kalbi, dia dianggap terpercaya oleh Ibnu Hibban padahal dia adalah matruk”.

Lihatlah Ucapan, Jangan Orangnya
لاَ تَنْظُرْ إِلَى مَنْ قَالَ وَانْظُرْ إِلَى مَا قَالَ
Jangan kamu lihat siapa yang mengatakan, tetapi lihatlah apa yang dia katakan.
MAUQUF. Ucapan ini bukan hadits Nabi n\, tetapi ucapan Ali bin Abi Thalib sebagaimana diriwayatkan oleh As-Sam’ani dalam Tarikhnya.
Makna ucapan ini benar, hendaknya kita menerima kebenaran dari siapapun juga, sekalipun dari musuh kita sendiri. Ibnu Qayyim berkata: “Selanjutnya kepada para pembaca kitab ini, apabila mendapati kebenaran di dalamnya maka terimalah dengan senang hati tanpa melirik siapa yang mengucapkannya, perhatikan apa yang dia ucapkan, bukan orangnya.
telah mencela orang yang menolak kebenaran hanyaSesunggguhnya Allah karena datang dari orang yang dibencinya dan mau menerima kebenaran kalau datang dari orang yang dicintainya karena itu adalah perangai ummat yang tercela.
Sebagian Sahabat pernah mengatakan: “Terimalah kebenaran walaupun datangnya dari orang yang kamu benci dan tolaklah kebatilan sekalipun datang-nya dari orang kamu cintai.” Sebagaimana apabila kamu mendapati kesalahan di dalamnya, maka sesungguhnya penulis telah berusaha sekuat tenaga, karena hanya Allah-lah yang sempurna.”

Pahala Anak Kecil Untuk Orang Tuanya
إِنَّ حَسَنَاتِ الصَّبِيِّ لِوَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا
Pahala ibadah anak kecil itu untuk kedua orang tuanya atau salah satunya.
MAUDHU. Ibnu Muflih dalam al-Furu’ 1/291 menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan selainnya dengan sanad yang lemah dari Anas secara marfu. Dan disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at. Tetapi kami belum mendapatkannya dalam Musnad Ahmad maupun al-Maudhu’at!! Wallahu A’lam.
Faedah: As-Sakhawi berkata: “Anak kecil diberi pahala atas amal shalih mereka sebagaimana pendapat mayoritas ulama. An-Nawawi menceritakan dalam Syarh Muslim dari Malik, Syafi’i, Ahmad dan mayoritas ulama.
Hal ini diperkuat dengan hadits bahwa ada seorang wanita yang mengangkat anak kecilnya kepada Nabi seraya mengatakan: “Apakah anak ini mendapat pahala haji?” Nabi n\ bersabda: “Ya, dan untukmu juga pahala”. (Muslim 1336) Yakni, anak tersebut mendapat pahal haji tetapi itu hanya sunnah baginya, sehingga dia belum gugur kewajiban haji apabila telah dewasa.
Adapun dosa anak kecil, maka tidak dicatat, berdasarkan hadits:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ
“Diangkat pena dari tiga golongan, orang gila sehingga sadar, orang tidur hingga bangun, dan anak kecil hingga baligh”.
Kesimpulannya, anak kecil dicatat amal kebajikannya tetapi tidak dicatat amal jeleknya”.

Abdur Rahman bin Auf Merangkak
قَدْ رَأَيْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ حَبْوًا
Saya Melihat Abdur Rahman bin Auf Masuk Surga Dengan Merangkak.
MAUDHU’. Diriwayatkan Imam Ahmad 6/115. Dan dalam sanadnya terdapat Umarah, dia meriwayatkan hadits-hadits yang munkar.
Imam Ahmad berkata: “Hadits ini dusta”. Nasa’i berkata: “Hadits ini maudhu’.
Al-Mundziri berkata: “Hadits ini datang dari beberapa sahabat bahwa Abdur Rahman bin Auf masuk surga dengan merangkak karena hartanya yang banyak, tetapi tidak ada yang luput dari pembicaraan dan keseluruhannya tidak bisa terangkat kepada derajat hasan”.
Al-Haitsami berkata: “Diriwayatkan Ahmad, al-Bazzar dan ath-Thobarani dan dalam sanadnya terdapat Umarah bin Zadhan, dia dilemahkan Nasa’i dan ad-Daraquthni. Abdur Rahman bin Auf ikut perang Badar dan Hudaibiyyah dan Rasulullah n\ memberikan kesaksian padanya masuk surga dan beliau pernah sholat di belakang Abdur Rahman bin Auf”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tegas mengatakan: “Adapun apa yang diriwayatkan bahwa Abdur Rahman bin Auf masuk surga dengan merangkak, maka ini adalah maudhu’, tidak ada asalnya”.
Faedah: Imam Ibnul Jauzi berkata: “Hadits bathil ini dijadikan pegangan oleh orang-orang jahil sufi bahwa harta adalah pencegah dari kebajikan seraya mengatakan: “Kalau Abdur Rahman bin Auf saja masuk surga dengan merangkak karena hartanya, maka cukuplah hal itu sebagai celaan bagi harta”.
Hadits ini tidak shahih, dan sangat jauh sekali kalau Abdur Rahman yang dijamin masuk surga terhambat dari kebaikan karena hartanya, karena mengumpulkan harta adalah boleh, namun yang tercela adalah mendapatkannya dengan cara yang salah atau tidak menunaikan kewajiban harta, dan Abdur Rahman tidak mungkin dari kedua perangai tersebut. Betapa banyak tukang cerita berdalil dengan hadits seperti ini untuk menganjurkan kemiskinan dan mencela kekayaan. Aduhai, manakah para ulama yang mengetahui dan memahami dengan pemahaman yang benar?!”.

Doa Tahun Baru
TIDAK ADA ASALNYA. Syaikh Muhammad Jamaluddin al-Qashimi berkata: “Orang-orang awam di berbagai masjid biasa mengikuti para imam shalatnya dalam membaca doa awal dan akhir tahun selama dua malam padahal doa ini adalah doa yang diada-adakan, tidak dinukil dari Nabi n\ dan seorangpun dari kalangan para sahabat dan para tabi’in. Tidak juga diriwayatkan dalam kitab-kitab musnad maupun kitab-kitab maudhu’. Doa ini hanyalah dibuat-buat oleh orang-orang yang sok pintar dan berlagak zuhud”.

Tidur Setelah Ashar
مَنْ نَامَ بَعْدَ الْعَصْرِ فَاخْتُلِسَ عَقْلُهُ فَلاَ يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ
Barangsiapa tidur setelah ashar, lalu hilang akalnya maka janganlah dia mencela kecuali dirinya sendiri.
LEMAH. Dikeluarkan Ibnu Hibban dalam adh-Dhu’afa wal Majruhin 1/283 dari jalur Khalid bin Qasim dari Laits bin Sa’ad dari Aqil dari Zuhri dari Urwah dari Aisyah secara marfu.
Hadits ini dibawakan oleh Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at 3/69 lalu berkata: “Hadits ini tidak shohih, Khalid adalah pendusta, hadits ini dari Ibnu Lahi’ah kemudian diambil oleh Khalid dan dia menisbatkan kepada Laits”.
Dan dikeluarkan Ibnu Adi dalam al-Kamil 1/211 dan as-Suhami dalam Tarikh Jurjan 53dari Aqil dari Makhul secara mursal . Keduanya mengeluarkan dari Marwan, dia berkata kepada Laits bin Sa’ad yang ernah tidur setelah ashar bulan Ramadhan: “Wahai Abul Harits, kenapa engkau tidur setelah ashar padahal Ibnu Lahi’ah menceritakan kepada kami…(menyebutkan hadits)?! Laits menjawab: Saya tidak meninggalkan hal yang bermanfaat bagiku karena hadits Ibnu Lahi’ah dari Aqil!
Sungguh menakjubkanku jawaban Laits ini! karena hal itu menunjukkan kedalaman ilmu dan pemahaman. Hal itu tak aneh, karena memang beliau adalah salah satu imam kaum muslimin dan salah satu fuqoha’ yang terkenal. Saya tahu banyak di kalangan orang pada zaman ini tidak mau tidur setelah ashar padahal mereka membutuhkannya, ketika dikatakan pada mereka: “Haditsnya lemah”, dia akan menjawab langsung: “Hadits lemah bisa diamalkan dalam fadhail amal!!”. Maka perhatikanlah perbedaan antara fiqih salaf dengan fiqih kholaf!

Dunia adalah Taman
الدُّنْيَا مَزْرَعَةُ الأَخِرَةِ
Dunia adalah ladang untuk akherat.
TAK ADA ASALNYA. Imam As-Sakhawi mengatakan: “Saya belum mendapatinya sekalipun Al-Ghozali mencantumkannya dalam Ihya’ (Ulumuddin)”. Ucapan ini dinukil dan disetujui oleh Al-‘Ajluni dan Syaikh Mar’iy Al-Karmi .
Al-Qari berkata: “Maknanya shahih, diambil dari firman Allah:
مَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ اْلأَخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ
Barangsiapa yang menghendaki menanam (keuntungan) di akhirat, maka akan Kami tambah baginya dalam tanamannya. (QS. Asy-Syura: 20).

Buah Kesungguhan
مَنْ جَدَّ وَجَدَ
Barangsiapa bersungguh-sungguh, niscaya dia akan mendapatkan.
TIDAK ADA ASALNYA. Ucapan ini bukanlah hadits, tetapi kata mutiara dalam bahasa Arab.

Wanita Tiang Negara
الْمَرْأَةُ عِمَادُ الْبِلاَدِ إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَتِ الْبِلاَدُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَتِ الْبِلاَدُ
Wanita adalah tiang suatu negara, apabila wanitanya baik maka negara akan baik dan apabila wanita rusak maka negarakapun akan rusak.
TIDAK ADA ASALNYA. Hadits yang cukup kondang ini sering disampaikan oleh para penceramah tatkala mengulas tentang peran penting wanita dalam kehidupan negara, apalagi pada hari Ibu. Sejauh pelacakan penulis terhadap kitab-kitab hadits sampai detik ini, tak secuilpun didapati bahwa ucapan tersebut termasuk hadits. Dalam kata lain, ungkapan ini adalah hadits yang tidak diketahui asal-usulnya.
Kesimpulan kami itu sesuai dengan apa yang penulis baca dalam buku “Hadits-Hadits Bermasalah” hal. 69 oleh Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA tatkala menceritakan bahwa dirinya telah mencari hadits tersebut lebih dari lima tahun, tetapi tak juga menemukannya. Demikian juga Al-Ustadz KH. Muchtar Nasir, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta yang justru sudah lebih dari sepuluh tahun mencari hadits itu, tapi juga belum menemukannya. Ketika salah seorang propagandis hadits ini ditanya tentang sumber riwayat dan kualitasnya, dia hanya menjawab dengan ringan: “Saya mendengar para kiai menyampaikan hadits itu. Akhirnya saya ikut menyampaikannya!!!”.
Ustadzuna Abu Unaisah Abdul Hakim bin Amir Abdat -semoga Allah memanjangkan umurnya- juga berkata: “Hadits ini sama sekali tidak ada asal-usulnya walaupun sangat masyhur disandarkan atas nama Nabi yang mulia”.
Menurut dugaan penulis, ungkapan yang populer diklaim sebagai hadits itu bukanlah hadits, tetapi sekedar kata mutiara seorang , kemudian karena kejahilan manusia sehingga dianggap sebagai hadits!!!

PENUTUP

Demikianlah beberapa contoh hadits lemah dan palsu yang banyak beredar di buku-buku kurikulum, ceramah-ceramah para muballigh, dan majalah-majalah yang miskin ilmu hadits. Maka janganlah sekali-kali anda tertipu dengan banyaknya orang yang menyampaikan, baik dari kalangan da’i, muballigh, penceramah, maupun khatib Jum’at. Janganlah kita menyandarkan hadits-hadits tersebut kepada Rasulullah n/, walau satu saja. Sebab berdusta atas nama beliau merupakan dosa besar.
Dan apabila engkau menjumpai seorang yang menyebarkannya, maka janganlah engkau pelit untuk menasehatinya dengan lemah lembut, sebagai bukti pembelaanmu terhadap Nabi Muhammad n\. Pernah ada seorang berkata kepada Yahya bin Ma’in: Apakah engkau tidak khawatir bila orang-orang yang engkau kritik tersebut kelak menjadi musuhmu di hari kiamat? Beliau menjawab: “Bila mereka yang menjadi musuhku jauh lebih kusenangi daripada Nabi n yang menjadi musuhku, tatkala beliau bertanya padaku: Mengapa kamu tidak membela sunnahku dari kedustaan?!!!
Buku ini masih membuka pintu lebar-lebar kepada saudara pembaca untuk saling tolong menolong bersama penulisnya untuk memberikan saran dan masukan tentang hadits-hadits yang populer di masyarakat dan belum tercantum dalam buku ini untuk dikaji dan disebarkan hasilnya.
Kita berdoa kepada Allah agar menjadikan kita semua para pembela sunnah Nabi n/ dari kedustaan dan mengumpulkan kita semua bersama para Nabi dan orang-orang yang mengikutinya kelak di surgaNya. Amiin.

Kategori:halaman
  1. Belum ada komentar.
  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar