Beranda > halaman > Hadits Al Arba’in

Hadits Al Arba’in


Hadits ke 1

غن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : ( إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى ، فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله ، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه ).رواه البخاري ومسلم .

Artinya : Dari Amirul Mu’minin, Abu Hafsh, ‘Umar ibn al-Khattab, Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda : “Sesungguh semua amal itu tergantung pada niat melakukannya. Seseorang hanya akan mendapat sesuai apa yang ia niatkan. Siapa yang berhijrah karena Allah dan RasulNya, maka hijrahnya untuk Allah dan RasulNya. Siapa yang berhijrah karena mencari dunia, atau perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang ia niatkan.” Dilaporkan oleh Imam al-Bukhory dan Muslim dalam dua kitab shahihnya.

Latar belakang Munculnya Hadits ini: Kata Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, barangsiapa yang berhijrah (meninggalkan suatu negeri dan pindah ke negeri lain) menginginkan sesuatu, maka ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan itu. Ada seorang lelaki hijrah (dari Makkah ke Madinah) dalam rangka mau menikahi seorang perempuan bernama “ummu Qays”, lalu iapun diberi gelar “Muhajir Ummu Qays”.Kata Imam Thabrany, orang tersebut melamar ummu Qays, tapi ummu Qays menolak, kecuali orang itu mau ikut bersama hijrah ke Madinah.

Lelaki itupun bersedia, oleh karenanya ia diberi julukan di atas. Komentar Ulama tentang Hadits ini: Muhammad Tatay penulis kitab “Iidhah al-Ma’ani al-Khafiyyah fil Arba’in an-Nawawiyah” mengutip ungkapan Imam Syafi’i yang mengatakan, bahwa Hadits ini masuk dalam tujuh puluh bab fiqh.. Sebagian Ulama mengatakan: Hadits ini mewakili sepertiga Islam. Banyak Ulama yang mengawali kitab mereka dengan menyebutkan hadits ini, termasuk Imam al-Bukhory di awal kitab Shahihnya. Penjelasan: Sungguh. Hadits ini mengandung pelajaran yang teramat penting.

Karena semua amal manusia, diterima ataui tidaknya, tergantung pada niat ikhlas karena Allah Ta’ala. FIrman Allah : “Dan mereka tidak diperintah melainkan menyembah Allah dengan memurnikan kethaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (Surat al-Bayyinah :5). Begitu banyak amal yang dikerjakan orang tidak atas dasar keikhlasan kepada Allah, akhirnya amal mereka sia-sia. Contoh riil, banyak kita saksikan, ketika menjelang pemilu (pemilihan umum) atau pilkada (pemilihan kepala daerah).

Para calon yang akan dipilih datang minta dukungan dari masyarakatnya, menabur bantuan social, dari mulai sembako (bahan makanan) hingga uang, kepada fakir miskin dengan tujuan untuk memperoleh suara dalam pemilu dan pilkada. Bantuan seperti ini, baik material ataupun tenaga, tidak dimaksudkan untuk mencari ridho Allah, akan tetapi untuk mendapatkan suara pemilih, maka bantuan itu tidak akan dinilai oleh Allah Swt, alias sia-sia. Kalau kita membaca hadits-hadits di seputar riya’ membuat kita ngeri melakukan amal yang tidak didasari atas keikhlasan.

Dalam salah satu hadits disebutkan, “Barangsiapa yang beramal, motifnya menyertakan Aku dan sekutu (sesuatu) yang lain, maka akan Aku tinggalkan ia dan sekutunya”. Artinya amal itu sia-sia tidak dipandang oleh Allah. Banyak orang kita lihat tingkat keberagamaannya (kesolehannya) ketika menjelang pilkada, meningkat. Ia rajin datang ke Masjid, suka mendengar pengajian, bahkan memnberi sumbangan. Namun niatnya tidak lebih hanya mencari simpati orang, menunjukkan ke public, bahwa dirinya pantas dipilih , karemna ia insan yang taat beragama.

Mereka kira Allah bisa ditipu. Manusia mungkin bisa ditipu, tetapi Allah tidak bakal bisa ditipu. Jadi niat yang baik (ikhlas) bila dipakai untuk perbuatan yang baik dan dibenarkan, akan melahirkan pahala yang besar. Tapi niat yang “baik” bila dipasang pada perbuatan yang salah, jelas tidak akan membuahkan pahala. Niat yang salah (buruk) bila dipakaikan untuk pekerjaan yang baik apa lagi yang terlarang, tidak akan menghasilkan apa-apa melainkan dosa.. Apakah ada niat yang baik dipakai untuk pekerjaan yang salah? Sebagai contoh, di masyarakat sering kita dengar penyalahgunaan makna sebuah istilah. Umpamanya dalam praktik korupsi, kerjasama orang yang memberi sogok dan yang menerima sogok, menurut mereka saling membantu.

Sedang sikap saling membantu adalah sikap yang dianjurkan oleh Islam.Yang disogok, mengaku membantu kelancaran urusan si pemberi sogok. Dan si pemberi sogok mengaku merasa membantu orang yang disogok, dengan imbalan urusannya lancar, atau proyeknya menjadi mulus. Kata mereka, mereka saling membantu, yang biasanya dipahami sebagai perbuatan yang baik (khoyr). Na’uzubillah. Padahal mereka sudah terperosok dalam larangan Allah Swt : “Janganlah kamu tolong menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran.” Perbuatan baik jika ditumpangi niat yang salah, hasilnya akan sia-sia. Seperti orang pergi haji, dengan tujuan untuk mendapat penghargaan dari masyarakatnya, untuk lebih meyakinkan orang lain akan tingkat keberagamaannya.

Maka perbuatannya ini sia-sia belaka. Begitu juga orang yang memberi bantuan atau hadiah dengan niat agar supaya disegani orang, karena suka membantu orang, pemberiannya itu hanya sia-sia tidak dipandang oleh Allah swt. Oleh karenanya, setiap Muslim harus memperhatikan sekali niatnya dalam melakukan perbuatan apapun. Ia harus menjaga niat atau motivasinya dalam melakukan sesuatu semata-mata karena mencari ridho Allah, bukan mencari simpati manusia, agar dipuji, agar, disegani, dihormati dan diagung-agungkan. Dalam hidup di zamansekarang ini, banyak sekali kita lihat orang-orang berbuat yang baik, tetapi tujuannya adalah untuk pamer dan mempertontonkan kebaikannya. Seperti mengundang anak-anak Panti Asuhan untuk dijamu makan, lalu dipanggillah televise supaya beritanya ditayangkan di televisi dan iapun diwawancarai.

Setelah itu iapun ditonton orang dan dipuji, sebagai orang dermawan. Hingga dalam menuntun ilmu dien sekalipun, tidak boleh dilakukan dengan niat mencari pujian orang. Dalam Hadits Shahih disebutkan, bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang menuntut ilmu yang seharusnya dituntut karena mencari ridho Allah, akan tetapi ia menuntutnya dengan tujuan mencapai target duniawi, maka ia tidak akan mencium bau syurga, yang baunya sudah tercium dalam empat puluh tahun perjalanan.” Niat dalam perspektif Ahli Fiqh Menurut Ahli Fiqh, niat berfungsi sebagai pembeda antara ibadah dan kebiasaan. Juga membedakan antara satu ibadah dengan Ibadah lainnya. Contoh sederhana saja mandi atau bersuci. Mandi bisa saja tujuannya untuk menyegarkan badan yang lesu, atau menghilangkan keringat. Ini dinamakan mandi karena kebiasaan atau karena kebutuhan. Tapi ada mandi yang tujuannya ibadah, yaitu mengangkatkan hadats besar, mandi selesai haydh bagi wanita, mandi untuk pergi shalat Jum’at. Ini semuanya mandi untuk tujuan Ibadah. Jadi dengan niat, sebuah perbuatan berubah dari kebiasaan yang tidak menghasilkan pahala menjadi ibadah yang mendatangkan pahala bahkan menjadi kewajiban

Hadits ke 2

 عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه أيضا قال : بينما نحن جلوس عند رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات يوم ، إذ طلع علينا رجل شديد بياض الثياب ، شديد سواد الشعر ، لا يرى عليه أثر السفر ، ولا يعرفه منا أحد حتى جلس إلى النبي صلى الله عليه وسلم فأسند ركبتيه إلى ركبتيه ووضع كفيه على فخذيه وقال : يا محمد أخبرني عن الإسلام ! فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( الإسلام أن تشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله ، وتقيم الصلاة ، وتؤتي الزكاة ، وتصوم رمضان ، وتحج البيت إن استطعت إليه سبيلا) قال : صدقت . فعجبنا له يسأله ويصدقه . قال : فأخبرني عن الإيمان ! قال : ( أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر ، وتؤمن بالقدر خيره وشره ) . قال : صدقت . قال : فأخبرني عن الإحسان ! قال : ( أن تعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك ) قال : فأخبرني عن الساعة ! قال : ( ما المسؤول عنها بأعلم من السائل ). قال : فأخبرني عن أماراتها ! قال : أن تلد الأمة ربتها وأن ترى الحفاة العراة العالة رعاء الشاء يتطاولون في البنيان ) ثم انطلق فلبثت مليا ثم قال : ( ياعمر أتدري من السائل ؟) قلت : الله ورسوله أعلم . قال : فإنه جبريل أتاكم يعلمكم دينكم ) رواه مسلم

Artinya: Tema Sentral dalam Hadits ini: Hadits ini mengandung tema sentral yaitu mengenalkan tiga terminology pokok dalam dien ini yakni : “Islam”, “Iman” dan “Ihsan” dan menjelaskan pengertian masing-masing. Islam berkaitan dengan formalitas dan tindakan-tindakan fisik. Iman berkaitan dengan keyakinan seseorang dan kepercayaannya yang tertanam di dalam hatinya.

Sementara Ihsan berkaitan dengan kualitas pengabdian seseorang terhadap Allah Swt. Penjelasan: Berbeda dengan hadits-hadits lainnya, di dalam hadits ini disebutkan kehadiran Jibril yang menyamar sebagai manusia. Padahal wujud aslinya Malaikat tidak dapat dilihat oleh manusia, karena dunianya berbeda. Asal penciptaannya juga berbeda. Malaikat diciptakan dari cahaya sementara manusia diciptakan dari tanah. Jibril tiba-tiba muncul ketika Rasul Saw duduk di tengah-tengah para Shahabat. Sudah barangtentu, sebelum diberitahu oleh Rasul, para Shahabat tidak mengetahui kalau laki-laki ini adalah Malaikat Jibril. Dengan penampilan yang unik, yaitu pakaian yang putih bersih, dan rambut yang hitam dan tak seorangpun yang mengenalnya. Biasanya bila seseorang datang dari suatu perjalanan, akan tampak pakaiannya berdebu dan rambutnya kusut masai.

Tetapi laki-laki ini kelihatannya bukan dating dari jauh, namun tak seorang di antara mereka yang mnegenalnya. Ia datang menghadap Rasul Saw dan duduk dengan menaruh tangannya di pahanya sendiri. Ini menggambarkan kesantunan yang tinggi dan akhlak mulia di hadapan guru. Jibril mengajukan beberapa pertanyaan pokok yang harus diketahui oleh setiap Muslim. Pertanyaan itu satu persatu dijawab oleh Rasul Saw dan didengar oleh shahabat yang hadir. Penjelasan Rasul inilah menjadi sumber ajaran bagi Sahabat.

Tujuan kedatangan Jibril adalah mengajari Sahabat tentang dien ini melalui pertanyaan yang ia ajukan kepada Nabi Saw. 1. Islam. Pengertian Islam yang diterangkan di dalam hadits ini adalah rukun Islam itu sendiri. Memang tidak ada pengertian Islam selain dari rukun Islam itu. Adapun pemahaman sementara golongan yang menyeleweng yang ingin memaksakan pengertian Islam secara bahasa yaitu sikap pasrah kepada Tuhan, jelas pemahaman yang ditolak. Tujuan mereka adalah cukup seseorang berpasrah kepada Tuhan (walaupun sebatas pengakuannya), tanpa harus menjalankan rukun Islam yang lima itu, ia sudah disebut sebagai Muslim. Oleh karenanya ada seorang Pastur yang menyambut senang pemahaman salah ini, sambil mengatakan, kalau demikian, maka saya sudah dianggap Muslim, karena saya sudah pasrah dan berserah diri.

Walaupun secara Iman, ia bukan Muslim. Pemahaman linguistic (lughawi) ini dahulu di Indonesia dipopulerkan oleh Nurcholish Madjid, sehingga menuai banyak kecaman dan kritik waktu itu. Ia ingin mengosongkan terminology dien ini –seperti Islam, Iman dan lainnya- dari makna yang sesungguhnya (isthilahy = terminologis). Sehingga terminology itu sudah menjadi benda kosong yang tak ada isinya. Terserah belakangan mau diisi dengan benda lain apapun. Pemahaman yang benar, ialah keislaman seseorng harus dibuktikan dengan komitmennya menjalankan rukun Islam yang lima, seperti yang tertuang di dalam hadits ini dan hadits lainnya, diawali dengan bersyahadat dengan dua syahadat; yakni Syahadah Tawhid (tiada Ilaah yang berhak disembah kecuali Allah) dan syahadat Risalah (Mengakui bahwa Muhammad adalah utusan Allah Swt).

Kemudian menjalankan perintah Shalat lima waktu, membayar zakat, berpuasa Ramadhan, dan menunaikan Haji. 2.Iman. Demikian pula tentang pengertian Iman yang diterangkan di sini adalah rukun Iman yang enam itu; percaya kepada Allah, percaya kepada Malaikat, kitab-kitab, Rasul-rasul, Hari akhir, dan percaya kepada qadar (taqdir). 3.Ihsan: Hadits riwayat ‘Umar ini menjelaskan pengertian Ihsan yaitu, menyembah Allah seolah-olah melihat Dia. Dan jika Ia tak dapat dilihat, maka Ia pasti melihat engkau. Kata Ihsan memang agak terbilang jarang dipakai dalam masyarakat kita. Tidak seperti kata Islam dan Iman sebelumnya. Namun dari penegrtian di atas, kita bisa memahami bahwa seseorang yang beribadah kepada Allah, ia berusaha merasakan seolah-olah melihat Allah Swt. Ibadah yang dilakukan dengan suasana seperti ini sudah pasti ibadah yang paling tinggi tingkatannya, karena kekhusyukan yang dalam.

Bisa dibayangkan seorang yang shalat dalam keadaan ia membayangkan seolah-olah melihat Allah, sudah tentu inilah shalat yang paling khusyu’. Tidak mungkin fikirannya menjelajah kemana-mana, jika ia membayangkan seolah-olah melihat Penciptanya sendiri. Makna Ihsan ini juga memberi arti bahwa antara kebersihan hati dan komitmen ibadah senantiasa berbanding lurus. Semakin bersih hati seseorang, semakin tinggi tingkat kethoatan dan disiplin ibadahnya. Tidak seperti yang dipahami sebagian kaum Thoriqot Shufiyah yang menyimpang. Kelompok ini punya keyakinan bahwa manusia bertingkat-tingkat (maqomaat). Semakin tinggi tingkatan seseorang semakin berkurang tingkat komitmen syari’ahnya.

Kewajiban menjalankan syari’at seperti shalat, puasa, haji adalah hanya untuk tingkat orang awam. Semakin tinggi tingkat (maqom) seseorang, maka kewajiban-kewajiban itu sudah tak berlaku lagi baginya. Bahkan mereka mencemooh orang-orang yang taat kepada syari’at. Kalau orang yang tekun dalam sholatnya, mereka menganggap tingkatnya masih rendah. Tetapi, bila ia sudah tidak shalat lagi, maka orang itu sudah berada pada posisi yang tinggi. Na’uzu billah. Dalam soal berzikirpun demikian, ada kepercayaan dan praktik yang aneh pada kelompok ini.

Untuk tingkat pemula, zikirnya adalah “La Ilaaha illallah”. Apabila tingkat seseorang sudah naik, maka zikirnya hanya “Allah. Allah. Allah”. Apabila ia naik tingkat lagi, maka zikirnya hanya “Hu. Hu. Hu. Hu”. Beginilah pemahaman mereka yang didasarkan pada selera hawa nafsunya. Larangan pun demikian. Minum Khamar perbuatan haram untuk tingkat orang awam. Apabila tingkatnya sudah tinggi, maka khamar itu tidak lagi dilarang. Kata mereka, khamar yang diharamkan itu, ketika dipegang oleh mereka yang maqomnya tinggi, langsung berubah menjadi susu dan madu, sehingga ia berubah menjadi halal. Betapa jelasnya penyimpangan mereka. Tentang Kiamat Salah satu pertanyaan Jibril adalah tentang kapan terjadinya Kiamat.

Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang paling berat. Ia adalah misteri yang tak seorangpun dapat menjawabnya Begitulah Rasulullah menegaskan suatu hal yang pasti, bahwa masalah Kiamat adalah rahasia Allah, tak seorangpun yang Dia beritahukan kapan terjadinya. Rasul berkata kepada Jibril : “Orang yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya”. Artinya saya dan Anda sama-sama tidak mengetahui kapan terjadinya. Pada tahun 2009 yang lalu, Hollywood memproduksi film 2012 yang menggambarkan bahwa Kiamat akan terjadi pada tahun 2012. Film ini banyak menyita perhatian umat Islam, khususnya yang awam dalam soal dien. Mereka cenderung membenarkan ramalan si pembuat Film.

Padahal kita tahu bahwa umumnya producer film di Hollywood adalah orang Yahudi. Bagaimana mungkin seorang Muslim yang baik percaya kepada informasi orang di luar Islam dalam soal-soal yang berkaitan dengan keyakinan (dien). Begitu juga beberapa tahun silam, ada segolongan kaum Kristen yang mengumumkan bahwa Kiamat terjadi waktu itu dengan menyebut tahun. Tetapi apa yang terjadi? Tahun itu lewat, ternyata alam ini biasa saja, tak ada yang hancur. Pemahaman seperti ini sebenarnya memalukan pemeluk agama yang bersangkutan. Itu membuktikan ketidak benaran informasi ajaran mereka. Alhamdulillah, kaum Muslimin yang mendapatkan info tentang alam ini dari wahyu yang diturunkan oleh Sang Pencipta alam, oleh karenanya tidak pernah keliru.

Setiap keterangan yang menentukan tahun dan bulan serta tanggal Kiamat, adalah palsu, karena info tentang yang satu ini benar-benar dirahasiakan oleh Allah ‘azza wajalla. Ya, memang ada hadits yang menyebutkan tentang hari terjadinya Kiamat, yakni hari Jumat. Tetapi jumat kapan? Tanggal berapa, bulan berapa, tahun berapa, wallahu a’lam. Setiap orang pasti akan merasa takut kalau disebutkan kepadanya tentang Kiamat. Ini memang lumrah, karena Kiamat berarti hancurnya seluruh jagad raya. Bumi, langit hancur berkeping-keping. Lautan tumpah ke darat. Gunung menjadi debu. Peristiwa yang sungguh mencekam dan menakutkan. Kisah tentang Kiamat seharusnya membuat kita akan semakin takut kepada Allah Swt. Selanjutnya akan lebih taat kepada perintah dan aturanNya. Tanda-tanda Kiamat: Tanda-tanda Kiamat sungguh banyak dipaparkan di dalam berbagai Hadits. Di hadits ini disebutkan hanya sebagian kecil saja.

Hadits ke 3

عن أبي عبد الرحمن عبد الله بن عمر بن الخطاب رضي الله عنهما قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : ( بني الإسلام على خمس : شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله ، وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة ، وحج البيت ، وصوم رمضان . (رواه البخاري ومسلم ).

Artinya :

Dari ‘Abdullah ibn ‘Umar, radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata : kudengar Rasulullah Saw bersabda :”Islam dibangun di atas lima dasar : 1, Kesaksian bahwa tiada Ilaah (Tuhan) selain Allah, dan Muhammad Rasul Allah, 2. melaksanakan Shalat, 3. membayar zakar, 4. haji ke Baitullah, dan 5. puasa Ramadhan. Dilaporkan oleh Imam al-Bukhory dan Muslim.

Tema Sentral Hadits ini :

Tema utama hadits ini menerangkan rukun Islam. Dikatakan rukun, karena ia adalah unsur asasi dari Islam. Seseorang tidak dianggap Muslim pada hakikatnya apabila tidak menjalankan lima rukun ini.

Hadits Ke 4

عن أبي عبد الرحمن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال : حدثنا رسول الله صلى الله عليه وسلم – وهو الصادق المصدوق – : ( إن أحدكم يجمع خلقه في بطن أمه أربعين يوما نطفة ، ثم يكون علقة مثل ذلك ، ثم يكون مضغة مثل ذلك ، ثم ير سل إليه الملك فينفخ فيه الروح ، ويؤمر بأربع كلمات : بكتب رزقه ، وأجله ، وعمله ، وشقي أم سعبد ، فوالله الذي لا إله غيره إن أحدكم ليعمل بعمل أهل الجنة حتى يكون بينه وبينها إلا ذراع ، فيسبق عليه الكتاب فيعمل بعمل أهل النار فيدخلها ، وإن أحدكم ليعمل بعمل أهل النار حتى ما يكون بينه وبينها إلا ذراع فيسبق عليه الكتاب فيعمل بعمل أهل الجنة فيدخلها ) رواه البخاري ومسلم.

Biografi Perawi Penjelasan Hadits: Hadits ini mengandung informasi ilmiyah tentang tahapan kejadian manusia di dalam perut ibunya. Janin dalam kandungan ibunya mengalami perkembangan beberapa fase, setiap fase berlangsung selama empat puluh hari : 1. Sperma (benih), 2. Segumpal Darah, 3. Sepotong Daging, 4. Peniupan ruh.

Sperma berlangsung selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi segumpal darah (‘alaqah), selama empat puluh hari juga, kemudian berkembang lagi menjadi sepotong daging selama empat puluh hari. Setelah seratus dua puluh hari, datanglah malaikat meniupkan ruih ke janin itu. Hadits ini juga mengandung keterangan tentang takdir, sebuah ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah swt bagi setiap manusia menyangkut 4 hal ; rezeki, batas umur (ajal), amal (baik dan buruk), serta nasib (mulia atau celaka). Perbedaan antara Qadha dan Qadar: Ada dua istilah yang popular dalam masalah taqdir ; yaitu Qadha’ dan qadar. Keduanya sama-sama dipahami sebagai ketentuan Allah atas makhluk. Namun keduanya dapat dibedakan. Qadha’ lebih khusus dari Qadar, karena qadha’ merupakan keputusan di antara taqdir.

Sedangkan qadar adalah taqdir itu sendiri. Qadha’ adalah ketetapan atau keputusan dari taqdir. Para Ulama menerangkan perbedaan anatara kedua terminology di atas dengan membuat perumpamaan antara barang yang ditimbang dengan timbangan itu sendiri. Barang yang ditimbang disebut Qadar, sedang timbangan disebut qadha’. Abu ‘Ubaidah berkata kepada Umar ketika ia ingin lari dari wabah Tho’un di Suriah, “Apakah Anda ingin lari dari Qadha’ (ketetapan) Allah? Beliau menjawab : “Ya, saya lari dari Qadha’ Allah kepada Taqdir (qadar) Allah.” Maksudnya sebuah Qadar selama belum menjadi qadha’, masih ada harapan akan ditolak oleh Allah. Tetapi bilamana ia sudah menjadi qadha (keputusan) Allah, maka ia tidak dapat ditolak. Keempat masalah tadi sudah ditentukan oleh Allah Swt pada waktu seseorang ditiupkan ruh kepadanya di dalam rahim ibunya. Namun bagi manusia, semua hal itu adalah masalah ghaib yang tidak diketahui oleh siapapun kecuali hanya Allah.

Siapapun tidak mengetahui tentang ajalnya, kapan akan tiba. Yang mengetahuinya hanya Allah Swt. Begitu pula halnya dengan rezeki. Setiap orang sudah ditentukan (dituliskan) Allah rezekinya, apakah ia menjadi orang kaya, atau orang miskin, berapa pendapatannya. Seperti itu juga tentang amalnya, apakah amalnya di dunia ini baik atau buruk. Apakah ia akan menjadi manusia yang baik atau manusia penjahat. Dan juga telah dituliskan Allah apakah ia akan menjadi ahli syurga atau penghuni neraka. Secara ketentuan, memang demikian adanya. Tapi apakah manusia mengetahui ketentuan tentang dirinya? Pasti “tidak”.

Karena hal ini adalah masalah yang ghaib yang tidak diberitahu Allah siapapun kecuali orang yang Dia kehendaki. Oleh karenanya, jika ada seseorang yang mengklaim bahwa dirinya mengetahui tentang nasib seseorang, atau masa depan seseorang, dia sebenarnya dalam keadaan berbohong. Mungkin ada yang bertanya, apa gunanya manusia berusaha (berikhtiyar), dan bekerja jika rezekinya sudah ditentukan? Jawabnya, Allah swt yang menetapkan takdir itu, Dia juga yang memerintahkan manusia untuk berusaha. Jadi usaha (ikhtiyar) wajib dilakukan berdasarkan perintah syari’at, sementara hasil dari ikhtiyar itu sudah ditentukan oleh Allah swt. Mungkin saja ikhtiyar itu berhasil dan menjadi penyebab bagi kesuksesan seseorang. Tetapi bisa jadi ikhtiyar itu gagal dan belum berhasil. Hanya Allah lah yang mengetahuinya.

Begitu juga dengan umur. Apabila seseorang sakit, maka ia wajib untuk berobat. Apakah pengobatan itu akan berhasil, sehingga si sakit itu menjadi sembuh, atau pengobatannya tak berhasil dan akhirnya ia meninggal, maka yang mengetahuinya hanya Allah Swt. Yang menentukan umur dan ajal itu adalah Allah dan Dia juga yang memerintahkan untuk berikhtiyar, berobat, jika seseorang mengalami sakit. Demikian pula dengan amal. Manusia wajib berikhtiyar dengan mengusahakan amal yang baik, menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah Swt dan meninggalkan apa yang dilarangNya, atau wajib berbuat thaoat kepada Allah dan RasulNya. Artinya wajib bagi seseorang menapaki jalan hidup yang benar sesuai perintah Allah. Ia tidak boleh mengatakan, bahwa ia berbuat jahat karena Allah swt telah menetukan demikian. Ini adalah anggapan keliru. Allah swt sudah menerangkan mana jalan yang baik dan mana jalan yang buruk, kemudian manusia diberi akal untuk bebas menetukan pilihan, apakah ia memilih jalan yang baik atau sebaliknya. Allah juga menerangkan konsekuensi dari pilihan itu, bahwa siapa yang memilih jalan yang baik, akan mendapatkan ganjaran yang baik. Dan siapa memilih jalan yang salah, akan menerima ganjaran (hukuman) yang berat. Yang dinilai oleh Allah di sini adalah pilihan manusia.

Ibarat dalam menempuh perjalanan ke Bandung dari Jakarta. Seseorang ingin bepergian menuju Bandung. Di tengah jalan, ia sudah membaca rambu-rambu atau penunjuk jalan menuju Bandung. Lalu apakah setelah itu, ia mengikuti petunjuk tadi atau menyalahi petunjuk dan memilih jalan sendiri dan akhirnya ia tersesat dan tidak sampai ke tujuannya? Barangsiapa yang memilih jalan yang salah, maka ia dihukum karena pilihannya yang salah itu. Bukan Allah Swt yang sejak awal menginginkan dirinya supaya salah atau tersesat. Allah Swt tidak menentukan (memaksakan) seseorang agar jadi pezina atau penjahat, akan tetapi, ia menjadi jahat atau baik karena pilihannya. Namun Allah mengetahui dari awal bagaimana perjalanan orang tersebut di kemudian hari. Kemudian suatu perbuatan baik, tidak akan terjadi kecuali atas seizing Allah dan petunjuk Nya. Demikian juga suatu perbuatan jahat, tidak akan terjadi kecuali izin Allah Swt. Maka ketika kebaikan terjadi, seorang hamba harus bersyukur kepada Allah, dan ketika keburukan terjadi, ia harus beristighfar kepadaNya. Jadi keimanan kepada taqdir adalah mutlak, namun manusia dalam hidup ini harus tunduk kepada ketentuan Syari’at, seperti kewajiban berikhtiyar. Dua jenis Perubahan; menjadi baik atau menjadi jahat: Ujung dari hadits ini membuat perasaan setiap Muslim ketakutan dan khawatir. Rasulullah memberikan rincian yang lebih detail mengenai nasib masa depan seseorang di akhirat, apakah ia sebagai penghuni Syurga atau neraka. Ada orang yang sudah ditakdirkan sebagai penghuni neraka, maka kehidupannya di dunia akan senantiasa mengarah pada perbuatan dan prilaku ahli neraka, kendatipun orang tersebut pada awalnya beramal sebagaimana amal ahli syurga, namun tulisan takdir sudah ditetapkan lebih dahulu.

Hidupnya belakangan berubah menjadi buruk. Ia berprilaku seperti prilaku ahli neraka, kemudian ia mati dalam keadaan seperti itu, tempatnya kelak akan di neraka. Secara ekstrim dicontohkan oleh Nabi Saw dalam hadits tersebut, bahwa ada orang yang sejak awal hidup dan beramal sebagaimana amal ahli syurga dan itu berlangsung terus menerus puluhan tahun hingga menjelang akhir hayatnya, ia berubah drastic (seratus delapan puluh derajat). Kata Nabi Saw : “Hingga jarak antara dia dengan syurga itu hanya sehasta saja”, menunjukkan saking dekatnya jarak tersebut. Andaikan ia meninggal dalam kesolehan seperti itu, ia akan masuk syurga. Namun ketentuan takdir sudah ditetapkan lebih dahulu, akhirnya iapun berubah dengan drastis (mendadak) dan kehidupannya sama seperti kehidupan ahli neraka, seperti kafir kepada Allah (murtad), mendustakan dan melecehkan ayat-ayat Allah (al-Qur’an), menghina Rasulullah, meragukan dan merendahkan syari’at Allah, bahkan ada yang sampai mengaku sebagai Nabi atau mendapat wahyu dari Jibril, meninggalkan shalat dengan sengaja, tidak berpuasa Ramadhan, dan perbuatan-perbuatan lain yang menjerumuskan manusia. Lalu ia mati dalam keadaan seperti ini, maka tempat yang menunggunya adalah neraka. Perubahan mendasar itu tak selamanya di akhir hayat, bisa saja di pertengahan masa hidup. Yang penting perubahan menjadi buruk itulah yang menjadi penutup hidupnya. Ungkapan yang disebutkan dalam hadits itu semata-mata memberikan contoh yang agak ekstrim. Bisa saja perubahan itu umpamanya setelah mengikuti pendidikan di Barat. Contohnya: Di zaman global ini model hidup yang disebutkan di dalam hadits itu sering kita jumpai. Ada orang-orang yang sejak kecilnya tumbuh dalam lingkungan Islam, bahkan belajar Islam di Lembaga-lembaga Pendidikan Islam, seperti Pesantren dan Madrasah. Pendidikan Tingginya pun, ia selesaikan di Institut/Universitas Islam. Kehidupan awalnya sangat mengagumkan, persis seperti kehidupan manusia yang sholeh, taat beribadah, tidak mengenal dunia maksiat, jauh dari kehidupan jahiliyah. Tetapi di pertengahan usianya hidupnya menjadi berubah. Perubahan itu sangat drastic. Seratus delapan puluh derajat. Tadinya sangat percaya kepada al-Qur’an, sekarang meragukan al-Qur’an bahkan mengritik al-Qur’an. Dulunya taat dalam beribadah, jauh dari maksiat, belakangan hampir tidak shalat, bahkan minum khamar, akrab dengan kehidupan seks bebas.

Dulunya berpikir sangat Islami, cinta pada ulama, bahkan pembela Islam, tetapi belakangan pola pikirnya seperti orientalis Barat, meragukan Islam, melontarkan ungkapan-ungkapan yang tak pantas keluar dari seorang Muslim yang beriman, memuji-muji kaum kafir. Orang-orang seperti ini jika terus dalam kekufurannya dan mati dalam keadaan seperti itu, merekalah seperti yang dikatakan Nabi saw didalam hadits di atas, penghuni-penghuni Neraka, padahal sebelumnya amal perbuatannya adalah amal ahli syurga. Ada apa gerangan perubahan itu? Perubahan itu mungkin berawal dari kekagumannya kepada Barat. Kekaguman ini menimbulkan keinginan untuk menimba ilmu ke Barat, dengan menempuh program studi Post-Graduate hingga meraih gelar “doctor” di Barat. Sayangnya, mereka tak sekadar belajar, mengambil yang bermanfaat, bahkan melakukan “copy-paste” pemikiran Barat yang sekuler dan Liberal kemudian membawanya kembali ke tanah air.

Sungguh kalau kejadian ini disampaikan kepada masyarakat umum, niscaya mereka akan geleng-geleng kepala keheranan. Tak terbayangkan terjadinya perubahan itu, karena dasarnya yang sudah baik. Tetapi itu adalah fakta yang tak hanya menimpa satu dua orang di zaman ini, tetapi puluhan sarjana..Mereka sudah mengelompok dalam sebuah faham yang dikenal “Liberalisme”. Begitu juga sebagian orang yang pada masa kecilnya baik dan tumbuh dalam ketaatan, tetapi karena pergaulan atau hidup di lingkungan orang-orang fasik yang tidak peduli dosa dan maksiyat, akhirnya terikut dan terbawa arus. Ia hidup dalam suasana Jahiliyah, jauh dari sinar Islam, akrab dengan maksiyat, narkotika, khamar, seks bebas, uang haram dan lainnya.. Begitulah hidupnya berlangsung hingga akhir hayatnya. Mereka inilah yang dikatakan sebagai ahli neraka. Na’uzu billah. Namun Orang yg sudah menjadi baik dari awal, tidak seharusnya menjadi sombong, karena yang membolak-balikan hati adalah Allah Swt. Ia haruslah tetap berharap pada Allah, agar keadaannya yang baik, tidak berubah menjadi sebaliknya.

Agar Allah memberikan kemantapan Iman hingga akhir hayatnya. Perubahan Menjadi Baik: Hadits tersebut juga memberikan contoh perubahan lain yang positif yaitu berubah menjadi baik, dari keadaan sebelumnya buruk dan jahat. Perubahan yang disajikan juga perubahan yang relatif ekstrim. Umpamanya, seseorang yang pada awalnya hidup dalam kekafiran, kedurhakaan, kefasikan. Saking buruknya amal orang tersebut diibaratkan jarak anatara dia dengan neraka hanya sehasta saja. Jika ia mati dalam keadaan seperti itu, ia akan masuk neraka. Akan tetapi suratan takdir sudah lebih dulu dituliskan, bahwa orang itu akan menjadi ahli syurga, lalu iapun berubah, sekalipun perubahan itu hanya berlangsung sebentar menjelang kematiannya. Namun kematiannya tiba setelah ia menjadi baik dan bertaubat. Inilah yang sering dikenal dengan “husnul Khatimah” (akhir kehidupan yang baik). Dan yang menentukan posisi seseorang adalah penutup amalnya. (al-A’mal bi-Khawatimiha). Kalau penutup amalnya baik, ia akan masuk syurga, dan jika penutup amalnya buruk, ia akan masuk neraka.

Contohnya : Mungkin contoh yang lebih jelas untuk perubahan jenis ini ialah kehidupan muallaf dan orang-orang Muslim yang bertaubah dari keadaan masa lalunya yang penuh dengan dosa. Muallaf, orang yang pindah dari kekafiran menjadi Muslim atas berkah hidayah Allah ‘azza wajalla. Usia mereka ketika masuk Islam berbeda-beda. Ada yang masuk Islam dalam usia tua. Ada pula yang masuk Islam ketika remaja. Yang penting akhir dari hayat mereka ialah menemukan jalan hidup di bawah panji Islam dan beriman kepada Allah Swt. Kalau kita mendengar cerita-cerita kaum Muallaf (orang yang masuk Islam, sebelumnya dari kafir).hati kita ikut merasakan terharu dari pengalaman mereka. Agustus 2009 lalu, ketika saya di Los Angeles, Amerika Serikat, di televisi Amerika ditayangkan berita masuk Islamnya seorang perempuan kulit hitam AS, yang sebelum selama dua puluh dua tahun menjadi Biarawati. Masya Allah. Tabarakallah.

Sebuah perjalanan hidup yang tak singkat mencari hidayah. Dalam tayangan itu ditampilkan cuplikan dari masa lalunya, ketika ia berkhotbah di gereja dengan semangat, kemudian setelah itu ditayangkan pula, gambarnya setelah ia menjadi muslimah, bersujud dengan memakai mukena (telekung). Si Presenter bertanya kepadanya, apa yang membuat Anda masuk Islam? Ia jawab dengan polos : “:Jesus guides me to Islam”. (Nabi Isa menunjuki aku masuk Islam). Bisa Anda bayangkan separuh hidupnya telah berlalu dalam kekafiran, bahkan aktif dalam menyebarkan kekafiran. Tetapi belakangan ia mendapatkan Hidayah dari Allah Swt, ia masuk Islam dan beramal dengan amal ahli syurga. Mudah-mudahan ia meninggal nanti dalam keadaan seperti itu, maka ia akan masuk syurga.

Penulis juga dalam bulan itu di sebuah Masjid di Sedena, pinggiran Los Angeles, California, berkenalan dengan seorang orang tua, kepalanya sudah dipenuhi uban, tampak wajah tua dari mukanya. Lalu ia mengenalkan diri, ia adalah seorang Professor Emeritus di Los Angeles Community college di bidang business. Ia mengakui masuk Islam dalam tujuh tahun terakhir. Hidupnya sekarang pindah dari masjid ke masjid, duduk lama berzikir setelah shalat..Ia sempat mengisahkan tentang hidupnya mencari Islam. Ia mendalami betul sejarah Kristen, dan pernah juga pindah-pindah keyakinan setelah tidak puas dengan keyakinan lamanya, akhirnya ia, katanya, membaca dan mengkaji al-Qur’an, dan di sanalah ia menemukan semua pertanyaan yang tadinya mengganjal di pikirannya, lalu ia memutuskan untuk masuk Islam. Sekali lagi dapat Anda bayangkan dua pertiga lebih hidupnya dalam keadaan kafir kepada Allah. Tidak mengikuti petunjuk Allah dan RasulNya. Tetapi belakangan, berkah hidayah Allah Swt yang menuntunnya, ia bersyahadat dan hidup sebagai seorang Muslim dan beramal dengan amal ahli syurga. Seperti inilah profile manusia yang diterangkan dalam Hadits Rasul itu.

Artis bertaubat : Waktu saya belajar di Mesir dulu, tahun delapan puluhan, ada seorang artis “panas” bernama Syamsul Barudy. Dia dikenal sebagai artis cantik yang sering tampil dengan adegan panas. Tetapi belakangan hidayah Allah menghampirinya. Sekembalinya beliau dari ibadah umroh di bulan Ramadhan, dan kembali ke Mesir, perubahan mendasar terjadi pada dirinya. Ia kembali kepada fitrohnya. Ia membungkus badannya dengan jubbah dan mukanya dengan Niqob (cadar). Hingga wartawan yang ingin mewawancarainya, ia tolak, dengan alasan bukan mahram. Subhanallah. Perubahan drastis terjadi pada dirinya.

Alhamdulillah perubahan yang baik. Reaksi dunia perfilman Mesir pun serta merta menjadi geger. Bahkan kedengkian mereka padanya, film-filmnya dulu yang dilakoninya dengan busana dan adegan yang menjijikkan, mereka putar kembali di bioskop-bioskop sebagai bentuk terror atas dirinya. Begitulah permusuhan syetan kepada hamba-hamba Allah yang ingin kembali kepadaNya. Kalau dipilihkan kepada kita ? Yang terbaik adalah kehidupan yang baik sejak dari awal dan berlangsung terus hingga akhir hayat seseorang. Bila seseorang sudah ditakdirkan Allah jadi baik, jangan sekali-kali mencoba berubah jadi buruk dahulu, untuk berubah belakangan menjadi baik, karena yang menentukan hidup ini bukan kita. Salah paham terhadap Hadits ini Hadits ini tidak boleh disalah pahami. Tidak boleh seseorang berprasangka, bahwa tak ada gunanya berusaha jadi baik, toh kalau takdirnya masuk surga, keadaan akan berubah menjadi baik. Seolah-olah manusia hanya seperti robot. Tidak. Sungguh tidak begitu. Tujuan hadits ini bukan demikian,.karena tak seorangpun yang mengetahui takdir dirinya atau orang lain, kecuali hanya Allah.

Yang jelas Allah sudah menerangkan mana jalan yang baik dengan segala konsekuensinya dan mana jalan yang salah dengan segala resikonya. Manusia diberi kebebasan memilih dua jalan itu. Toh manusialah yang menentukan pilihannya. Dampak dari Hadits ini: Dampak dari memahami Hadits ini secara benar ialah : jika seseorang merasa dirinya sudah berbuat baik sejak lama, ia harus berhati-hati dengan kemungkinan perubahan hidup yang bisa saja terjadi kapan saja. Karena yang membolak-balikkan hati adalah Allah Swt. Oleh karenanya ia harus berusaha sekuat tenaga menjaga kesolehan itu dan mengantisipasi agar tidak berubah. Caranya ialah dengan menjauhi hal-hal yang membuat manusia terjerumus ke dalam neraka, seperti menjaga pergaulan dan tidak mempergauli kecuali orang-orang yang baik saja. Begitu banyak orang celaka, yang awalnya bermula dari pergaulan yang buruk, salah memilih teman.

Begitu juga menghindari sedapat mungkin godaan-godaan dunia yang berpotensi menggelincirkan, seperti jabatan, harta dunia, kesenangan yang menipu. Bagi orang yang berprilaku buruk dan kufur, maka dengan mendengar hadits itu, menimbulkan harapan dalam dirinya, bahwa jika ia berubah menjadi baik, Allah itu Maha Pemaaf dan Pengampun, dan akan memasukkannya ke dalam syurga. Orang yang mau meninggal pun jika ia berubah menjadi baik, akan masuk syurga, apalagi orang yang masih lama masa hidupnya, jika ia menjadi baik, maka kemungkinan masuk syurganya akan lebih besar, Insya Allah.

Hadits ke 5

عن أم المؤمنين أم عبد الله عائشة رضي الله عنها قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد ) رواه البخاري ومسلم . وفي رواية مسلم : ( من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد ).

Artinya :

Dari Ummul mukminin (ibunda orang-orang Mukmin), ‘Aisyah –Radhiyallahu ‘anha ia berkata, Rasulullah Saw : “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan (dien) ini yang tidak termasuk di dalamnya, hal itu ditolak.” Dilaporkan oleh Imam al-Bukhary dan Muslim.

Dalam riwayat Muslim : “Barangsiapa melakukan amalan, tanpa didasari perintah kami, maka ditolak.”

Tema Sentral :

Tema sentral dari hadits ini peringatan untuk menghindari perbuatan bid’ah, sebuah amalan atau ajaran yang masuk dalam ruang lingkup dien, yaitu perkara yang memang telah diatur oleh syara’, tetapi tidak diwariskan oleh Rasulullah Saw, sahabatnya dan para Tabi’in. Adapun jika perbuatan itu di luar lingkup dien, seperti urusan dunia, seperti managemen, teknologi, dan sejenisnya yang tidak diatur secara eksplisit oleh syara’, maka berinovasi di sini tidak masuk perkara yang dilarang. Bahkan bisa jadi disuruh/diperintahkan.

Seperti kata Dr. Mushtafa al-Bugha, hadits ini menjadi barometer untuk mengukur suatu amalan dari aspek luar/lahir (perform, prosedur, formal). Apakah praktik sebuah ritual yang dilakukan seseorang diterima atau ditolak dari aspek zahir (formal), maka hadits ini yang menjadi ukurannya. Sedang dari sisi motif (batin) melakukan amalan, sehingga suatu ritual diterima atau ditolak, maka yang menjadi ukurannya adalah soal niat apakah karena Allah atau tidak, maka yang menjadi barometernya adalah hadits ke 1 yang lalu.

Penjelasan :

Perbedaan antara kedua riwayat :

Apakah perbedaan antara dua riwayat di atas?  Riwayat yang pertama menerangkan perbuatan atau amalan yang sebelumnya tidak ada, lalu diada-adakan. Sedangkan riwayat kedua menerangkan, bahwa amalan bid’ah itu sebelumnya sudah ada, lalu amalan itu dilanjutkan oleh orang-orang sesudahnya, jadi orang itu bukan sebagai pemula yang mengada-adakan, tetapi sebagai penerus atau pelanjut, maka status keduanya sama, yakni ditolak. Jadi sebuah amalan yang tidak didasari oleh tuntunan dan petunjuk Rasulullah dalam ruang lingkup dien, baik amalan itu baru diadakan oleh penemunya, ataupun sudah ada sebelumnya, belakangan diteruskan oleh generasi berikutnya, sama-sama ditolak dan tidak diterima oleh Allah Swt.

Hadits ini memperingatkan kita –kaum Muslimin- agar memperhatikan ibadah dan ajaran yang kita amalkan, atau yang kita yakini, apakah amalan/keyakinan itu mempunyai landasan (dalil) baik secara langsung atau tidak langsung dari ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi Saw. atau tidak. Apabila amalan tersebut tidak memiliki landasan, pijakan atau dasar, maka perbuatan itu harus ditinggalkan, siapapun yang menemukannya dahulu.

 

Definisi Bid’ah dan praktiknya:

Secara bahasa kata “bid’ah” berarti temuan baru. Makna yang dimaksud dalam hadits ini adalah praktik dalam menjalankan dien Islam yang tidak ditemukan sumbernya dari Rasul Saw, sahabat ataupun Tabi’in, tujuannya sebagai tandingan terhadap syari’at dan dalam rangka ibadah (ta’abbudy).

Jadi dari definisi ini dapat kita pahami, apabila “temuan baru” itu bukan termasuk masalah dien (perkara yang harus tunduk kepada aturan Syari’at), maka tidak ada salahnya membuat hal-hal yang baru. Umpamanya teknologi, administrasi, bisnis dan masalah-masalah yang terkait dengan teknik dalam menjalankan kehidupan yang bersifat eksperimental. Untuk bidang ini Islam justru merangsang umatnya agar mengembangkan daya cipta (innovation), selama tidak bertabrakan dengan ketentuan syari’at. Manusia diberi kebebasan untuk mengembangkan daya pikirnya di luar masalah dien itu. Bahkan menjanjikan pahala bagi penemunya selama produk itu mendatangkan manfaat bagi orang lain. Sesungguhnya ruang ini ruang yang amat sangat luas di mana manusia dapat berkiprah di dalamnya.

Demikian inilah dahulu keadaan para pendahulu umat ini –generasi sahabat, tabi’in dan sesudahnya. Untuk masalah ritual, keyakinan, dan dien, mereka hanya mengikut apa yang dilakukan oleh Nabi Saw. Sementara dalam urusan dunia, mereka inovatif, berjuang, kerja keras sehingga melahirkan peradaban Islam yang kental nuansa tawhidnya. Mereka berdakwah dan memenangkan perjuangan sehingga menaklukkan Imperium Persia dan Romawi. Kekuasaan Islam terbentang hingga ke Spanyol dan ke Nusantara sejak abad pertama Hijrah.

Tetapi kaum Muslimin di zaman sekarang justru mengambil sikap terbalik. Dalam masalah dunia, mereka cenderung mengekor kepada produk bangsa lain, tidak menciptakan produk sendiri. Sementara dalam masalah ibadah, ritual, pendekatan kepada Allah swt, mereka justru berinovasi dan membuat hal-hal baru yang tidak diterima oleh syari’at.

Banyak praktik ibadah dan berbau ibadah yang mereka ada-adakan; seperti merayakan hari kelahiran dan hari kematian. Apabila terjadi kematian, maka keluarga yang meninggal membuat acara lebih dari apa yang disunnahkan oleh Nabi Saw tiga hari untuk berta’ziyah. Mereka membuat acara makan-makan pada hari ke tujuh, hari ke empat puluh, hari ke seratus. Apalagi kalau yang meninggal itu tokoh, orang ‘Alim, pimpinan pesantren, keluarganya memperingati hari kematian orang tersebut tiap tahun. Jadi sekian banyak tokoh, tiap tahun diperingati kematiannya. Untuk memperingati kematian tokoh itu, mereka buat “pesta” dengan mengundang masyarakatnya untuk makan-makan di kuburan sang tokoh. Hal-hal yang berkaitan dengan kematian, orang mati, dan kuburan adalah perkara yang sarat dengan praktik amalan yang tertolak itu, karena memang praktik itu tidak dikerjakan oleh Rasul dan sahabatnya, akan tetapi dibuat-buat oleh orang yang datang belakangan.

Mereka ada-adakan cara-cara berzikir yang tidak diajarkan oleh Rasul Saw. Mereka menari dan bergoyang. Mereka ciptakan lagu-lagu dan senandung berbau pujian kepada Nabi.

Mereka habiskan waktu dan energi untuk hal-hal yang tak berfaedah itu. Kapan mereka akan menjadi maju?

Mindset inilah yang harus dirubah oleh umat Islam jika mereka ingin maju dan bersaing dengan umat lain. Untuk masalah Ibadah dan pendekatan pada Allah, mereka harus ber-ittiba’ (mengikut apa adanya) kepada Rasulullah Saw.

 

 

Bid’ah perbuatan tercela :

Perbuatan Bid’ah sangat tercela karena pengaruhnya sangat buruk terhadap Islam dan pelakunya. Bid’ah mengakibatkan hilangnya kemurnian dan pudarnya keaslian Islam sebagai dien yang diturunkan oleh Allah dan diwariskan oleh NabiNya Saw. Hal itu karena bid’ah berarti menambah atau mengurangi ajaran yang asli, sementara Islam adalah ajaran yang sempurna dari Allah Swt yang tidak memerlukan tambahan atau modifikasi yang dibuat oleh manusia, siapapun dia. Dengan adanya tambahan itu, seolah-olah manusia menganggap bahwa apa yang diwariskan oleh Nabi belum sempurna yang masih memerlukan tambahan. Tentu konsep berfikir seperti ini keliru besar. Karena Allah Swt telah menegaskan dalam firmanNya : “Pada hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu…”.

Dengan adanya bid’ah mengakibatkan Islam menjadi tidak seragam di seluruh dunia. Sehingga ada embel-embel lain yang ditempelkan kepada Islam, seperti Islam Indonesia, Islam Timur Tengah, Islam Turki, Islam Pakistan, Islam mana lagi. Hal ini tak diperkenankan dalam Islam. Islam hanya satu. Kemanapun seseorang pergi dan ingin mengetahui tentang Islam, ia akan menemukan keseragaman; rujukannya sama, informasinya sama dan ajarannya sama. Inilah keistimewaan Islam.

Dengan keberadaan hadits ini, tidak seorangpun yang dapat merubah Islam dengan memberi tambahan pada ajarannya. Bayangkan jika tidak ada ajaran tegas seperti isi hadits ini, akan seperti apakah corak-corak Islam yang beraneka ragam, dan pasti akan membingungkan dalam pengamalannya. Karena ia diserahkan pada inovasi dan inspirasi manusia, ingin menambahi atau mengurangi yang sudah ada.

Islam harus dibiarkan apa adanya seperti diturunkan pertama kali oleh Allah Swt dan dipraktikkan oleh Rasulullah dan sahabatnya. Islam tidak boleh dibumbui oleh budaya, adat istiadat, kultur masyarakat, baik kultur masyarakat muslim sendiri apalagi yang bukan muslim.

Ahli Bid’ah Klasik :

Dalam literature Ilmu Hadits, kita sering jumpai sebutan “ahlul Ahwa’ wal bida'” yang berarti kelompok “pengikut hawa nafsu dan bid’ah”. Mereka adalah segolongan umat Islam yang mempunyai ajaran/pemahaman khusus (baca : aneh) yang tidak popular di kalangan umumnya umat Islam. Mereka mengikuti hawa nafsunya dalam menafsirkan Islam dan ajarannya serta melahirkan faham-faham baru yang asing. Misalnya Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Qadariyah dan lainnya.

Syi’ah termasuk kelompok Ahli Bid’ah yang parah, karena menyimpang terlalu jauh dari garis pemahaman Islam yang benar (al-Qur’an dan Sunnah). Dahulu, pada awalnya, “syi’ah” merupakan kelompok yang bernuansa politik (hizb siyasi) yang membela blok ‘Ali r.a yang berhadapan dengan blok Mu’awiyah r.a. Sementara soal pemahaman keagamaan, mereka dulu tidak berbeda dengan mayoritas umat Islam. Tetapi dalam perjalanannya, kelompok ini lama kelamaan mempunyai ajaran sendiri yang menyimpang jauh dari ajaran Islam yang murni, baik dalam soal ‘aqidah, ibadah maupun sisi-sisi lainnya. Merekapun mencela, menista para sahabat yang tidak berpihak kepada Ali, dan itu mayoritas sahabat Nabi, hingga mengkafirkan sahabat-sahabat utama Nabi seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, istrinya ‘Aisyah, radhiyallahu anhum ajma’in, Kelompok inilah yang dikenal dengan sebutan “Rafidhah”, bentuk jama’nya “Rawafidh”, yaitu golongan yang menolak kekhalifahan Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman r.a. Abu Bakar dan Umar mereka tuduh sebagai perampas hak khalifah dari ‘Ali.

Bid’ah syi’ah mencakup beberapa aspek, di antaranya : aspek ‘aqidah, di mana mereka mempunyai keyakinan bahwa ‘Ali lah yang berhak menjadi khalifah pengganti Rasulullah setelah beliau wafat. Dalam ajaran mereka, ada aqidah “al-washiyyah”, yang artinya Nabi pernah berpesan bahwa yang menggantikan beliau adalah ‘Ali ibn Abi Thalib. Di antara mereka ada yang berkeyakinan bahwa yang berhak menerima wahyu sebenarnya adalah ‘Ali, bukan Muhammad Saw., tapi Jibril keliru dalam menurunkan wahyu. Na’uzu billah min zalik.

Mereka mengkultuskan ‘Ali dan keturunannya. Bahkan mereka lebih mengagungkan dan lebih sering menyebut ‘Ali daripada menyebut Rasulullah Saw. Mereka melaknat para Sahabat dan mengkafirkannya. Dalam ajaran syi’ah, melaknat sahabat itu adalah .’ibadah, untuk mendekatkan diri kepada Allah. Aneh bukan? Agama yang didasari pada kebencian dan melaknat generasi terbaik dari umat Islam.

Bid’ah mereka dalam soal Ibadah, cukup banyak. Jika kita hidup bersama mereka dan mengamati cara mereka beribadah, kita akan mempunyai kesan, bahwa agama mereka sudah terpisah dari Islam, saking jauhnya perbedaan-perbedaan itu, antara lain, dalam ajaran mereka, tidak ada shalat Jama’ah, tidak ada shalat Jum’at, waktu Shalat hanya tiga kali, pagi, siang dan malam. Puasa Ramadhan mereka mulai dari terbit fajar hingga malam. Mereka tak berbuka pada waktu maghrib. Lain lagi praktik shalat mereka, cukup aneh dan kita tak mengerti darimana sumbernya. Contohnya, mereka tak lupa membawa batu dan menaruhnya di tempat sujud. Kalau tidak ada batu, kertas pun jadi. Dalam berdiri, mereka melepas tangannya, tidak bersedekap, padahal hadits-hadits Shahih menyebutkan Rasul kalau shalat, menaruh tangan kanannya di atas tangan kirinya. Waktu salam, mereka menepuk-nepuk kedua tangannya ke paha. Itulah bentuk salam mereka. Bukan mengucapkan salam dengan menoleh ke sebelah kanan dan ke kiri, sebagaimana yang dipraktikka oleh Rasul Saw di dalam kitab-kitab hadits. Berbohong atau “tauriyah” dalam ajaran mereka merupakan “dien” (agama). Mut’ah (kawin kontrak) yang sudah diharamkan oleh Rasulullah belakangan (setelah pernah membolehkannya dalam beberapa keadaan), bagi mereka, boleh hingga sekarang. Mereka mengira secara keliru, bahwa yang melarangnya adalah Umar r.a. Apa saja yang dilarang oleh ‘Umar r.a adalah boleh, karena kebencian mereka padanya.

Bila Anda amati cara mereka beribadah dan pemahaman mereka, anda akan heran dan bingung, entah ajaran siapa yang mereka ikut, hadits mana yang mereka perpegangi. Itulah yang menyebabkan para Ulama dari dulu memasukkan mereka dalam sebutan “Ahli Bid’ah dan ahli Ahwa'” (pola beragama mengikuti hawa nafsu).

Jadi syi’ah yang ada sekarang ini adalah jenis Rafidhah, yang oleh para Ulama dari dulu dihukumkan sebagai golongan yang telah keluar dari Islam.

Hadits ke 6

عن أبي عبد الله النعمان بن بشير رضي الله عنهما قال : سممعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : ( إن الحلال بين وإن الحرام بين وبينهما مشتبهات لا يعلمهن كثير من الناس ، فمن اتقى الشبهات استبرأ لدينه وعرضه ، ومن وقع في الشبهات وقع في الحرام كالراعي يرعى حول الحمى يوشك أن يرتع فيه . ألا وإن لكل ملك حمى ألا وإن حمى الله محارمه ، ألا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله ، وإذا فسدت فسد الجسد كله ، ألا وهي القلب ) رواه البخاري ومسلم .

Artinya:

Diriwayatkan dari an-Nu’man ibn Basyir –radhiyallahu ‘anhuma- ia berkata, aku pernah mendengar Rasulullah bersabda : “Sungguh yang halal itu sudah jelas. Yang haram juga sudah jelas. Tetapi antara keduanya ada perkara samar yang tidak diketahui banyak orang. Orang yang menghindari perkara samar, berarti memelihara agama dan harga dirinya. Sedang orang yang jatuh dalam perkara yang samar, berarti jatuh dalam perkara yang haram. Seperti penggembala yang menggembala dekat kawasan terlarang, ia tidak sadari gembalanya sudah memasuki daerah terlarang itu. Ketahuilah, setiap raja memiliki daerah terlarang. Ingatlah bahwa daerah larangan Allah adalah apa yang diharamkanNya. Ketahuilah, di dalam tubuh manusia, ada segumpal daging. Jika ia baik, seluruh tubuh menjadi baik, dan jika ia rusak, seluruh tubuhpun ikut rusak. Ketahuilah segumpal daging itu adalah hati. Dilaporkan oleh Imam al-Bukhary dan Muslim.

Tema Sentral Hadits ini :

Tema sentral hadits ini menerangkan tiga persoalan penting dalam kehidupan dunia, Segala persoalan yang dihadapi manusia tidak lepas dari tiga kategori ini; pertama halal, kedua haram, yang ketiga, wilayah remang-remang atau syubhat yang banyak menggelincirkan orang banyak, karena terpedaya dan tidak hati-hati. Rasul memperingatkan umatnya agar hati-hati terhadap masalah yang syubhat. Kehati-hatian ini biasa dikenal dengan sebutan “wara'”. Hadits ini mengarahkan orang mukmin untuk bersikap wara’ dalam menghadapi setiap persoalan syubhat, sebuah sikap yang tergolong langka untuk zaman ini.

Kemudian di ujung hadits, Rasul Saw menjelaskan persoalan hati, bahwa hati itu ada dua jenis. Pertama hati yang sehat, yaitu hati yang sensitive terhadap hal-hal yang dilarang. Yang kedua, hati yang sudah busuk atau rusak, yaitu hati yang sudah tak dapat membedakan mana yang halal dan mana yang haram. Kita perlu bertanya kepada diri kita sendiri, apakah hati kita masih tergolong sehat atau hati yang sudah rusak. Jawabannya ada pada diri kita sendiri.

Penjelasan:

1. Yang Halal sudah jelas.

2. Yang Haram sudah jelas

3. Syubhat.

Masalah syubhat memang masalah yang sangat riskan.

Hadits ke 7

عن أبي رقية تميم بن أوس الداري رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ( الدين النصيحة . قلنا : لمن ؟ قال : لله ، ولكتابه ، ولرسوله ، ولأئمة المسلمين وعامتهم ) رواه مسلم .

Artinya :

Diriwayatkan dari Tamim ad-Dary –Radhiyallahu ‘anhu- bahwa Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda : ” Dien adalah nasehat”. Kata kami : untuk siapa?. Sabda beliau : “Nasehat untuk Allah, Kitabullah, RasulNya, pemimpin-pemimpin kaum Muslimin dan sesama mereka.” Dilaporkan oleh Imam Muslim.

Tema Sentral Hadits ini :

Tema sentral hadits ini adalah soal Nasehat. Inti dien ini adalah nasehat. Nasehat di dalam hadits ini biasa diartikan ketulusan jiwa terhadap pihak yang dinasehati; agar mengetahui kewajibannya kepada Allah, kepada kitabullah, kepada Rasulullah. Nasehat sedemikian penting dalam kehidupan umat Islam. Umat tidak boleh hidup cuek (La Mubalaah), tidak mau tahu dengan lingkungan sekitarnya, membiarkan apa saja terjadi, tanpa peduli. Setiap Muslim harus bersedia menasehati dan siap pula dinasehati.

Penjelasan :

1. Sungguh nasehat merupakan hal yang sangat penting dalam hidup ini. Kadang suatu bencana, malapetaka, musibah atau kerusakan tidak terjadi jika program nasehat ini berjalan baik. Dalam bahasa popular, nasehat ini bisa diterjemahkan sebagai social control.

Hadits ini menerangkan jenis nasehat itu beragam dan tidak hanya searah. Rasulullah juga merinci isi nasehat yakni untuk Allah, al-Qur’an dan Rasulullah. Dimensinya juga dirinci, ada nasehat kepada pemimpin sebagai nasehat dari bawah ke atas (bottom up), di samping nasehat yang bersifat horizontal, antar sesama Muslim. Sistem ini harus berjalan. Kalau terjadi penyumbatan, maka di sana akan terjadi ketidak seimbangan dalam hidup.

Kata dien juga bisa berarti amal, dan oleh karena amal inilah, dien disebut sebagai nasehat.

Saking pentingnya hadits ini oleh sebagian Ulama kedudukannya dikategorikan seperempat dien (agama). Demikian kata Imam Muhammad ibn Aslam at-Thusy. Bahkan kata Imam Nawawy hadits ini mencakup seluruh sasaran dien, sebab dien ini terangkum dalam poin-poin yang dijabarkan oleh hadits ini.

2. Nasehat untuk Allah (Nasihat Lillah)

Apa yang dimaksud dengan Nasehat untuk Allah? Maksudnya adalah beriman kepada Allah, tidak mensekutukanNya, tidak mengingkari sifat-sifatNya, menjauhkanNya dari berbagai kekurangan, mentaatiNya, menjauhi maksiat padaNya,

3. Nasehat demi Kitab Allah (Nasihat Likitabillah)

Maksud nasehat Likitabillah adalah mengimani al-Qur’an sebagai kalam Allah yang tidak serupa dengan kalam manusia manapun. Tak seorangpun yang sanggup menandinginya. Juga berarti berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an. Juga berarti mempelajari dan mengajarkan al-Qur’an, mendakwahkan isinya, dan membongkar kepalsuan orang-orang yang menyalahgunakannya.

4. Nasehat demi Rasulullah (Nasihat Li Rasulillah)

Nasehat untuk Rasul maksudnya mencontoh prilakunya, menghidupkan sunnahnya, menyebarkan hadits-haditsnya, mencintai Rasul dan keluarganya, menyampaikan nasehat atau pesan kepada orang agar berpegang kepada petunjuk-petunjuknya Saw.

5. Nasehat untuk Pemimpin (Nasihat Li A’immatil Muslimin)

Nasehat jenis ini menyangkut nasehat yang berdimensi vertical, dari rakyat kepada pemimpinnya. Inilah yang sering dilupakan kaum Muslimin, termasuk para ‘Ulama. Dari hadits ini kita ketahui bahwa Islam mengajarkan keharusan setiap Muslim menyampaikan nasehat kepada pemimpin mereka agar jangan sampai, kedudukan pemimpin yang berada di “atas” membuat rakyatnya takut menyampaikan nasehat. Akibatnya membuat pemimpin lupa akan kewajiban dan tanggung jawabnya kepada Allah Swt. Akhirnya mereka berbuat sesuka hatinya, memaksakan kemauannya dan menzalimi rakyatnya. Atau dalam bahasa kontemporer disebut pemimpin yang otoriter. Untuk mencegah hal itulah, sistem nasehat secara timbal balik perlu dijalankan. Jadi hadits ini bisa diartikan sebagai perintah agar perjalanan kepemimpinan harus diawasi dan tidak dibiarkan berjalan sendiri.

Diriwayatkan bahwa Abu Hurayrah berkata, Rasulullah bersabda :

إن الله يرضى لكم ثلاثا ويكره لكم ثلاثا رضي لكم أن تعبدوه ولا تشركوا به شيئا ، وأن تعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا ، وأن تناصحوا من ولي الله أمركم ، ويكره لكم قيل وقال ، وكثرة السؤال وإضاعة المال .

“Allah menyukai dari kamu tiga perkara dan membenci dari kamu tiga perkara pula : Allah meridhoi kalau kamu beribadah kepadaNya, tidak menyekutukan Dia dengan sesuatu apapun, berpegang teguh kepada tali Allah (al-Qur’an) seluruhnya, tidak berpecah belah, dan kamu sampaikan nasehat kepada pemimpin yang Allah berikan kepadanya kekuasaan memimpin kamu. Allah membenci dari kamu: mengutip ucapan si A dan ucapan si B (berpaling dari petunjuk wahyu kepada ucapan manusia), menyia-nyiakan harta, dan banyak bertanya.” Riwayat Ahmad, Malik, Bukhari dalam al-adab al-mufrad.

Namun menasehati pemimpin sudah barang tentu mempunyai etika sendiri, tidak semaunya saja, sehingga meruntuhkan martabatnya, melukai harga irinya di depan umum. Kepada sesama Muslimpun itu tidak diperkenankan, apalagi kepada pemimpin.

Masih dalam konteks menasehati pemimpin, berikut ini kami kutipkan penjelasan dari seorang ‘alim salaf, Abu Utsman yang lebih rinci bagaimana menjalankan program nasehat kepada pemimpin ini.

قال أبوعثمان : فانصح للسلطان وأكثر له الدعاء بالصلاح والرشاد بالقول والعمل والحكم فإنهم اذا صلحوا صلح العباد بصلاحهم وإياك أن تدعو عليهم باللعنة فيزدادوا شرا ويزداد البلاء على المسلمين ولكن ادع لهم بالتوبة فيتركوا الشر فيرتفع البلاء عن المؤمنين وإياك أن تأتيهم أو تتصنع لإتيانهم أو تحب أن يأتوك واهرب منهم ما استطعت ما داموا مقيمين على الشر فإن تابوا وتركوا الشر من القول والعمل والحكم وأخذوا الدنيا من وجهها فهناك ، فاحذر العز بهم لتكون بعيدا منهم قريبا بالرحمة لهم والنصيحة إن شاء الله .

Abu Utsman berkata : “Nasehatilah pemimpin, perbanyaklah doa untuk dia demi kebaikan dan kecerdasannya dalam perkataan, perbuatan dan memerintah. Sebab jika mereka baik, manusia ikut menjadi baik gara-gara mereka. Jangan sekali-kali engkau mendoakan kecelakaan mereka, sehingga keburukan mereka akan semakin parah dan bala akan semakin menimpa kaum Muslimin. Akan tetapi doakanlah mereka agar bertaubat, sehingga mereka meninggalkan keburukan dan terangkat pula bala’ (bencana) dari kaum Mukminin. Jangan engkau mendatangi mereka, atau sengaja mengada-ada untuk menjumpai mereka, atau engkau suka kalau mereka mendatangimu, dan berusahalah untuk lari dari mereka sedapat mungkin selama mereka mengerjakan keburukan. Jika mereka bertaubat, meninggalkan kejahatannya dalam perkataan, perbuatan, dan hukum kemudian mereka mengambil dunia dari pintunya yang benar, itulah yang diharapkan. Jangan engkau mencari kemuliaan dari mereka, agar supaya engkau jauh dari mereka, namun tetap dekat dengan kasih sayang serta nasehat terhadap mereka, insya Allah.”

Problem kepemimpinan di dunia Islam :

Di dunia Islam saat ini, kepemimpinan yang ada hampir tidak dapat dijadikan sebagai teladan, sebagaimana dahulu para pemimpin umat. Yang dijumpai sekarang adalah kepemimpinan yang otoriterianisme, serakah, korup, tidak memikirkan nasib rakyatnya, menganggap kursi kepemimpinan sebagai nikmat dan rejeki, bukan sebagai cobaan dan tugas, kepemimpinan boneka, dan seterusnya.

Rata-rata pemimpin di dunia Islam tunduk kepada kemauan Negara-negara kuat, bukan tunduk kepada Allah dan hukumNya. Mereka sangat takut kepada Negara adidaya dan cenderung “taat” kepada instruksi atau kemauan Negara kuat. Dalam perhitungan mereka, jika ada pemimpin tidak patuh kepada kemauan Negara kuat itu, ia akan diganggu dan digulingkan oleh konspirasi Negara adidaya tadi dengan berbagai cara. Atau juga mereka takut, kalau rahasia dan kelemahannya diungkap oleh Negara adidaya tadi sehingga dapat mengancam kedudukannya. Sebab masing-masing pemimpin yang ada sekarang mempunyai rahasia “catatan hitam” yang disimpan oleh Negara adidaya tadi, sewaktu-waktu catatan itu diungkit kembali, bila kepentingan Negara kuat tadi terusik. Catatan itu bisa menyangkut reputasi masa lalunya, juga bisa menyangkut cacat moralnya, dan seterusnya. Kadang mereka juga diancam, bila tidak mau mengikuti kemauan atau melindungi kepentingan Negara kuat, catatan hitam itu akan dibongkar ke publik. Inilah yang ditakutkan oleh para pemimpin itu.

Adapun kasus Sudan, persoalannya adalah ideologis, negeri di Afrika ini terus menerus diganggu oleh Negara adidaya, pemerintahannya terus digoyang, disebabkan Sudan tidak mau tunduk kepada kemauan Amerika dan tetap bersikeras menerapkan syari’at Islam dalam kehidupan public dan pemerintahannya. Sedang yang terakhir ini sudah menjadi harga mati bagi Negara adidaya itu. Bahkan tuntutan mereka agar pemerintah harus menumpas segala kekuatan yang ingin menjalankan syari’at Islam. Ini adalah paradigma mereka. Ketika Sudan menolak itu, bahkan menerapkan syari’at secara terprogram, di bidang hukum, peradilan, ekonomi, social, dan lainnya, maka yang terjadi adalah konspirasi global terhadap Negara Muslim yang satu ini.

Sudan dijatuhi hukuman embargo. Transfer uang dari dalam luar ke dalam dan sebaliknya praktis berhenti. Sudan digoyang dengan isu minoritas di wilayah Selatan dan dengan isu diskriminasi di Derfour. Padahal semua ini adalah fitnah belaka. Tokoh-tokoh Derfour yang berhasil direkrut oleh Amerika, dididik di Israel untuk menggulingkan pemerintahan Sudan. Wilayah Sudan Selatan disiapkan untuk pisah (merdeka) dari Negara Sudan. Yang anehnya, Negara-negara Arab umumnya tidak membela Sudan dalam kasus ini.

Di Negara Muslim lain, persoalannya mungkin berbeda-beda. Pemerintahan di Negara-negara Arab dan Islam cenderung tunduk kepada keinginan Amerika Serikat dan tidak berani menunjukkan sikap perlawanan, kendatipun kemauan Amerika itu sangat bertentangan dengan kemauan rakyatnya. Kalau AS meminta agar kelompok aktifis-aktifis Islam diberangus, maka pemerintah setempat hanya menjalankan keinginan itu. Soal tuduhan dan alasan pemberangusan bisa dibuat dan disiapkan oleh perangkat-perangkat keamanannya. Tuntutan AS umumnya agar membela mati-matian sekularisme dalam berbagai aspeknya yang tersebar di dunia Islam. Budaya barat harus diberi kebebasan untuk berkembang. Institusi dan kegiatan Islam harus dikerdilkan, dipersempit ruang geraknya, kalau perlu disudutkan dengan tuduhan terorisme. Beginilah agenda Amerika di dunia Islam. Para pemimpin itu hanya boneka yang digerak-gerakkan “tuan”nya sesuai kemauannya.

Kemudian sikap pemimpin itu sendiri kepada rakyatnya sangat tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Rakyatnya mereka biarkan hidup dalam kemiskinan yang memprihatinkan. Hasil bumi yang ada mereka biarkan dikuras dan dibawa oleh perusahaan asing ke luar negeri. Mereka membela kepentingan para pemilik modal besar, konglomerat, pengusaha besar di negerinya. Target pemimpin itu hanya bagaimana menikmati kekuasaan yang sedang dipegangnya, kemudian sedapat mungkin mewariskan kekuasaan itu kepada keluarganya. Oleh karenanya, catatan para pemimpin itu penuh dengan sikap korup, serakah, perpanjangan tangan dari Negara adidaya, sementara rakyatnya hidup dalam kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.

Di sinilah harusnya ‘Ulama sebagai pemimpin umat dalam wilayah dien, harusnya mengambil peran sebagai pemberi nasehat. Bukan sebagai penyair yang memuja-muji prilaku pemimpin. Kalau perlu mengkritik sikap yang keliru dari pemimpin, supaya kekeliruan itu tidak terus menerus berkelanjutan. Padahal contoh keteguhan sikap Ulama dalam sejarah Islam sangat kaya. Mereka rela pindah tidur ke sel penjara, demi menyuarakan kebenaran. Mereka rela dikucilkan dan difitnah penguasa demi mencari ridho Allah Swt. Imam Ahmad ibn Hanbal, mendekam di penjara hingga meninggal di dalamnya, karena keteguhannya membela ‘aqidah yang benar di masa rezim Muktazilah. Imam Abu Hanifah dan Syafi’i juga punya catatan sejarah berhadapan dengan penguasa di zamannya, karena tidak mau memenuhi permintaan penguasa. Contoh-contoh itu sangat kaya dalam sejarah umat Islam. Tetapi tidak sedikit orang berilmu (‘alim) di zaman ini menjadi pemuja penguasa.

Rasulullah Saw pun mengingatkan dalam salah satu haditsnya yang diriwayatan oleh Ka’ab ibn ‘Ujroh, ia berkata, pernah Rasul keluar menjumpai kami, lalu bersabda :

إنه سيكون بعدي أمراء فمن صدقهم بكذبهم وأعانهم على ظلمهم فليس مني ولست منه ، ومن لم يصدقهم بكذبهم ولم يعنهم على ظلمهم فهو مني وأنا منه ، وسيرد علي الحوض .

“Akan muncul setelah aku nanti Raja-raja (zhalim), maka siapa yang percaya pada kebohongan mereka dan membantu kezaliman mereka, ia tidak termasuk golonganku dan aku tidak termasuk golongannya. Tetapi siapa yang tidak percaya kepada kebohongan mereka dan tidak membantu kezaliman mereka, maka ia termasuk dalam golonganku, aku bagian darinya, dan ia akan datang kepadaku di telaga (haudh) di syurga.”

6. Nasehat untuk sesama umat (Nasihat Li ‘Ammatil Muslimin)

Nasehat ini berdimensi horizontal, antar sesama kaum Muslimin. Nasehat ini tidak kalah pentingnya dibanding nasehat sebelumnya. Sebab apabila masyarakat itu menjadi baik, Allah akan pilihkan kepada mereka pemimpin yang baik pula. Demikian pula sebaliknya. Jadi perbaikan masyarakat melalui nasehat ini mutlak diperlukan. Apa saja program yang harus dijalankan dalam konteks ini? Di antaranya menanamkan kasih sayang kepada sesama Muslim, membela kepentingan kaum Muslimin, tidak menyakiti mereka, mengingatkan mereka agar senantiasa menjaga ketakwaan dan kesalehan, dan seterusnya. Penjual wajib mengingatkan pembeli akan barang yang dijualnya.

Diceritakan bahwa dulu Jarir, seorang Sahabiy, kalau mau menjual barangnya, ia menceritakan kepada pembeli tentang cacat-cacat barang itu, kemudian memberi kebebasan memilih. Iapun berkata : Kalau anda berminat, silakan beli, kalau tidak, silakan tinggalkan. Lalu ada yang berkata kepadanya : kalau anda menjual seperti ini, tidak akan ada orang yang membelinya. Ia menjawab : “Kami sudah berbai’ah kepada Rasul agar menyampaikan nasehat kepada setiap Muslim.”

Jadi, Jarir tidak peduli barangnya tidak laku gara-gara ia menceritakan cacar barang yang dijualnya. Tetapi yang lebih penting baginya, menjalankan pesan Nabi Saw agar memegang nasehat kepada setiap Muslim.

Bisa anda bandingkan kondisi pedagang di zaman Nabi dan pedagang di zaman sekarang. Di zaman ini, pedagang sengaja menyembunyikan cacat barangnya, asal barang itu terjual seluruhnya, padahal uang yang masuk ke kantongnya adalah uang haram. Kemana kita mencari kejujuran di zaman ini? Di mana ditemukan amanah saat ini? Pertanyaan yang susah dijawab. Korupsi merajalela, amanah hanya tinggal nama, kejujuran hampir tak dijumpai lagi. Masing-masing orang memburu dunia agar cepat kaya dengan cara apapun jua.

Kalau kita perhatikan di masyarakat saat ini, nasehat jenis ini sebagian sudah berjalan, tetapi tidak optimal. Ia berjalan melalui khutbah jum’at, pengajian di masjid-masjid, dan pendidikan di sekolah-sekolah agama. Namun, yang terbanyak dari umat ini, tidak datang ke Masjid, tidak menghadiri pengajian. Sehingga praktis, system ini kurang berjalan merata. Keberadaan umat terbanyak ada di pasar, pusat perbelanjaan, di tempat mereka bekerja, atau di duduk di depan televise. Sayangnya, tempat-tempat ini sudah didominasi oleh kalangan yang tidak suka kepada Islam. Media kita sudah dikuasai oleh barat. Sehingga program dan isinya tidak jauh-jauh dari pornografi, musik, sport. Publik opini masyarakat juga sudah dikendalikan oleh Barat dan kaki tangannya melalui penguasaan mereka terhadap media, komunikasi dan ekonomi. Seharusnya umat Islam bangkit merebut pos-pos yang efektif mempengaruhi public opini agar apa yang tertuang dalam Hadits Nabi ini berjalan dengan baik.

Sekali lagi hadits ini masih tergolong singkat tetapi isinya mencakup seperempat ajaran Islam.

Hadits ke 9

 عن أبي هريرة عبد الرحمن بن صخر رضي الله عنه قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : ( ما نهيتكم عنه فاجتنبوه وما أمرتكم به فأتوا منه ما استطعتم ، فإنما أهلك الذين من قبلكم كثرة مسائلهم واختلافهم على أنبيائهم ) رواه البخاري ومسلم .

Artinya : DIriwayatkan dari Abu Hurayrah R.a, ia berkata, aku mendengar Rasulullah Saw bersabda : “Apa yang kularang pada kalian, maka jauhilah perbuatan itu , dan apa kuperintahkan kepada kamu, laksanakanlah sesuai kemampuanmu. Sungguh kehancuran orang-orang sebelum kamu dahulu, adalah disebabkan karena banyaknya pertanyaan mereka dan menyalahi (membantah) Nabi-nabi mereka.” Dilaporkan oleh Imam al-Bukhary dan Muslim.

Latar Belakang Munculnya Hadits : Hadits ini mempunyai latar belakang kemunculannya. Dalam beberapa versi riwayat, seperti riwayat Muhammad Ibn Ziyad dari Abu Hurayrah, radhiyallahu ‘anhu, disebutkan, bahwa Rasul pernah berkhotbah yang isinya menerangkan bahwa Allah Swt mewajibkan haji kepada orang-orang Mukmin, oleh karenanya kewajiban ini harus dilaksanakan.

Tiba-tiba seseorang bertanya, apakah haji dilaksanakan setiap tahun? Namun Nabi diam, tidak menjawab. Hingga orang tersebut mengulangi pertanyaannya tiga kali. Kemudian Rasul menjawab: “Kalau saya katakana ‘ya’, niscaya ia akan menjadi (setiap tahun) dan kalian tidak akan sanggup. Kemudian Rasul melanjutkan ucapannya: “Cukupkan apa yang saya tinggalkan untuk kalian. Sesungguhnya kehancuran orang sebelum kamu dahulu, adalah karena banyak bertanya dan menyalahi (petunjuk) Nabi-nabi mereka. Bila kuperintahkan kalian untuk melakukan sesuatu, maka laksanakanlah menurut kadar kemampuanmu. Tetapi bila kularang dari suatu perbuatan, maka tinggalkanlah sepenuhnya.” Dalam suatu riwayat dikatakan, maka turunlah ayat al-Qur’an dalam surat al-Ma’idah 101: “Hai orang-orang beriman! Jangan kamu bertanya tentang berbagai masalah, karena jika dinyatakan (jawabannya) kepada kamu, niscaya akan menyusahkan kamu.” Penjelasan Hadits: Hadits ini menganduing beberapa pengajaran, di antaranya: 1. Sikap seorang Muslim terhadap perintah dan larangan dien/syari’at (agama). Ada perbedaan sikap antara perintah dan larangan. Bila ada suatu perintah dari Allah atau RasulNya, yang bersifat umum, tanpa penjelasan rincian, maka sikap Muslim adalah menjalankan perintah itu sesuai kemampuannya.

Umpamanya, ada perintah melaksanakan Haji. Perintah itu tidak menentukan agar dilaksanakan setiap tahun atau berapa tahun sekali, maka seharusnya perintah itu tidak perlu ditanyakan rinciannya. Apabila dipenuhi pelaksanaannya menurut kemampuan seseorang (walau sekali), berarti perintah itu sudah dilaksanakan. Berbeda halnya dengan larangan. Bila dien/syari’at melarang sesuatu, maka perbuatan itu harus ditinggalkan sepenuhnya, bahkan harus dijauhi. Umpamanya zina diharamkan. Maka perbuatan zina harus dijauhi dalam segala bentuknya, seperti berduaan tanpa mahram, mengunjungi tempat-tempat maksiyat, menonton film yang dapat merangsang nafsu, berpacaran, dan sejenisnya. Akan tetapi bila sebuah kewajiban itu diterangkan dengan rinci, maka tidak dapat dilaksanakan sebatas kemampuan, melainkan harus dipenuhi standar yang diminta. Umpamanya kewajiban Shalat lima waktu. Kewajiban ini tidak dapat ditawar menjadi tiga kali shalat saja. Begitu juga kewajiban berpuasa Ramadhan sebulan penuh, tidak bisa ditawar menjadi setengah bulan, atau seminggu saja, dengan alasan sebatas kemampuan.

Akan tetapi ia harus dilaksanakan sesuai dengan standar aturannya. Begitu juga lama (durasi)nya, mulai terbit fajar hingga terbenam matahari, tidak dapat ditawar agar kurang dari waktu itu, karena alasan kemampuan, padahal orang tersebut normal. Kondisi tidak normal: Memang ada kalanya dalam pelaksanaan Ibadah, batas kemampuan sangat diperhatikan, yaitu bila terjadi keadaan tidak normal, seperti kesehatan, atau keadaan sulit dalam perjalanan. Hal ini didasarkan pada kaidah umum dalam Syari’at Islam yaitu ‘mudah’ dan ‘ringan’. Kaidah ini bersumber dari ayat al-Qur’an : “Allah tidak membuiat kamu menjadi sulit dalam (melaksanakan) dien.(agama)”.(al-Hajj 78). Tampak sekali penerapan kaidah tersebut dalam pelaksanaan ibadah.

Seperti keharusan berwudhu’ ketika hendak shalat. Apabila seseorang kesulitan mendapatkan air, atau air tersedia tetapi tidak dapat dipakai karena factor kesehatan, maka berdasarkan hukum syari’at, boleh menggunakan tanah atau debu (tayammum) sebagai pengganti wudhu’, Setelah bertayammum, seseorang melaksanakan shalat seperti biasa. Begitu juga dalam pelaksanaan shalat itu sendiri. Bila seseorang tidak dapat berdiri, karena sakit, maka ia boleh sahalat dalam posisi duduk, bahkan kalau tidak mampu duduk, boleh berbaring. Bukankah ini keringanan syari’at karena mempertimbangkan keadaan pribadi seseorang. Demikian pula dalam hal puasa.

Bila seseorang berada dalam perjalanan ke luar kota (musafir), maka ia memperoleh keringanan untuk tidak berpuasa, tetapi wajib mengulanginya pada hari-hari lain setelah Ramadhan sebanyak hari yang ditinggalkannya. Masalah pertanyaan Masalah pertanyaan termasuk tema sentral yang diterangkan di dalam hadits di atas. Tidak bisa dipungkiri, bahwa dien ini (Islam) adalah dien yang sarat dengan ilmu pengetahuan. Sedangkan salah satu kunci untuk memperoleh ilmu adalah dengan bertanya. Sementara isi hadits di atas, larangan untuk banyak bertanya. Apakah di sana terdapat pertentangan? Jawabannya: “tidak”. Bila kita perhatikan watak (karakter) sebuah pertanyaan, terdapat jenis-jenis yang beragam tentang pertanyaan. Ada

Hadits ke 10

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إن الله طيب لا يقبل إلا طيبا ، وإن الله أمر المؤمنين بما أمر به المرسلين فقال تعالى : ( يا أيها الرسل كلوا من الطيبات واعملوا صالحا (المؤمنون 51) وقال تعالى : ( يا أيها الذين آمنوا كلوا من طيبات ما رزقناكم (البقرة 172) ثم ذكر الرجل يطيل السفر أشعث أغبر يمد يديه إلى السماء يا رب يا رب ، ومطعمه حرام ، ومشربه حرام ، وملبسه حرام ، وغذي بالحرام ، فأنى يستجاب له (رواه مسلم ).

Artinya :

Diriwayatkan dari Abu Hurayrah r.a ia berkata, bahwa Rasulullah Saw bersabda : “Sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik saja. Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman seperti apa yang Dia perintahkan kepada Para Rasul. Allah berfirman :

Hai Rasul-rasul! Makanlah sebagian dari yang baik-baik dan berbuatlah amal yang baik. (surat al-Mukminun : 51) dan Allah berfirman : “Hai orang-orang beriman. Makanlah makanan yang baik yang Kami berikan kepada kalian.” (al-Baqarah : 172) Lalu Rasulullah bercerita tentang seorang lelaki yang menempuh perjalanan jauh, hingga rambutnya kusut dan kotor, iapun menadahkan kedua tangannya ke langit (sambil berseru) ‘Ya Rob. Ya Rob’ sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia kenyang dengan barang haram. Bagaimana mungkin doanya dikabulkan?” Dilaporkan oleh Muslim dalam “Shahih”nya.

Tema Sentral hadits ini :

Tema Hadits ke 10 ini menjelaskan dua hal; Pertama, amal yang dipersembahkan kepada Allah Swt haruslah amal terbaik dan terbersih. Kedua, Doa yang diperkenankan oleh Allah adalah doa yang dipanjatkan oleh orang yang relative bersih.

Penjelasan :

Allah hanya menerima amal yang baik:

Dari Hadits di atas, kita dapat fahami bahwa tak semua amal yang dilakukan oleh manusia, diterima oleh Allah Swt. Jadi setiap orang yang beramal seharusnya juga memperhatikan hal ini. Di dalam hadits di atas Rasulullah Saw menegaskan mana amal yang diterima Allah itu, yaitu hanya amal yang baik dan yang bersih saja. Sedangkan amal yang tidak baik dan bercampur dengan hal-hal yang haram dan kotor, dipastikan amal itu tidak akan diterima oleh Allah.

Lalu apakah amal yang baik? Amal yang baik bisa berupa ucapan atau perbuatan. Ucapan yang diterima oleh Allah ialah zikrullah, tilawatul Qur’an, nasehat dan ucapan yang mengajak orang ke jalan Allah. Bukan sebaliknya ucapan kotor, dan menyebarluaskan kesesatan dan pikiran-pikiran yang bertentangan dengan dien Islam. Bukankah banyak ucapan/perkataan orang, baik disampaikan melalui obrolan, ceramah, diskusi, orasi yang tidak sejalan dengan ajaran Islam? Maka ucapan semacam ini tidak akan diterima oleh Allah. Jadi pembicaraan itu akan menjadi sia-sia belaka dan orang Mukmin selalu menghaindar dari perilaku sia-sia, termasuk di dalamnya lawak lucu-lucu yang mengundang orang untuk tertawa. Perhatikan firman Allah Swt dalam Surat Fathir : “KepadaNya lah naik (disambut) perkataan-perkataan baik, dan amal yang saleh dinaikkanNya. (Fathir : 10).

Sedangkan amal perbuatan yang diterima oleh Allah adalah amal yang bersih dari segala yang mengotorinya seperti syirik, riya’ dan ‘ujub. Di samping amal itu tidak bercampur dengan benda lain yang haram.

Makanan yang Halal :

Di dalam hadits di atas dengan jelas Rasulullah menekankan agar orang mukmin menghindari dan menjauhi makanan haram. Makanan haram, bisa jadi karena dua hal : 1. Benda yang dimakan itu sendiri adalah benda yang diharamkan seperti babi dan unsur-unsurnya, 2. Uang yang dikonsumsi adalah uang haram, karena diperolah dari sumber yang haram. Sungguh memprihatinkan keadaan sebagian umat Islam di negeri Muslim yang tidak peduli dengan mata pencahariannya dan uang yang diperolehnya. Mereka hidup dari yang haram. Sebagian dari merampas dan memeras uang rakyat. Sebagian hidup dari mempertontonkan aurat dan tubuhnya di depan public, bahkan menjual kehormatannya asal mendapatkan imbalan uang yang banyak. Sebagian dari transaksi bisnis yang tidak halal karena menggunakan uang riba, hasil tipuan, curang dan lainnya. Dari sumber itulah mereka hidup dan menghidupi keluarganya, bagaimana mungkin doa mereka dikabulkan oleh Allah ?

Di dalam Islam tidak ada money laundrey

Ada sebagian orang berprasangka, bahwa uang haram yang dia peroleh selama ini, untuk membersihkannya, ia infaqkan ke jalan Allah, atau ia pakai untuk biaya umroh dan haji. Pandangan seperti ini jelas keliru dan ditolak oleh hadits di atas. Harta yang diperoleh dari sumber yang kotor atau tidak halal, tidak akan bisa dibersihkan dengan cara apapun. Ia tidak akan menjadi bersih dengan dibawa haji atau umroh, atau disedekahkan sebagian kepada anak yatim. Harta yang tidak halal satu-satunya jalan, adalah dengan mengembalikannya kepada sumber aslinya. Jika ia berasal dari uang Negara atau uang rakyat, maka dikembalikan kepada Negara atau rakyat. Bila ia berasal dari uang milik pribadi seseorang, maka harus dikembalikan kepada pemiliknya yang sah. Jadi tidak ada system cuci uang dalam Islam. Yang haram, tetap haram, dan ia tidak dipandang oleh Allah Swt.

Jadi uang hasil korupsi atau hasil tipuan, perasan, dan sejenisnya bila dipakai untuk biaya haji atau ibadah lainnya, maka ibadah itu tidak akan diterima oleh Allah Swt.

Doa-doa yang diijabah oleh Allah :

Dalam hadits di atas disinggung juga soal doa. Pada dasarnya setiap hamba Allah wajib memanjatkan doa kepada Allah agar ia senantiasa berada dalam lindungan dan pemeliharaan Allah Swt. Demikian juga untuk menutup segala kebutuhannya. Namun untuk berdoa seharusnya diperhatikan pula berbagai persoalan yang terkait dengan doa, seperti apa saja yang membuat doa agar diijabah oleh Allah Swt.

Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurayrah, disebutkan sabda Rasul Saw bahwa ada tiga doa yang dikabulkan oleh Allah Swt yaitu : 1. Do’a orang yang sedang musafir. 2. Doa orang yang terzalimi. 3. Doa orang tua terhadap anaknya.

Begitu juga sebaliknya, ada hal-hal yang membuat doa seseorang terhalang dan tidak terkabul. Doa siapakah itu? Yaitu doa orang yang disebutkan di dalam hadits di atas.; do’a orang yang sumber kehidupannya berasal dari yang haram. Sabda Nabi : “Makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, perutnya kenyang dari yang haram. Bagaimana mungkin do’anya terkabul?” Kenapa demikian? Karena pekerjaan yang memberikan hasil kepadanya adalah pekerjaan haram. Di sinilah setiap orang harus melakukan introspeksi, apakah pekerjaannya sekarang termasuk yang halal atau justru yang haram. Semua ini memerlukan kejujuran. Dan semua harus diukur dengan timbangan syari’at Islam dan ditanyakan kepada yang ahlinya.yang jujur. Apabila ternyata pekerjaan itu tergolong pekerjaan yang diharamkan, maka seharusnya seorang Muslim tidak ragu-ragu melepaskannya dan mencari pekerjaan lain yang halal, kendatipun hasilnya lebih kecil dari yang ada sebelumnya. Yang harus dijadikan standar adalah kualitas pencaharian (HALAL HARAM), bukan jumlah yang dihasilkan (besar).

Hadits ke 14

عن ابن مسعود رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( لا يحل دم امرئ مسلم إلا بإحدى ثلاث : الثيب الزاني ، والنفس بالنفس ، والتارك لدينه المفارق للجماعة ) رواه البخاري ومسلم .

Artinya :

Tidak halal darah seorang Muslim melainkan disebabkan oleh tiga hal : orang yang pernah menikah berzina, jiwa (dibalas) dengan jiwa, dan orang yang melepaskan agamanya (Islam), memecah belah agama.” Dilaporkan oleh Imam al-Bukhory dan Muslim.

Tema Sentral :

Tema Sentral  hadits ini adalah perlindungan terhadap Hak Asasi Muslim. Islam sudah meletakkan dasar dan fundasi Hak Asasi sejak seribu empat ratus tahun yang silam, jauh sebelum deklarasi Hak Asasi Manusia di Barat. Islam mendeklarasikan bahwa darah manusia tidak boleh ditumpahkan. Menghilangkan nyawa manusia adalah kejahatan superberat yang ancamannya masuk neraka dan kekal di dalamnya. Di duniapun pelaku pembunuhan tidak aman-aman saja. Akan tetapi diganjar dengan hukuman maksimal, yakni hukuman mati. Kenapa Islam mengancam kejahatan terhadapan jiwa manusia demikian berat? Tidak lain karena Islam sangat menghargai nyawa manusia dan kehidupan. Beda halnya dengan hukum di Barat. Di satu sisi mereka berteriak tentang HAM, tetapi di lain sisi, hukuman terhadap pembunuhan tidak sebanding dengan kejahatan pembunuhan itu sendiri. Buktinya umumnya Negara-negara barat menghapuskan hukuman mati dari dunia legislasinya. Hukuman bagi kejahatan pembunuhan adalah hukuman penjara yang lamanya bervariasi. Tidak menggambarkan penghargaan kepada hidup itu sendiri. Apalagi tinggal di dalam penjara mereka, seperti tinggal di hotel, berbagai fasilitas disediakan. Narapidana “makan tidur” di dalam sel tahanan. Dia hanya sekadar “pindah tidur” dari rumahnya ke rumah tahanan. Lalu Baratlah yang berteriak-teriak tentang perlindungan Hak Asasi Manusia. Entah logika apa yang mereka gunakan!

Akhir-akhir ini Islam sering disoroti oleh dunia barat sehubungan dengan persoalan HAM. Barat sering menempelkan tuduhan kepada Islam gara-gara persoalan yang terjadi di negeri Muslim. Padahal Islam sebagai syari’at harus dibedakan dengan Negara yang berpenduduk mayoritas Muslim. Karena tidak semua Negara berpenduduk Muslim itu menjalankan Syari’at sebagai hukum Nasionalnya. Justru kebanyakan mereka adalah Negara sekuler yang menjiplak hukum Barat. Lalu bagaimana mungkin pelanggaran HAM diidentikkan dengan pelanggaran Islam terhadap HAM. Sebuah sikap curang dan keji.

Barat menuduh, bahwa Negara mayoritas Muslim banyak melakukan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Kalaupun laporan itu benar untuk beberapa Negara, tetapi tindakan pelanggaran itu dilakukan oleh Negara sekuler yang kebetulan penduduknya mayoritas Muslim. Pemerintah yang melanggar HAM itu justru pemerintahan yang tidak suka kepada Islam dan para aktifis Islam.

Namun ada juga Negara yang berdasarkan Islam menjadi sasaran tuduhan Barat itu. Tentu kasusnya menjadi berbeda. Biasanya untuk yang terakhir ini, tuduhan itu lebih merupakan konspirasi dunia Barat terhadap Negara-negara Muslim yang menjalankan Syari’at Islam. Karena ketidak sukaan Barat kepada Syari’at Islam, maka Negara yang menjalankan syariatpun menjadi sasaran tembak Negara-negara barat untuk didiskreditkan, diburuk-burukan, agar kehilangan kepercayaan dari bangsanya dan dunia Internasional

 

 

Penjelasan :

Hadits ini merupakan penjelasan bahwa darah manusia Muslim harus dilindungi dan tidak boleh ditumpahkan karena alasan apapun selain alasan yang disebutkan oleh Hadits di atas. Rasulullah Saw hanya mengakui tiga sebab kenapa darah seorang Muslim boleh ditumpahkan. Di luar tiga factor itu, darahnya harus dilindungi. Tiga factor itu ialah : 1. Karena melakukan zina, yang hukumannya rajam. Seperti diketahui di dalam hukum Pidana Islam, kejahatan zina (melakukan hubungan seksual di luar ikatan pernikahan yang sah) mengakibatkan hukuman rajam atas pelakunya apabila ia sudah pernah menikah sebelumnya. Kalau pelaku zina itu belum pernah menikah, maka hukumannya dicambuk sebanyak seratus kali. Dan sudah barangtentu, perbuatan zina itu harus terbukti dengan disaksikan oleh empat orang saksi laki-laki, atau pengakuan dari si pelaku. Tanpa itu, hukuman rajam dan jilid (cambuk) tak dapat dijatuhkan. 2. karena melakukan pembunuhan yang disengaja atau direncanakan, maka si pembunuh bisa dijatuhi hukuman mati (qisos). Adapun jika pembunuhan itu tersalah maka hukumannya adalah membayar ganti rugi (diyat). 3. karena melakukan kejahatan murtad (keluar dari Islam). Orang yang keluar dari agama Islam dijatuhi hukuman mati, setelah berbagai usaha untuk mengajak dia kembali kepada Islam, gagal dan ia bersikeras dalam kekafirannya.

Ketiga kejahatan tersebut hukumannya adalah hukuman mati dengan ketentuan rincian seperti dijelaskan tadi. Jadi di luar kejahatan tersebut, seseorang tak dapat dihukum mati. Beginilah Islam melindungi darah seorang Muslim. Ini juga termasuk jaminan atas Hak Asasi Manusia dalam Islam. Kendatipun yang disebut dalam hadits ini darah seorang Muslim, tetapi itu juga berlaku bagi darah non Muslim, karena mereka hidup di bawah perlindungan Negara Islam.

Kalau Anda bandingkan dengan kenyataan di berbagai Negara yang tidak menjalankan syari’at Islam, maka pembunuhan di negeri itu tak beraturan dan cenderung merajalela. Apalagi kasusnya bernuansa politik, maka banyak orang mati tidak jelas statusnya dan apa kesalahannya. Akibat perbedaan pandangan politik, oposisi terhadap penguasa, menentang kebijakan pemerintah, banyak orang kehilangan jiwanya. Apalagi di negeri ini, kalau kita runut kejadian demi kejadian, tak dapat lagi kita hitung berapa jumlah nyawa yang melayang sia-sia, tak jelas apa salahnya, akibat kekejaman rezim dan kesewenang-wenangan penguasa. Berapa nyawa yang hilang di Aceh? Berapa yang mati di Lampung, Tanjung Priok dan tempat-tempat lainnya? Hampir setiap konflik antara masyarakat (rakyat) dengan penguasa mengakibatkan hilangnya nyawa pihak yang lemah.

Belakangan ini ada lagi tuduhan baru yang lebih kejam, yaitu “terorisme”. Dengan alasan memerangi terorisme, banyak orang Muslim kehilangan nyawa, tanpa ada penulusuran mendalam dan fair tentang masalah yang dituduhkan kepadanya.

Islam sangat menghargai nyawa dan darah manusia. Darah siapapun tak boleh ditumpahkan tanpa alasan yang disebutkan oleh hadits ini. Bandingkan pula dengan Amerika Serikat yang membantai nyawa manusia Muslim di sejumlah Negara, tanpa alasan yang jelas. Kalaupun mereka menyebutkan alasannya, jelas alasan itu dibuat-buat dan mengada-ada. Amerika tidak lebih hanya mempertontonkan kesombongannya di mata dunia, tetapi di sisi lain, ia berteriak tentang HAM. Bak kata pepatah, “maling teriak maling”. Berapa nyawa umat Islam yang melayang di Afghanistan. Berapa nyawa yang hilang di Irak, Kashmir, Philipina Selatan, Somalia? Lebih dari itu, berapa nyawa rakyat Palestina yang hilang di tangan serdadu Israel sejak puluhan tahun lalu, semenjak Israel menduduki wilayah Palestina? Di mana suara Amerika yang sering meneriakkan HAM dan mengklaim dirinya sebagai pembela HAM? Bahkan Amerika lah pelanggar HAM terbesar di dunia, khususnya dunia Islam.

Hadits Ke 15

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ( من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت ، ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم جاره ، ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم ضيفه ). رواه البخاري ومسلم .

Artinya :

Diriwayatkan dari Abu Hurayrah –radhiyallahu ‘anhu- bahwa Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda : “Siapa yang beriman (percaya) kepada Allah dan Hari Akhir, maka haruslah ia berkata yang baik atau (kalau tidak) diam. Siapa yang beriman (percaya) kepada Allah dan Hari Akhir, maka haruslah ia memuliakan jiran (tetangga)nya. Dan siapa yang beriman (percaya) kepada Allah dan Hari Akhir, maka haruslah ia memuliakan tamunya. Dilaporkan oleh Imam al-Bukhory dan Muslim.

Tema Sentral :

Tema Sentral Hadits ini mengenai akhlak dalam pergaulan, mencakup konsep hubungan antar individu dalam masyarakat, agar hubungan baik tetap terjaga, keharmonisan terpelihara, saling menjaga kehormatan sesama warga masyarakat. Hadits ini juga mencakup konsep hubungan bertetangga (jiran) dan tamu. Islam adalah dien yang sarat dengan etika dan kesantuan. Dalam pergaulan Islam mengajarkan kepada umatnya untuk efisien dalam berbicara. Islam menekankan sekali –tidak sekadar menghimbau- penghormatan kepada tetangga dan tamu. Sebuah ajaran etika yang luar biasa indahnya, sampai-sampai etika itu dikaitkan dengan keimanan kepada Allah dan hari akhir. Konsekuensi beriman kepada Allah dan hari akhir mengharuskan seseorang untuk memuliakan tetangga dan tamunya. Adakah ajaran seindah ini dalam agama lain?

Penjelasan :

Hadits ini menerangkan tiga hal yang terkait dengan aspek akhlak dalam pergaulan sehari-hari: 1. sedikit bicara, 2. Kewajiban menghormati tetangga, dan 3. Memuliakan tamu.

1. Menjaga lisan. Mulut sering dikatakan sumber bencana. Pepatah orang tua mengatakan: “Mulutmu harimaumu.”. Hubungan baik selama puluhan tahun, bisa hancur berantakan, gara-gara mulut. Hubungan kekerabatan bisa terancam putus lantaran mulut. Bahkan antar Negara bisa tegang dan bisa perang, gara-gara bahaya mulut. Oleh sebab itulah Islam menaruh perhatian serius pada ucapan yang keluar dari mulut manusia.

Dalam hadits ini, petunjuk Nabi sederhana tapi maknanya dalam sekali, bila diterapkan maka hubungan baik tetap terpelihara dan kemungkinan terjadinya keretakan, apalagi konflik sosial adalah sangat kecil. Kata beliau : “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, haruslah ia berbicara yang baik atau diam.”

Dengan tuntunan hadits ini setiap Muslim yang merasa beriman, secara otomatis akan terpanggil memenuhi tuntutan itu. Sebab kalau tidak, berarti ia tidak tergolong beriman. Tuntutan itu ialah berbicara yang baik. Setiap Mukmin bila ingin berbicara, harus memikirkan apa yang akan ia ucapkan dan dampaknya, apakah tergolong ucapan yang bernilai atau tidak. Bila ucapannya itu tak bermanfaat, ia harus diam.

Ucapan yang baik itu sangat banyak, di antaranya mengajak orang untuk mempercayai Allah Swt dan RasulNya Saw, menyampaikan kebenaran, mengingatkan orang agar tidak jatuh dalam kesalahan dan kejahatan, menyampaikan pesan-pesan Islam, memberikan informasi yang menguntungkan orang lain, mengucapkan kata-kata yang menggembirakan orang lain, menyampaikan informasi yang benar, dan masih banyak lagi.

Adapun ucapan yang tidak baik juga banyak, di antaranya: mengadu domba antara dua pihak, mengada-adakan ucapan yang tidak ada, berbohong, menggunjing orang lain, menyampaikan omongan satu orang kepada orang lain, gossip, menebar isu yang tidak benar, mendiskreditkan orang, mendiskusikan hal-hal yang dilarang, berdebat yang tidak menghasilkan manfaat, atau juga berlebihan dalam berbicara, karena yang baik, adalah berbicara seperlunya, tidak berlebihan..

Rasulullah dalam hadits ini memberi dua pilihan, kalau berbicara, harus berbicara yang baik, kalau tidak, harus memilih diam, tidak berbicara.

Media kita memprihatinkan:

Berbicara tentang ucapan, mengingatkan kita pada kondisi media kita di negeri ini, yang kebanyakan programnya –walau tidak seluruhnya- tak bermanfaat. Media sekarang justru merangsang orang untuk banyak berbicara, sekalipun ucapan itu tidak bermanfaat sama sekali. Bahkan media sekarang “mencari makan” dari mulut, dengan cara menyebar isu, memanaskan situasi, menggalakkan perdebatan, memproduksi acara-acara gossip menyangkut pribadi orang, keluarganya dan seterusnya.

Masih ingatkah Anda seorang public figure menikah lagi untuk yang kedua? Semua media, khususnya televisi meramaikan berita ini dan mengangkatnya menjadi topic utama dalam acara-acaranya. Sepertinya dunia mau runtuh, gara-gara seorang tokoh menikah lagi. Begitulah kesan yang ditangkap dari polemic itu. Direncanakan atau tidak, pihak media merangsang publilk untuk mengomentari figure tadi berikut keluarganya. Bahkan ujungnya membenci orang tersebut, karena seolah-olah dia telah melakukan sesuatu yang terlarang, perbuatan jahat. Sementara orang yang melakukan perbuatan zina dan selingkuh tak segencar itu perhatian media. Inilah yang biasa disebut dengan “pembunuhan karakter”. Sebenarnya masalah itu sangat terlarang dibicarakan di dalam Islam. Ini masalah gosip, gunjing (ghibah), dosanya sangat berat bagi pelakunya. Namun karena media kita tidak peduli dengan akhlak dan etika, membuat mereka semaunya mengangkat isu untuk jadi bahannya, yang penting laku dijual, karena orang banyak menjadi penasaran.

Jadi pertimbangan utamanya adalah bisnis. Hampir setiap ada kasus menyangkut rumah tangga artis di negeri ini, tak luput dari inceran media dan menjadi bahan sorotan media dan akhirnya menjadi konsumsi masyarakat. Inilah yang disebut dengan media tidak mendidik, atau dengan kata lain media merusak.

Jadi dari Hadits ini kita belajar, agar kita mengendalikan mulut dalam berbicara. Setiap kita ingin mengeluarkan ucapan, haruslah mempertimbangkan baik buruknya ucapan itu. Kalau ternyata ucapan itu buruk, atau tidak bermanfaat, maka sikap kita harus menutup mulut.

2. Tetangga

Ternyata dari keterangan Hadits di atas, hubungan bertetanggapun menjadi perhatian khusus dalam Islam. Hingga Rasulullah mengaitkan antara Iman dengan keharmonisan bertetangga. Logikanya, orang yang menyakiti tetangganya, Imannya dapat dipertanyakan.

Berikut ini saya akan paparkan kisah menakjubkan dalam akhlak bertetangga yang ditampilkan oleh seorang Imam terkenal. Akhlak yang hampir tak terdengar semisalnya di umat manapun. Beliau adalah Imam Abu Hanifah, pendiri Mazhab fiqh Hanafy. Diceritakan, bahwa Imam yang satu ini hidup bertetangga dengan seorang Yahudi. Setiap subuh, ketika sang Imam keluar rumah menunaikan shalat subuh di Masjid, sang Imam menemukan sampah berserakan di depan pintu rumahnya. Untuk pertama kali, beliau agak terkejut, namun beliau tidak bercerita kepada siapapun tentang kasus ini. Tiap subuh ia mengumpul sampah yang berserakan itu lalu membuangnya, kemudian ia pergi ke Masjid. Begitulah tiap pagi kegiatan beliau. Namun tak ada yang mengetahui kejadian ini, karena sang Imam tidak memberitahukannya. Sekian lama hal itu terjadi. Suatu ketika, sang tetangga, Yahudi itu berurusan dengan pegadilan karena sesuatu kasus, hingga menyeretnya ke penjara. Beberapa lama ia sempat mendekam di penjara. Abu Hanifah agak heran kenapa selama waktu itu tak ada lagi sampah yang berserakan di halamannya. Dalam kasus Yahudi itu Abu Hanifah diminta sebagai saksi atas dirinya, maka Imam Abu Hanifah baru mengetahui bahwa tetangganya di penjara, lalu ia meminta pengadilan untuk melepaskannya. Yahudi itupun dikeluarkan dari penjara atas referensi sang Imam. Ketika ditanya oleh Hakim, kenapa Anda meminta supaya orang ini dilepaskan, Imam menjawab, selama dia di tahanan, saya tidak dapat pahala, karena tak ada sampah yang berserakan di halaman saya. Yahudi itupun menyadari bahwa yang meminta supaya ia dilepaskan adalan tetangganya yang sering dizaliminya itu. Akhirnya sang Yahudi setelah keluar dari penjara, mendatangi Imam Abu Hanifah dan mengumumkan dirinya bersyahadat (masuk Islam).

Anda dapat melihat betapa kesabaran yang luar biasa dari sang Imam menghadapi keburukan tetangganya. Beginilah akhlak yang ditanamkan oleh Islam kepada umatnya.

Bila hadits ini mengajarkan agar memuliakan tetangga, maka menyakiti tetangga hukumnya haram dan tergolong dosa besar, yang pelakunya diancam dengan neraka, bila tidak bertaubat.

Menyakiti tetangga kadang tidak disadari kebanyakan orang. Di antaranya mengeraskan suara televisi, radio dan tape sehingga mengganggu kenyamanan tetangga. Membakar sampah di halaman rumah sendiri juga termasuk menyakiti tetangga, karena asapnya bisa ditiup angin dan masuk ke rumah orang sehingga menyesakkan pernafasan tetangga. Bau masakan yang semerbak ditiup angin dan tercium oleh tetangga dapat menyakitinya, karena ia tidak mampu membeli makanan itu. Oleh karenanya di dalam Hadits disebutkan apabila seseorang memasak masakan hendaklah ia membanyakkan kuahnya dan membaginya kepada tetangga-tetangga, agar tidak menyakiti perasaan sang tetangga.

3. Tamu

Demikian juga penghargaan pada tamu, ternyata tidak luput dari perhatian akhlak Islam. Sebagaimana pada tetangga, Rasul Saw mengaitkan Iman seseorang dengan penghargaannya kepada tamu. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, haruslah memuliakan tamunya. Begitu isi pesan Rasul di atas.

Kenapa Islam memberi perhatian kepada tamu. Sebab, kedatangan tamu membawa berkah bagi orang yang dikunjunginya.

Dari kisah kehidupan sahabat masa dulu kita dapat belajar contoh memuliakan tamu. Pernah Rasul kedatangan tamunya. Kemudian Rasul menawarkan kepada Sahabatnya untuk menerima tamu tersebut. Seorang Sahabat spontan menerima tawaran itu. Ketika menjamu makan sang tamu, ternyata makanan yang tersedia hanya untuk satu orang. Apa yang dilakukan oleh tuan rumah. Ia memadamkan lampunya dan menyajikan makanan kepada tamu seolah-olah ia ikut makan bersama tamu, padahal yang makan hanya tamunya sendiri. Jadi untuk menghargai sang tamu, ia rela untuk tidak menikmati makanannya, asal sang tamu dapat makan, apalagi tamu ini, adalah tamu Rasulullah Saw.

Bagian dari memuliakan tamu adalah mempersembahkan yang terbaik untuk tamu, baik berupa makanan, minuman atau pelayanan, selama dalam batas kemampuan. Tuan rumah harus berusaha menunjukkan wajah yang ceria dan kebahagiaannya dengan kedatangan tamu. Ia tidak boleh melakukan sesuatu yang kurang etis pada tamunya. Tamu juga harus memahami kondisi tuan rumah yang dikunjungi, agar kedatangannya tidak merepotkan dan menjadi beban bagi tuan rumah. Tamu harus menerima apa yang disajikan oleh tuan rumah dan tidak membebani tuan rumah.

Hadits Ke 16

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رجلا قال للنبي صلى الله عليه وسلم : أوصني ، قال : ( لا تغضب ) فردد مرارا قال : ( لا تغضب ) رواه البخاري .

Tema Sentral Hadits ini:

Yang menjadi tema sentral dalam Hadits ini ialah menjauhi marah dalam segala hal dalam kehidupan ini. Sebab marah menimbulkan mudharat (efek negative) bagi manusia dari berbagai sisinya.

Penjelasan :

 

1.   Masalah konseling (minta nasehat).

Dalam hadits ini disebutkan seorang lelaki datang kepada Rasul untuk meminta nasehat.

Meminta nasehat sudah menjadi tradisi kaum Muslimin. Dahulu, pada zaman Nabi, orang-orang meminta nasehat kepada Nabi Saw. Hal ini sudah jelas dan memang harus demikian. Sekarang, orang-orang datang meminta nasehat kepada ‘Ulama, karena ulama adalah pewaris Nabi.

Namun kadang ada sebagian orang yang datang meminta nasehat atau curhat kepada orang yang tak memiliki ilmu agama. Mereka ini hanya mengandalkan popularitas di masyarakat, atau keahlian dalam bidang psikologi, sosial dan ilmu-ilmu sekuler lainnya, tetapi berani memberikan konsultasi kepada masyarakat yang dapat menyesatkan masyarakat. Banyak rubric “tanya jawab”, konsultasi di tabloid, majalah-majalah sekuler, juga di stasion tv dan radio. Jawaban mereka sering sekali menyerempet kepada masalah-masalah agama. Memberikan pengarahan atau petunjuk kepada si penanya tidak seseuai, bahkan bertentangan dengan ajaran Islam. Karena Islam adalah agama yang memberikan arahan dan bimbingan kepada cara hidup yang benar. Sementara para nara sumber atau konsultan itu tidak memiliki latar belakang agama, bahkan kadang kala bukan seorang muslim. Lalu ia memberikan konsul kepada kliennya.

Sungguh menyedihkan, banyak kalangan Muslim yang tersesat mengikuti pelatihan meditasi Anand Krishna. Belakangan ini di media, diributkan bahwa laki-laki Hindu keturunan India ini melakukan pelecehan seksual kepada perempuan-perempuan yang mengikuti pelatihannya. Sejak lima tahun silam, saya sudah berpolemik di surat kabar “Republika” dengan orang ini. Ia membuat pelatihan dengan mengajarkan ajaran sesat kepada masyarakat awam untuk mendapatkan ketenangan jiwa. Dengan membuat “zikir” tertentu dan suasana yang didramatisir untuk membuat orang sedih, menangis. Sesekali ia mengangkat ajaran-ajaran kaum Shufi sebagai alibinya untuk menipu public, bahwa faham yang dia sebarkan ini ada rujukannya di Islam. Bagi kita, apabila suatu ajaran tak sesuai dengan apa yang diwariskan oleh Rasul Saw apalagi menyangkut jiwa, adalah ajaran menyimpang.

Selain contoh di atas, ada perempuan yang bertanya kepada psikolog mengenai hubungan dekatnya dengan pria non Muslim, apapkah hubungan ini boleh dilanjutkan ke pernikahan. Jawaban si psikolog yang buta tentang Islam itu, bila anda sudah merasa cinta padanya, maka ikutilah apa yang anda sukai, walaupun tidak direstui siapapun. Bukankah jawaban ini berbahaya dan menejrumuskan perempuan ke jurang kehancuran?

Oleh karenanya, curhat atau konsultasi tidak sepantasnya dilakukan kepada orang yang tidak memiliki pengetahuian keagamaaan yang memadain atau Ulama/Ustaz. Kasus-kasus yang ditanyakan sering sekali menyangkut bidang Islam, karena bidang cakupan Islam ini sangat luas, yakni mengenai kehidupan itu sendiri dengan berbagai sisi dan aspeknya. Di sana ada masalah psikologi, ada juga masalah pergaulan, sosial, apalagi masalah keyakinan dan iman. Jangan sekali-kali seorang Muslim bertanya kepada orang yang tak mendalami masalah dien, hal-hal yang bersifat nilai kehidupan. Karena bahayanya lebih besar dari pada keuntungannya.

2. Marah.

Rasul memberikan nasehat kepada si penanya untuk tidak marah. La Taghdhab. Jangan marah. Cukup menyentak, nasehat Nabi hanya disampaikan dalam sepotong kata “Jangan Marah”. Karena singkatnya nasehat itu, membuat si penannya mengulangi permintaannya untuk dinesehati. Namun Nabi Saw tetap mengatakan “Jangan Marah!”.

Marah dapat ditinjau dari berbagai sudut, kesehatan, kejiwaan, bisnis, pendiidkan, hingga politik. Dari sudut manapun kita memandang, namun marah tidak memberikan dampak positif dalam kehidupan manusia.

Dari sudut pandang kesehatan: Seluruh dokter dan ahli kesehatan sepakat bahwa marah atau emosi dapat menimbulkan hipertensi. Hipertensi adalah jenis penyakit yang sangat berbahaya karena dapat mengancam kesehatan dan kelangsungan hidup seseorang. Ada orang yang gara-gara marah yang berlebihan dan tidak sanggup mengatasi luapan emosinya akhirnya mengalami struk di otak dan tak lama setelah itu meninggal. Banyak sekali contoh kasus, orang yang pemarah mengalami struk ringan dan berat. Jadi kalau kita renungkan masalah ini, betapa hadits Nabi benar-benar mengarahkan kita untuk hidup sehat baik secara fisik maupun psikis.

Dari sudut kejiwaan, mudah marah adalah salah satu bentuk penyakit kejiwaan yang penderitanya akan sering mengalami kesulitan dalam pergaulan.

Dari sudut pandang bisnispun marah adalah perbuatan yang harus dijauhi olehg setiap pebisnis. Bisa dibayangkan, apabila penjual barang suka marah-marah kepada pembeli/customernya, maka para customer akan pergi meninggalkannya. Betapapun bagus kualitas barang yang dijual, dan harganya yang murah, tetapi jika si penjual barang itu pemarah, akan mengakibatkan pembeli tidak mau dekat dengannya. Akhirnya bisnisnya mengalami kerugian.

Dalam pergaulan, jika seseorang, baik laki atau perempuan, suka marah, maka ia akan dijauhio oleh teman-temannya. Seorang perempuan yang pemarah, tentu tidak disukai oleh pria, begitu pul;a sebaliknya. Walaupun orang tersebut memiliki uang yang banyak, pada akhirnya orang-orang akan menjauhinya.

Seorang pegawai di kantor yang suka marah, tidak akan disukai oleh kawan-kawannya sekantor. Atau orang yang pemarah jika berurusan di kantor, akan tidak dilayani oleh orang lain, karena siukap nya yang tidak simpatik itu.

Seorang Diplomat atau Panglima yang mudah marah, tentu akan lebih membahayakan bagi bangsa dan negaranya. Apakah yang terbayang di benak Anda, jika seorang kepala Negara, atau diplomat yang mewakili Negara itu di luar negeri dalam suatu perundingan, atau Panglima Angkatan Bersenjata, maka risikonya akan jauh lebih berbahaya. Keputusan yang diambilnya tak hanya mengancam keselamatan dirinya, tetapi juga masa depan Negara dan bangsanya.

Dari sudut pendidikan pun juga demikian. Apabila seorang guru atau Kepala Sekolah suka marah di hadapan kelas, maka murid-murid tidak akan suka padanya. Guru yang pemarah cenderung akan dijauhi oleh murid. Akhirnya, karir orang tersebut tidka akan mengalami kemajuan dalam bidang pendiidkan.

Begitu juga dalam dunia politik. Apabila seorang politisi sering marah, akan mengakibatkan kehilangan simpati konstituennya. Bahkan kebijakan politiknya juga sering keliru karena diambil dalam kondisi marah atau emosi.

Jenis-jenis Marah:

Marah dari sisi motifnya, bisa dibedakan kepada dua jenis:

1. Marah karena Allah dan, 2. Marah karena Syaitan.

Marah karena Allah seperti marah ketika hak-hak Allah diinjak-injak. Kesucian agama Islam dikotori, para Nabi, melakukan maksiat secara terang-terangan. dan lain. Seorang Muslim memang pantas marah karena hal itu.

Sebagai Contoh, dalam persidangan gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang penodaan terhadap Agama pada tanggal 17 Pebruari 2010 lalu, pihak penggugat (kaum Liberal) mengajukan pandangan seorang Saksi Ahli mereka Lutfi Syaukani. Secara mengejutkan, Lutfi Syaukani, dalam kesaksiannya, menyamakan Rasulullah dan sahabatnya dengan Lia Aminuddin dan pengikutnya. Keduanya sama-sama mendapatkan tekanan dan perlakuan yang tidak wajar dari kelompok mayoritas, katanya. Ucapan seperti ini, sudah sepantasnya menimbulkan kemarahan pada pendengar yang hadir di sidang itu. Tanpa dikomando, mayoritas hadirin mengucapkan kata “huuh” yang bernada protes dan ungkapan rasa kesal. Bahkan ada yang berkomentar sendiri dengan suara pelan, “murtad”. Bentuk kemarahan seperti ini adalah konsekuensi dari Iman. Orang beriman akan marah mendengar ucapan yang mencela dan menodai dien, Allah, Nabi Muhammad, sahabatnya, Ulama Islam, dan simbol lainnya.

Adapun marah karena dorongan syetan adalah marah yang terjadi karena alasan yang tidak sah menurut ukuran dien (agama) ini, seperti egoisme, mau menang sendiri. Demikian juga marah karena kepentingan pribadi yang diusik, inilah yang menjadi obyek hadits di atas, yaitu marah karena mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan atau karena haknya diambil. Atau marah karena perasaannya tersinggung. Marah karena hal-hal inilah yang dibicarakan oleh Hadits tersebut. Seseorang hendaknya tidak mengikuti emosinya dan melampiaskan marah dengan tindakan-tindakan yang merugikan orang lain atau dengan mengeluarkan kata-kata yang tak sopan.

Tapi ada juga marah dalam rangka mendidik. Seorang ayah marah kepada anaknya yang melakukan perbuatan terlarang. Umpamanya seorang ayah melihat anaknya merokok, setelah sang ayah memberitahukan, bahwa merokok itu dilarang dalam Islam. Tetapi si anak masih tetap melanggar larangan ayahnya, sehingga menyebabkan si ayah marah kepada anak, maka marah seperti ini tergolong wajar dan tak dilarang. Namun juga harus diukur batasannya agar tidak sampai melampaui batas kewajaran.

 

Pelampiasan Marah:

Yang harus dihindari dalam kaitan marah adalah bila marah terlampiaskan dengan dua hal, yaitu : 1. Ucapan, dalam bentuk memaki, mencela dan sejenisnya, dan ke 2. tindakan seperti memukul, menyakiti, menganiaya hingga membunuh.

Adapun bila marah hanya sebatas di dalam hati, maka hal ini adalah manusiawi dan sulit dihindarkan.

Penguasaan Emosi symbol kemajuan Peradaban:

Sudah banyak diketahui umum, bahwa kemajuan tingkat peradaban sautu bangsa/umat akan tampak pada penguasaan emosi. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin mampu mengendalikan emosi dan kemarahannya. Sebaliknya juga demikian, orang yang mudah emosi dan kalau marah meledak-ledak menunjukkan tingkat pendidikannya rendah. Oleh karenanya kita lihat orang yang hidup di negara maju, tidak mudah marah. Sebaliknya orang yang hidup di Negara terbelakang, gampang sekali marah, dan melampiaskan kemarahannya dengan cara-cara yang tak beradab seperti merusak fasilitas umum.

Di sisi lain, orang yang sudah maju juga tidak mau menimbulkan kemarahan orang lain. Dalam bertindak, ia sangat berhati-hati kalau tindakannya menimbulkan ketersinggungan orang lain sehingga menyulut kemarahan.

Kalangan Non Muslim di Indonesia, ketika membangun rumah Ibadah mereka tanpa tunduk kepada aturan pemerintah, menunjukkan tingkat peradaban mereka yang rendah, akhirnya dapat memancing kemarahan kaum Muslim yang merasa terusik dengan keberadaan rumah-rumah ibadah liar di lingkungannya. Celakanya media justru menyorot kemarahan umat Islam, tidak menyorot ketidakdisiplinan kaum non Muslim pada aturan umum.

Jadi ketika Rasulullah memberikan tuntunan kepada umatnya agar tidak menjadi umat pemarah, menyiratkan makna bahwa bangsa Muslim itu adalah bangsa yang beradab dan maju, bukan bangsa barbar yang kalau marah, melakukan pengrusakan terhadap kepemilikan umum.

Hadits ke 17

عن أبي يعلى شداد بن أوس رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ( إن الله كتب الإحسان على كل شيئ ، فإذا قتلتم فأحسنوا القتلة ، وإذا ذبحتم فأحسنوا الذبحة ، وليحد أحدكم شفرته وليرح ذبيحته ). رواه مسلم

Artinya :

Diriwayatkan dari Syaddad ibn Aus –radhiyallahu ‘anhu- dari Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda : “Allah telah mewajibkan ihsan dalam segala sesuatu. Maka apabila kamu membunuh, bunuhlah dengan cara yang baik, dan bila kamu menyembelih, menyembelihlah dengan cara yang baik.” Dilaporkan oleh Imam Muslim.

Tema Sentral Hadits ini :

Pesan utama dalam hadits ini adalah keharusan untuk berbuat yang terbaik dalam segala pekerjaan, hingga dalam menyembelih sekalipun. Kalau dalam managemen, kata “ihsan” ini bisa diartikan professional. Dalam melakukan sesuatu, seorang Muslim hendaknya professional, terlatih, terencana dengan baik, tidak sembarangan, tidak asal-asalan.

Penjelasan :

Apa saja yang keluar dari mulut Nabi Saw adalah mutiara, nilainya mahal, faedahnya tak terhingga. Betapa tidak, karena yang keluar dari mulut beliau adalah wahyu dari Allah Swt. Sedangkan wahyu, mutlak kebenarannya. Salah satunya adalah hadits ini yang menerangkan kepada kita –umatnya- bahwa Allah swt mewajibkan ihsan dalam segala urusan. Tidak hanya himbauan, akan tetapi kewajiban untuk berbuat ihsan. Beginilah Allah Swt melalui ajaran (syari’at)nya menempa umat Islam agar menjadi umat yang maju, terampil, serta umat pilihan. Allah sudah mempersiapkan segala sesuatunya, hingga kepada kurikulum untuk mencapai tingkatan umat yang maju dan teladan itu. Salah satu pilarnya adalah bersikap ihsan dalam mengerjakan segala pekerjaan, bukan asal kerja, atau kerja yang tidak terencana dengan baik.

Bekerja professional :

Bisa dibayangkan, kalau umat Islam mampu bersikap professional dalam melakukan setiap pekerjaannya, maka mereka akan menjadi umat terdepan dalam segala hal; professional dalam mengajar, mengorganisir, mengelola, memproduksi, dan dalam apa saja, khususnya memerintah. Bahkan hadits ini menyinggung soal penerapan professionalisme dalam membunuh dan menyembelih. Membunuh di sini maksudnya membunuh apa yang pantas untuk dibunuh. Demikian pula halnya dengan menyembelih.

Menyembelih secara professional, maksudnya menyembelih hewan tanpa menyiksanya, yaitu dengan menajamkan mata pisau yang dipakai. Sebab, bisa dibayangkan kalau pisau yang digunakan tumpul, maka untuk menyembelih hewan, dan memutus urat lehernya, harus dilakukan berkali-kali, sehingga menyiksa hewan yang disembelih. Berbeda dengan menyembelih bila mata pisau itu ditajamkan lebih dahulu, sehingga hewan tidak merasa tersiksa. Sekali potong, urat lehernya sudah putus. Inilah yang dikatakan professional dalam menyembelih.

Pelajaran dari hadits ini, kalau Rasul menyuruh umatnya agar professional dalam menyembelih, apalagi dalam melakukan hal-hal yang lebih besar skalanya, seperti mengelola Negara, memerintah sebuah bangsa, maka syarat professional lebih dituntut lagi, supaya urusan-urusan seperti administrasi, birokrasi, pembangunan, perjalanan roda pemerintahan, agar berjalan lancar dan professional.

Tetapi kenyataan di dunia Islam, menunjukkan, praktik birokrasi pemerintahan jauh dari professionalisme, bahkan cenderung terbelakang. Ini artinya, umat Islam belum mampu menangkap pesan yang disampaikan oleh Rasulullah Saw. Urusan administrasi dan birokrasi di dunia Islam, sangat berbelit-belit dan melalui proses yang panjang. Bahkan mental birokratnya juga bermasalah, yaitu mental mempersulit. Ada pameo yang terkenal di dunia birokrasi kita, yaitu “kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah”. Inilah tanda-tanda keterbelakangan sebuah bangsa.

Sebenarnya umat Islam memiliki kekayaan yang tidak dimilik oleh umat lain yaitu kekayaan spiritual melalui konsep Ibadah dan akhlak. Maka apabila kekayaan spiritual itu ditopang dengan konsep professional dalam urusan dunia, akan sempurnalah keadaan mereka. Adapun sekarang, masih terasa pincang. Di satu sisi (aspek spiritual) mereka kaya, tetapi di sisi lain, mereka jauh ketinggalan.

Kelembutan dalam melakukan sesuatu :

Hadits ini juga mengajarkan kelembutan. Kendatipun membunuh dan menyembelih adalah perbuatan yang sarat dengan makna kekerasan, tetapi, Islam menekankan dalam pelaksanaannya harus berlaku Ihsan, menunjukkan kelembutan, tidak ganas dan kasar. Dalam menyembelih hewan, tidak menunjukkan penyiksaan. Hewan itu disembelih, karena aturannya mengharuiskan demikian. Tetapi dalam menyembelih, harus dengan kelembutan, menajamkan mata pisau, membaringkannya dengan lemah lembut, mengarahkannya ke kiblat, dan menyebut nama Allah, memutuskan urat lehernya di kiri dan kanan, serta kerongkongannya (hulqum).

Hadits Ke 18

عن أبي ذر جندب بن جنادة وأبي عبد الرحمن معاذ بن جبل رضي الله عنهما عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : (اتق الله حيثما كنت ، وأتبع السيئة الحسنة تمحها ، وخالق الناس بخلق حسن ). رواه الترمذي وقال : حديث حسن ، وفي بعض النسخ : حسن صحيح .

Artinya :

Diriwayatkan oleh Abu Dzar dan Mu’az ibn Jabal –radhiyallahu ‘anhuma- dari Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- ia bersabda : “Takutlah kepada Allah di manapun engkau berada. Ikutilah kesalahan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu menghapuskan kesalahan sebelumnya. Dan bergaulah dengan orang dengan akhlak yang baik”. Dilaporkan oleh Imam at-Tirmizy dan ia mengatakan : Hadits ini Hasan, Pada sebagian naskah ia katakana : Hadits ini Hasan Shahih.

Tema :

Tema Sentral Hadits ini adalah penanaman sifat taqwa di manapun berada. Kebaikan dapat menghapus kejahatan sebelumnya. Demikian juga keharusan berakhlak mulia.

Penjelasan :

Hadits inipun seperti hadits lainnya tergolong singkat, namun bila dijabarkan maknanya, akan menjadi panjang dan luas. Menurut riwayat bahwa Abu Dzar perawi hadits ini masuk Islam ketika Rasulullah masih di Makkah. Nabi menyuruhnya agar tinggal bersama kaumnya. Tetapi Abu Dzar kelihatan ingin sekali hidup bersama Rasul di Makkah dan tak mampu hidup di tengah kaumnya. Lantas Rasul mengucapkan hadits ini kepada beliau r.a.

Memelihara taqwa di mana pun berada :

Islam mengajarkan kepada kita agar senantiasa memelihara ketakwaan di manapuin berada, baik sedang berada di dalam Masjid atau di luar Masjid, baik berada di tengah orang ramai ataupuin sedang sendirian, baik dalam keadaan senang atau susah. Banyak orang merasa bertakwa ketika sedang berada di dalam Masjid, sedang zikir pada Allah, atau sedang berada di tengah-tengah orang Mukmin. Tapi ketika ia berada di luar Masjid, atau sendirian jauh dari lingkungan orang-orang Mukmin, seolah-olah takwa tidak ada lagi di dalam hatinya. Atau ketika ia dicoba dengan kesusahan atau sebaliknya, maka takwanya sirna sama sekali. Na’uzu Billah min Zalik. Mudah-mudahan Allah jauhkan kita dari sifat demikian.

Ada juga orang menjaga takwanya di bulan Ramadhan saja. Setelah ramadhan usai, takwanya juga selesai. Dan ini prilaku kebanyakan kaum Muslimin. Solehnya hanya di bulan ramadhan saja.

Andaikan setiap orang dengan professinya yang berbeda-beda dapat memelihara ketakwaannya kepada Allah, niscaya dunia akan aman. Bayangkan kalau polisi bertakwa. Ia menjaga Alalh dalam tugasnya sebagai aparat yang menjaga ketenteraman masyarakat. Kalau hakim bertakwa dan menjaga Allah dalam tugasnya sebagai pemutus perkara, yang benar ia menangkan, dan yang salah ia kalahkan. Kalau Jaksa bertakwa dan menjaga Allah dalam tugasnya sebagai penuntut atas nama negara, orang yang bersalah ia tuntut dan yang tak bersalah ia lepaskan. Kalau pengacara/pembela bertakwa, ia membela orang yang diyakininya benar, dan tidak membela orang yang salah. Kalau pejabat public seperti Kepala Negara, Menteri, Gubernur, walikota, bupati, camat dan segenap aparatnya bertakwa. Mereka menjaga Allah dalam kekuasaannya, tidak menyelewengkan kekuasaannya untuk kepentingan pribadinya, apa yang akan terjadi? Negara aman, rakyat makmur dan sejahtera. Memang benar inti segala sesuatu itu adalah takwa. Ketakwaanlah yang mencegah manusia untuk tidak melanggar atau berbuat kejahatan.

Kebaikan dapat menghapus keburukan :

Hadits ini juga menerangkan bahwa amal kebaikan dapat menghapuskan kesalahan atau dosa sebelumnya. Ini sejalan dengan ayat al-Qur’an yang menyebutkan :

إن الحسنات يذهبن السيئات.

“Sesungguhnya kebaikan menghapuskan keburukan.”

Ini adalah salah satu kasih sayang Allah kepada hambaNya. Apabila seorang manusia telah berbuat kesalahan, dosa, maksiyat, pelanggaran –dan manusia tak bisa lepas dari semua itu- maka terbuka kesempatan baginya untuk menghapus masa lalunya dengan izin Allah Swt. Caranya dengan memperbanyak kebaikan, amal sholeh, ibadah, shadaqah dan sejenisnya.

Seperti diketahui bahwa manusia tidak lepas dari dosa dan kesalahan, siapapun dia. Bila ada faham atau ajaran yang meyakini bahwa Imamnya atau pemimpinnya tak berdosa (ma’sum), maka ajaran itu dipastikan sesat. Yang tak berdosa hanyalah Rasulullah Saw, karena Allah Swt menjaganya dari kekhilafan dan dosa. Adapun selain Rasul, termasuk sahabat Nabi – mudah-mudahan Allah meridhoi mereka semua- apalagi selain mereka, adalah makhluk manusia biasa yang tak bisa luput dari dosa. Hanya saja ada keistimewaan sahabat dalam persoalan ini, yaitu segera bertaubat kepada Allah Swt. Beberapa kejadian membuktikan itu. Seorang lelaki pernah berzina di zaman Nabi Saw. datang menghadap beliau mengadukan dirinya yang telah jatuh dalam dosa besar dan meminta agar dibesihkan dari dosa itu di dunia, ia meminta supaya dihukum rajam. Berkali-kali Nabi mengajukan pertanyaan untuk meyakinkan kebenaran kejadian itu, semuanya ia akui kebenarannya, dan akhirnya Rasul mengeksekusinya dengan rajam. Kasus serupa juga terjadi pada seorang perempuan Muslimah. Peristiwa-peristiwa ini semua tercatat dalam kitab hadits.

Ini membuktikan kesolehan para Sahabat yang tidak mau hidup bergelimang dengan dosa dan menunda-nunda taubat. Bahwa mereka jatuh dalam maksiyat, adalah sifat kemanusiaan mereka, karena mereka bukan Nabi atau Rasul. Tetapi yang membedakan mereka dari generasi lainnya, respon mereka untuk bertaubat setelah mereka jatuh dalam dosa.

Jadi salah satu manfaat berbuat kebaikan adalah dapat menghapus kesalahan sebelumnya.

Akhlak Mulia :

Islam adalah dien yang sangat menekankan akhlak dalam pergaulan. Belakangan ini ada usaha orang-orang di luar Islam menempelkan Islam dengan kekerasan, anarkhisme, dan kebrutalan. Sementara agama lain ditampilkan sebagai ajarah penuh kasih, santun dan peduli. Ini bukan kebetulan. Di balik ini pasti ada skenario untuk menjauhkan orang dari Islam dan mendekatkan orang dengan missionaris. Kesan ini harus ditolak sekuat tenaga dengan mengembalikan citra Islam yang sejati yakni ajaran yang penuh rahmat dan kasih sayang yang hakiki, bukan palsu.

Hadits ini salah satu di antara sekian banyak Hadits yang menekankan pentingnya akhlak. Pada hadits-hadits sebelumnya juga sudah dipaparkan bagaimana perhatian Islam terhadap akhlak, hingga kepada tetangga dan tamu. Dalam hadits ini Rasul bersabda : “Bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik”.

Akhlak yang baik sudah tentu banyak sekali, di antaranya membalas kebaikan dengan kebaikan serupa, dan tidak membalas keburukan dengan keburukan. Memang ini terasa berat. Tetapi inilah yang dikatakan akhlak yang baik. Dulu orang-orang tua mengatakan, jadilah seperti pohon mangga, walaupun orang melemparnya dengan batu, tetapi ia membalas lemparan itu dengan buah yang ranum dan manis.

Termasuk akhlak yang baik, menjaga perasaan orang, tidak mengeluarkan kata-kata yang dapat melukai perasaan orang lain, kecuali untuk menyampaikan yang benar, membantu kesulitan orang, meringankan beban penderitaan orang, membayar hutang orang, memaafkan hutang orang yang sudah meninggal.

Kalau kita perhatikan akhlak yang baik, dalam setiap suasana terdapat akhlak yang baik. Ada akhlak yang baik dalam belajar dan mengajar. Ada akhlak dalam berbelanja dan berdagang. Ada akhlak dalam bergaul dengan teman, sahabat, keluarga, kerabat. Ada akhlak yang baik dalam bertamu, ada akhlak yang baik dalam diskusi/berdebat. Bahkan ada akhlak dalam perang.

Akhlak dalam berlalu lintas :

Salah satu sisi akhlak yang terlupakan akhir-akhir ini, khususnya di wilayah ibu kota dan kota-kota besar ialah akhlak berlalu lintas. Dahulu sebelum tahun 2000 akhlak berlalu lintas di ibu kota masih terasa bagus, tetapi belakangan ini akhlak tersebut sudah semakin rendah. Masing-masing pengendera memikirkan kepentingan dirinya sendiri.  Rendahnya akhlak yang satu ini memang terkait dengan banyak hal salah satunya kepadatan lalu lintas yang melampaui batas kewajaran, khususnya motor. Dampak kepadatan ini membuat jalan-jalan menjadi macet, sementara orang masing-masing berburu dengan keperluannya. Tingkat kesabaran menjadi rendah. Akhirnya etika berlalu lintaspun merosot.

Yang utama dalam berlalu lintas adalah mematuhi aturan lalu lintas. Berhenti pada saat harus berhenti dan jalan pada saat harus jalan. Termasuk akhlak yang baik di jalan raya, memberikan jalan kepada orang lain yang memerlukan. Karena kondisi jalan di Jakarta sempit, sementara yang memerlukannya banyak orang, sehingga sering terjadi rebutan jalan. Di sinilah diperlukan akhlak yang baik. Salah satu harus ada yang rela mengalah.

Sabar dalam berkenderaan, tidak berhenti di tempat yang mengakibatkan lalu lintas terganggu, menghormati pejalan kaki, parkir di tempat yang disediakan, membantu orang yang mengalami kesulitan dan kecelakaan dalam perjalanan, adalah bagian dari akhlak yang baik. Kalau setiap orang tergesa-gesa dalam perjalanan, inilah yang akan mengakibatkan terjadi kecelakaan.

Hadits Ke 20

عن أبي مسعود عقبة بن عمرو الأنصاري البدري رضي الله عنه قال : قال ( إن مما أدرك الناس من كلام النبوة الأولى : إذا لم تستح فاصنع ما شئت ). رواه البخاري .

Artinya :

Diriwayatkan dari ‘Uqbah ibn ‘Amru al-Anshary al-Badary –radhiyallahu ‘anhu- ia berkata, Rasulullah –Shallalahu alaihi wasallam- bersabda : “Di antra ungkapan kenabian dahulu yang ditemukan orang ialah kalau engkau tidak malu, maka lakukan apa yang engkau inginkan.” Dilaporkan oleh Imam al-Bukhory

Tema Sentral :

Tema sentral Hadits ini adalah penanaman rasa malu dalam hati setiap Muslim. Malu adalah perasaan halus yang mempengaruhi sikap dan prilaku manusia secara zahir.

Penjelasan :

Hadits ini menjelaskan salah satu perasaan yang terpendam di dalam hati manusia, yaitu rasa malu. Sejak zaman Nabi-nabi terdahulu, malu tetap dianggap terpuji dan tak pernah dihapuskan dalam syari’at mereka. Apalagi dalam syari’at Nabi Muhammad Saw, malu dianggap bagian dari Iman. Sabda beliau Sahallallahu alaihi wasallam: “Malu sebagian dari Iman”.

Manusia perlu menghidupkan rasa malu, karena pengaruh positifnya dapat dirasakan. Rasa malu mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang baik atau menghalangi orang dari perbuatan yang buruk.

Kendatipun redaksi hadits ini mengandung perintah untuk melakukan apa saja, tetapi pengertian sebenarnya adalah peringatan keras dan ancaman kepada setiap orang untuk tidak melanggar apa yang sudah ditetapkan oleh Syari’at.

Malu di zaman sekarang:

Malu di zaman sekarang terasa makin terkikis. Apa yang dulu tak berani dilakukan orang, tetapi di zaman ini orang-orang sudah tidak merasa segan melakukannya. Penyebabnya karena rasa malu sudah hilang. Yang paling menonjol sekarang ialah hilangnya rasa malu dari diri perempuan.

Aslinya perempuan adalah makhluk Allah yang paling pemalu. Dahulu, perempuan sering dijadikan perumpamaan untuk rasa malu. Kalau ada lelaki pemalu, maka teman-temannya mengejeknya, dia seperti perempuan. Tetapi perempuan di zaman sekarang sudah kehilangan rasa malu. Itu tampak dari caranya berpakaian, berjalan, berbicara, bergaul dan berhubungan dengan orang lain yang sudah tidak ada lagi rasa sungkan.

Perempuan di zaman sekarang sudah tidak merasa malu membuka bagian tubuhnya di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya. Mereka keluar dari rumahnya dengan pakaian yang membukakan dada, betis, bahkan pahanya.

Di zaman ini ada lagi model pakaian perempuan yaitu pakaian ketat dan singkat. Baju dan celana yang dipakainya, selain ketat, lagi pendek. Sehingga kalau ia membongkok, maka bajunya tersingsing ke atas, maka celana dalamnya pun menjulur keluar terlihat oleh orang di sekitarnya, dan anehnya dia tidak merasa malu dengan itu. Mereka inilah contoh orang-orang yang tak beriman.

Lain lagi bila anda melihat pakaian presenter di televisi kita, sungguh menunjukkan bahwa orang yang memakainya sudah kehilangan rasa malu. Dadanya yang seharusnya ia tutup serapat-rapatnya, sengaja ia buka separuhnya. La Hawla wala quwwata illa billah. Padahal mereka ini perempuan muslimah. Konon lagi para artis yang memang profesi artis adalah profesi yang dikenal jauh dari nilai agama dan akhlak. Bahkan menjadi symbol bagi hidup yang tak peduli dengan tuntunna agama. Pakaian para artis dan selebritis itu sama sekali tidak mempedulikan rasa malu. Begitulah mereka tampil di layar kaca, ditonton puluhan juta pemirsa. Terbayangkah Anda bagaimana mereka ini nanti di dalam kubur menghadapi siksa Malaikat munkar dan Nakir yang tidak mengenal belas kasihan. Bagaimana mereka nanti berhadapan dengan Allah di Hari Akhir?

Dahulu, perempuan di negeri ini terkenal sangat pemalu. Berbagai kisah menggambarkan wanita pribumi di zaman dulu. Diceritakan, perempuan Betawi dahulu pada waktu pagi kerjanya menyapu halaman rumahnya. Ketika ia merasa dari kejauhan ada lelaki yang mau melintas di jalan di hadapan rumahnya, maka perempuan itu buru-buru masuk ke dalam rumahnya dan meninggalkan sapuannya di halaman, menunggu sampai lelaki itu pergi jauh, barulah ia kembali meneruskan pekerjaannya menyapu halamannya. Inilah yang disebut sifat pemalu (alhasymah) bagi perempuan.

Dahulu di kampung, perempuan tidak melihat lelaki yang jadi calon suaminya. Ia baru melihat suaminya ketika hari akad pernikahan berlangsung. Sebelumnya sang perempuan tidak mengenal siapa yang akan menjadi pendamping hidupnya.

Dalam pesta pernikahan juga demikian, tidak ada dulu pengantin disandingkan di atas pelaminan, ditonton para tetamu yang bercampur baur. Tetapi di zaman sekarang hampir tidak ada pengantin yang tidak duduk bersanding di tonton para tetamu. Kalaupun ada, maka kejadian ini dianggap orang aneh dan menjadi bahan ejekan. Inilah perubahan zaman dan hilangnya rasa malu dari diri manusai.

Hilangnya malu dalam soal mencari uang

Di zaman sekarang, orang tidak lagi malu-malu mencari uang dengan cara yang haram. Apa yang dikenal sebagai “koruptor” adalah sosok manusia yang sudah tidak peduli dengan malu untuk mengumpulkan uang. Apa saja ia lakukan, hingga menyalahgunakan jabatan yang dipegangnya. Asal tujuannya tercapai yaitu terkumpulnya banyak uang. Ia tidak malu namanya disebut oleh media massa secara luas, seperti sosok Gayus Tambunan di zaman ini, seorang pegawai Direktorat Pajak yang menjadi mafia kasus (markus) dalam pengadilan Pajak. Sehingga ia mampu mengumpulkan uang lebih dari dua puluh milyar rupiah (2.000 000 dollar US). Namanya menjadi buah bibir hampir semua orang di tanah air.

Hadits ke 21

عن أبي عمرو وقيل أبي عمرة سفيان بن عبد الله رضي الله عنه قال : قلت : يا رسول الله قل لي في الإسلام قولا لا أسأل عنه أحدا غيرك ، قال : قل آمنت بالله ، ثم استقم . رواه مسلم

Artinya :

Diriwayatkan dari Sufyan ibn ‘Abdillah –radhiyallahu ‘anhu- ia berkata: Pernah kutanyakan, Ya Rasulallah. Sampaikan kepadaku ucapan di dalam Islam yang tak perlu kutanyakan lagi kepada orang lain selainmu!. Beliau bersabda : “Ucapkan, Aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah di dalamnya.” Dilaporkan oleh Imam Muslim.

Tema Sentral Hadits ini :

Tema sentral Hadits ini menerangkan makna istiqomah dan kedudukannya di dalam Islam.

Penjelasan :

1.Hadits ini salah satu contoh Jawami’ al-Kalim (ucapan singkat tetapi mengandung makna yang sangat dalam) yang diberikan Allah kepada NabiNya Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam dua patah kalimat, Nabi menerangkan makna Islam dan Iman. Nabi menyuruh si penanya untuk memperbarui imannya dengan lisan (ucapan), kemudian menyuruhnya agar istiqomah dalam ketaatan kepada Allah dan menghentikan segala pelanggaran. Sebab tidak bisa dikatakan istiqomah selama di sana ada pelanggaran yang dilakukan.

Istiqomah adalah sebuah sikap mulia dalam kehidupan berIslam, di mana seorang Muslim setelah berikrar atas keimanannya kepada Allah, lalu ia memegang teguh sikap beriman itu dan segala konsekuensinya.

Hadits Ke 29

Dalam Hadits ini, Mu’adz Ibn Jabal Radhiyallahu ‘anhu mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah Saw tentang amalan yang dapat membantu seseorang masuk syurga dan terhindar dari neraka. Kisah (asbabul wurud) Hadits ini, ketika Mu’az dan Sahabat lainnya berjalan menuju Tabuk bersama Rasulullah untuk berperang yang terkenal dengan sebutan “ghozwat Tabuk”. Perjalanan itu sangat sulit, jaraknya yang sangat jauh dan jalan yang dilalui tidak nyaman, panas matahari mencekam.
Di awal Hadits tersebut, dalam versi riwayat lain, Muaz menceritakan betapa getirnya perjalanan itu, ketika Mu’az berada paling dekat dengan Rasulullah Saw, lalu ia mendekatkan dirinya dan bertanya tentang pertanyaan tersebut. Hadits ini dan hadits sejenisnya masih banyak, menggambar tentang suatu hal, yakni pandangan hidup ukhrowi yang melekat di kalangan shahabat waktu itu. Pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan kepada Rasulullah, umumnya bekisar di seputar kerinduan kepada syurga dan kecemasan kepada nereaka.

Mereka tidak menanyakan bagaimana supaya cepat kaya. Lalu jawaban Rasul saw, ialah meyakinkan Mu’adz bahwa persoalan itu sebenarnya mudah dan tak terlalu sulit. Tetapi akan tergantung kepada orang. Mudah bagi siapa dan sulit untuk siapa? Hal itu mudah bagi orang-orang yang diberikan Allah baginya kemudahan untuk mengamalkannya. Namun hal itu akan terasa sulit bagi orang lain. Memang dari isi (contents) jawaban Rasul itu, sepintas lalu terasa mudah, karena ia adlaah rukun Islam yang lima. 1.Amal pertama yang disebutkan dalam haditsini, ialah kebesihan akidah dari segala unsur syirik. Di sini diterangkan hal yang pertama sekali diperhatikan oleh seoranhg Muslim adalah soal keyakinan akan Allah Swt. Bahwa keyakinan ini harus murni dan bersih dari segala aneka syirik (penyekutuan Allah Swt). Berbagai bentuk Syirik : Di antara bentuk-bentuk syirik, perbuatan yang terkait dengan kuburan atau makam, seperti meminta bantuan dan pertolongan kepada manusia yang sudah meninggal. Atau berkeyakinan bahwa orang yang meninggal dapat memberikan untung dan rugi, karena kedudukannya masa hidupnya sangat dihormati dan diagungkan oleh murid dan pengikutnya. Oleh karenanya mereka dating berziarah ke kuburan orang tersebut dengan keyakinan bahwa ziarah itu akan dapat merubah nasibnya, membuka pintu rezki, dan terhindar dari bahaya. Inilah yang dikatakan syirik. Soal ziarah ke kubur itu sendiri, bukan perbuatan terlarang, bahkan disuruh untuk mengingatkan akan mati. Yang membuatnya menjadi terlarang di sini dikarenakan adanya keyakinan yang menempel pada ziarah kubur tersebut. Kalau orang pergi berziarah ke kuburan wali, kyai, atau tokoh, maka rezekinya akan menjadi mudah, dan kalau tidak berziarah, rezekinya akan sempit, hidupnya akan susah. Begitu juga keyakinan pada benda-benda sakti, seperti keris, tombak, pisau dan sebagainya dari benda-benda pusaka. Termasuk juga pengkultusan kepada tokoh atau pemuka, baik semasa hidupnya atau setelah matinya. Keyakinan akan hari-hari dan bulan tertentu yang akan mendatangkan keberuntungan dan menimbulkan aneka bahaya, keyakinan pada tempat dan lokasi tertentu yang dianggap angker. Kepercayaan kepada bintang-bintang seperti yang diyakini oleh anak-anak muda sekarang. Seseorang yang lahir di bulan tertentu, mempunyai sifat dan pembawaan tertentu, bahkan nasibnya juga sudah bisa ditentukan oleh si peramal bintang. Juga termasuk syirik, keyakinan pada hukum yang bukan hukum Allah swt. Meyakini bahwa hukum, sistem, aturan yang dibuat oleh manusia di Barat dan di Timur, lebih baik dari pada hukum, aturan dan system yang diturunkan oleh Allah Swt. Ini semua masuk dalam wilayah syirik. Pelakunya harus bertaubat kepada Allah Swt dengan sebenar-benar taubat dengan membuang persepsi dan keyakinan itu. Sebelum menyebutkan rukun Islam yang lain, Rasul lebih dahulu menerangkan kemurnian Ibadah kepada Allah dan menjauhkan diri dari syirik. Karena maslaah tawhid adalah masalah pokok dalam dien ini. Ibadaha apapun yang dilakukan seseorang, selama dirinya masih berlumuran dengan syirik, maka ibadah itu akan ditolak. Di dalam al-Quran disebutkan : “Barangsiapa yang mensekutukan Allah swt , maka seluruh amalnya akan punah.” Menjauhi syirik saja tidaklah cukup, akan tetapi harus dibarengi dengan melaksanakan perintah-perintah Allah Swt yang lain yang terangkum dalam rukun Islam, di antaranya : 2.Menegakkan Shalat. 3.

Membayar Zakat 4. Berpuasa Ramadhan 5. Menunaikan Haji Pintu-pintu Kebajikan: Di dalam hadiots ini Rasul juga menerangkan sejumlah perbuatan yang mulia di mata Allah. Amalan ini sudah jelas berkaitan dengan tujuan pertanyaan semula, yaitu memudahkan seseorang masuk ke dalam syurga dan menjauhkan dari neraka. Ada tiga amal yang disebutkan di dalam potongan hadits ini; puasa, shadaqah dan shalat malam. 1.Puasa. Puasa yang dimaksud di sini tentu tidak sekadar puasa Ramadhan saja. Karena Puasa Ramadhan sudah tertuang pada bagian pertama Hadits ini. Tetapi yang dimaksud di sini adalah puasa tambahan di luar Ramadhan seperti puasa tiga hari setiap bulan Hijriyah, Puasa Senin dan Kamis setiap pekan, Puasa Sya’ban, Puasa enam hari dalam bulan Syawal, Di sini dikatakan, bahwa puasa itu adalah perisai. Perisai di sini artinya adalah tameng atau benteng yang melindungi seseorang dari ancaman musuh. Jadi puasa diibaratkan sebagai perisai yang melindungi orang Mukmin dari maksiat. Sekaligus melindunginya agar tidak masuk ke dalam neraka. 2.Sedekah (shodaqoh). Maksudnya di sini adalah pemberian di luar zakat. Sedekah diibaratkan Nabi seperti air yang memiliki kemampuan memadamkan api. Demikian juga sedekah, mampu menjadi dinding bagi seseorang agar tidak terjerumus ke dalam neraka.

3.Shalat Malam. Shalat Malam adalah salah satu Ibadah yang sangat disukai oleh Allah Swt. Permintaan hamba yang meminta di tengah malam akan dikabulkan oleh Allah Swt, seperti janjiNya yang tertuang di dalam sebuah hadits Qudsiy. Shalat Malam biasa disebut dengan shalat tahajjud atau qiyamullail, lebih mendekati keikhlasan karena jauh dari pandangan orang banyak. Shalat Malam biasanya dilakukan seseorang sendirian, di rumah atau di kamarnya, tiada yang melihat dan mengetahuinya, kecuali dia dan Robb-nya. Pangkal Agama, Tiang dan Puncaknya Hadits ini juga mengetengahkan tiga istilah (terminology) : (1) Pangkal atau induk persoalan agama (ro’su al-amri), adalah Islam. Pada riwayat Ahmad, dikatakan bahwa pangkal agama adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagiNya, dan bahwa Muhammad Saw adalah hamba dan utusan Allah.” Ungkapan terakhir ini tidak lain adalah dua kalimat syahadah (syahadatain) yang merupakan bukti keislaman seseorang.

(2). Tiang atau Penyangga (‘Amud)nya adalah shalat. Ungkapan ini sebagai tamsil untuk menerangkan betapa kuat dan kokohnya posisi shalat dalam Islam, ibarat tiang bagi sebuah bangunan. Bangunan apalagi dia tinggi, haruslah memiliki tiang, jika tidak, bangunan itu akan runtuh. Jadi Syahadat yang diucapkan seseorang tidak cukup untuk menjaga keislamannya, akan tetapi harus ditopang oleh shalat. Shalatlah yang akan menjadi penghubung antara hamba denga Robb-nya. (3). Puncak (yang paling tinggi) dari dien ini adalah jihad. Hadits ini adalah salah satu di antara sekian banyak hadits yang menerangkan kedudukan Jihad yang sangat terhormat, paling tinggi di antara seluruh amal sholeh yang ada. Ketakutan pada Jihad : Belakangan ini kebanyakan kaum Muslimin, bahkan Ulamanya, enggan menyebut kata “jihad”, seolah-olah Jihad merupakan perbuatan jahat dan tercela. Na’uzubillah minzalik. Kaum Muslimin telah jatuh dalam perangkap musuh Islam yang berusaha menjauhkan terminology jihad dari Islam dan menganggapnya sebagai perbuatan yang tercela. Andaikan mereka terpaksa menyebut Jihad, mereka mencoba lari dari pengertiannya yang hakiki.

Seolah-olah, lidah mereka ingin mengatakan, bahwa di dalam islam itu tidak ada Jihad. Jihad hanya ada dahulu pada awal Islam. Sekarang tidak perlu lagi menyebut-nyebut kata Jihad. Sebagian lain, karena ketakutan serupa, mengatakan bahwa Jihad tak usah diartikan sebagai perang, tetapi banyak amal perbuatan yang tergolong dalam jihad. Merekapun mencari-cari rujukan dari perkataan Ulama terdahulu sebagai dalil/alasan untuk mendukung pendapat mereka ini, dengan mengatakan bahwa pengertian Jihad adalah memberantas syirik, mengajarkan ilmu. Ini sudah cukup diartikan sebagai Jihad. Sebenarnya, para Ilmuwan Muslim tidak perlu kebakaran jenggot mendengar kata jihad, sebagaimana orang-orang non Muislim ketakutan mendengar kata ini. Kalau musuh Islam ketakutan dengan sebutan Jihad, adalah wajar, karena Jihad lah yang membuat mereka menjadi hina, tak berdaya menghadapi Islam. Jihadlah yang menggagalkan tipu daya dan ambisi mereka untuk menaklukkan kamum Muslim. Oleh sebab itu mereka begitu benci dengan Jihad tersebut.

Sedangkan kita, seharusnya menyadari bahwa justru inilah rahasia kekuatan kita sejak dulu hingga sekarang. Kita tak boleh lupa bahwa Jihad dalam arti perang itulah yang mampu mengusir Prancis dari Aljazair, mengusir Belanda dari Indonesia, mengusir Itali dari Libya, mengusir Inggris dari Mesir dan India, serta penjajah-penjajah lainnya dari bumi Islam. Kalau rakyat Aljazair hanya melakukan perundingan dengan Prancis, sampai kapanpun, Prancis tidak akan keluar dari negeri itu. Kalau rakyat Indonesia hanya menghadapi Belanda dengan perundingan dan konperensi belaka, sampai kapanpun Indonesia tidak bakal merdeka. Karena tak masuk akal, Belanda dengan persenjataannya yang lengkap akan kalah menghadapi bangsa miskin dan lemah yang melawan dengan bambui runcing. Tetapi pendahulu kita menghadapi Belanda dan penjajah lainnya dengan kobaran semangat jihad, pekikan “Allahu Akbar”, hingga mereka angkat kaki dari bumi Indonesia. Inilah Jihad. Sebuah perlawanan terhadap kaum yang memusuhi Islam (kuffar). Pengertian ini tak boleh kita simpangkan ke makna lain, sekalipun tidak dipungkiri bahwa kata Jihad itu maknanya dapat diperluas ke bidang-bidang yang lain yang di sana terdapat suatu perjuangan dan perlawanan, seperti jihad pemikiran. Antara Jihad dan Terorisme (irhab): Salah satu strategi Barat akhir-akhir ini untuk melawan Islam, menempelkan jihad pada terorisme dengan tujuan untuk membuat dunia alergi kepada Islam dan bahkan membencinya. Jihad dan terorisme merupakan dua perbuatan yang berbeda secara total. Jihad adalah perbuatan mulia dan terhormat, sedang terorisme adalah perbuatan tercela dan penakut.

Terorisme adalah perbuatan merusak dengan menghancurkan sarana dan prasarana seperti bangunan dan membunuh manusia dengan alasan yang tak dibenarkan oleh Islam. Sementara Jihad adalah perlawanan dari kaum teraniaya dan tertindas terhadap kaum dictator dan penjajah sebagai bentuk mempertahankan diri dan membela agama. Jadi dua perbuatan yang sebenarnya tidak bisa dipertemukan apalagi disamakan. Namun harus kita tegaskan bahwa terorisme adalah istilah yang diciptakan oleh Barat dan pemakaiannya juga sesuai menurut persepsi mereka. Perjuangan melawan musuh atas nama agama (Islam), walaupun musuh itu berlaku zalim dan melakukan penindasan, maka dalam persepsi Barat itu disebut sebagai perbuatan teror. Mari kita kembali sejenak mengingat sejarah Perjuangan di Indonesia.

Dahulu di zaman penjajah Belanda, pihak penjajah menyebut para pejuang kemerdekaan sebagai kaum ekstrimis. Aneh bukan?! Bangsa yang membela dirinya dan bangkit melawan kaum penjajah, disebut kaum ekstrim. Sementara perlakuan penjajah yang tak manusiawi itu, datang merampas kekayaan alam, menindas penduduknya, membunuh putra putrinya, disebut sebagai perbuatan baik. Jadi sebuah istilah yang dipakai, pengertiannya tergantung kepada siapa yang memakainya. Baik positif atau negative. Namun bagi kita umat Islam seharusnya tidak mau tunduk pada keinginan mereka. Tetapi kenyataannya umat Islam berguru kepada Barat dalam segala hal, hingga dalam memahami sebuah istilah yang dipakai secara luas. Ada perbuatan yang benar-benar terror, seperti melakukan pembunuhan dan pengrusakan terhadap sarana dan prasarana tanpa alasan yang dibenarkan oleh dien, semata-mata karena kebencian yang membabi buta, atau kekhawatiran yang berlebihan.

Namun kuat dugaan bahwa perbuatan terror akhir-akhir ini banyak ditumpangi oleh kepentingan Barat dan Yahudi. Karena merekalah yang memetik keuntungan terbesar di balik perbuatan terror itu, bukan umat Islam. Mereka lah yang merumuskan schenarionya dan merancangnya secara detail, tapi dalam perbuatan itu dilibatkan orang-orang Muslim, sehingga yang diumumkan di public, pelakunya adalah Muslim dan jargon yang diangkat adalah jihad. Inilah yang sering dikenal dengan sebutan operasi intelijen. Bahaya Mulut Di dalam Hadits ini, Rasulullah mengingatkan kepada Mu’az suatu hal yang sering disepelekan banyak orang, yaitu bahaya lidah/mulut. Rasulullah menyebut sikap mawas diri terhadap bahaya lidah sebagai ‘kendali semua itu’. Bahkan Rasulullah sebagai bentuk penekanan yang sangat tajam, mengambil lidahnya seraya berkata : “Jaga yang satu ini.” Rasul mengingatkan dengan serius dan menerangkan bahwa kebanyakan orang terjerumus ke dalam neraka, disebabkan oleh karena lidahnya.

Tentu saja yang dimaksud di sini, penggunaan lidah untuk perbuatan yang menimbulkan dosa dan murka Allah swt seperti berbohong, memfitnah, menggosip, menggunjing, memaki, mengejek, menghina dan sejenisnya. Di dalam sebuah Hadits lain diterangkan, bahwa seseorang gara-gara mengeluarkan ucapan yang membuat Allah menjadi murka, akan dilemparkan kelak ke dalam neraka dan mendekam selama empat puluh tahun di neraka itu. Bukankah hadits ini membuat kita menjadi takut untuk berbicara sembarangan? Sedangkan penggunaan lidah untuk perbuatan mulia, seperti menasehati orang, menunjuki orang ke jalan yang benar, berdakwah, emmbaca al-Qur’an, membantah kebatilan yang dilontarkan oleh musuh Islam, justru menuai pahala dan ridho Allah Swt.

Kendati singkat penjelasan Rasul tentang bahaya lidah, namun cukup padat dan memberikan gambaran yang tepat tentang mulut/lidah. Selama yang keluar dari mulut ini adalah kebaikan, maka penggunaan lidah mendatangkan manfaat, tetapi bila yang keluar dari mulut ini kata-kata kotor, fitnah, gossip, gunjing dan lainnya, maka lidah merupakan sumber bencana. Jika kita renungkan semua ini, maka sedikit bicara adalah jalan keselamatan dunia dan akhirat. Mari jaga lidah masing-masing.

Hadits ke 30

ا تعتدوها ، وحرم أشياء فلا تنتهكوها ، وسكت عن أشياء رحمة لكم غير نسيان ، فلا تبحثوا عنها . (حديث حسن رواه الدارقطني وغيره) .

 Artinya :

Dari Jurtsum ibn Nasyir, radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, ia bersabda : “Allah Subhanah telah menetapkan sejumlah kewajiban, maka jangan sia-siakan. Allah telah menetapkan batasan-batasan, maka jangan kalian langgar. Allah mengharamkan beberapa perkara, maka jangan kamu dekati. Dan Allah mendiamkan beberapa hal –karena kasihan kepada kamu bukan karena lupa- maka jangan kamu pertanyakan/ributkan.”  Hadits Hasan dilaporkan oleh Imam ad-Daroquthny dan lainnya.

Tema Sentral :
Hadits ini menjelaskan simplisitas (kesederhanaan) ajaran Islam. Di sana ada kewajiban yang harus dijalankan. Ada batasan-batasan yang tak boleh disentuh (protected area). Ada larangan-larangan yang harus dijauhi dan ditinggalkan. Di luar itu ada ruang yang sangat luas didiamkan (kawasan bebas), tidak diatur secara tegas, agar tidak menyulitkan keadaan umat Islam, bukan karena alpa atau kelupaan. Mahasuci Allah dari sifat lupa.

Penjelasan :
Islam adalah dien yang sederhana dan simpel tapi gamblang. Ajaran Islam tidak berbelit-belit seperti ajaran-ajaran lain di luar Islam. Siapa saja yang ingin mempelajari Islam, dapat memahaminya dengan mudah dan tidak memerlukan waktu berlarut-larut. Adapun yang membuat bertele-tele dan menyulitkan, adalah karena pemahaman sebagian kaum Muslimin, yang terpengaruh oleh unsur-unsur dari luar Islam, seperti pengaruh filsafat Yunani, tasawuf (mistisisme) dan kultur lokal.
Hadits ini menjadi penting karena menjelaskan dengan sistematis kerangka umum Islam dan bagaimana seharusnya seorang Muslim bersikap terhadap kewajiban, batasan, larangan dan kebebasan:

1. Kewajiban.
Allah menetapkan sejumlah kewajiban (faraidh) kepada setiap Muslim seperti Shalat yang harus dilaksanakan lima kali setiap hari, berpuasa sebulan dalam setahun, membayar zakat bagi yang memiliki kelebihan harta sekali dalam setahun dengan jumlah yang sudah ditentukan, melaksanakan haji ke Makkah sekali dalam seumur hidup. Inilah kewajiban pokok setiap Muslim.
Jika kita perhatikan, kewajiban ini cukup sederhana dan simpel. Sasarannya adalah membentuk manusia yang berjiwa bersih, bertakwa kepada Allah Swt, dan takut melakukan pelanggaran dan dosa. Manusia yang jiwanya bersih dan taat beribadah, tentu akan menjauhi dosa. Beginilah kaidahnya. Sebaliknya orang yang hatinya kotor, jauh dari Allah Swt, dengan mudah melakukan pelanggaran atau maksiat. Sebab tidak ada penangkal di dalam hatinya. Tidak ada yang menghalanginya untuk berbuat dosa.
Oleh karena itu Islam mewajibkan Ibadah kepada Allah, selama hidupnya, ada ibadah harian lima kali dalam sehari, ada pekanan, ada tahunan, ada sekali seumur hidup. Dapat dibayangkan bahwa orang yang bersujud kepada Allah lima kali dalam sehari, akan terhindar dari kejahatan dan dosa.
2. Islam juga telah menetapkan batasan yang tidak boleh dilampaui/diterobos. Batasan-batasan ini dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan dan ketenteraman dalam kehidupan umat. Batasan-batasan itu adalah : 1. Batasan dien untuk tidak keluar dari Islam (murtad), 2.Batasan jiwa untuk tidak membunuh manusia dan menumpahkan darahnya, 3. Batasan harta untuk tidak mengambil harta orang (mencuri), 4. Batasan seks untuk tidak berzina, 5. Batasan akal, untuk tidak merusak kesehatan akal dengan meminum atau mengkonsumsi zat-zat yang memabukkan, dan 6. Batasan kehormatan untuk tidak mencemarkan nama baik orang lain dengan menuduhnya dengan tuduhan palsu.
Fitrah manusia yang normal pasti akan menerima ajaran tentang batasan-batasan ini, karena tujuannya tidak lain adalah untuk menjaga ketenteraman masyarakat. Bila kita asumsikan setiap orang menjaga batasan-batasan itu dengan tidak melanggarnya, bukankah itu sosok masyarakat yang ideal dan bahagia? Hidup di dalam masyarakat itu pasti menyenangkan dan menenteramkan. Begitulah dahulu masyarakat Sahabat, generasi awal yang mulia.

3. Larangan.
Islam mengharamkan sejumlah perbuatan dan benda, karena hal itu membahayakan bagi kehidupan dan berakibat buruk bagi si pelaku. Tidak ada perbuatan atau benda yang diharamkan melainkan semuanya mengandung bahaya dan efek buruk bagi si pelaku ataupun orang lain di sekitarnya. Perbuatan yang dilarang antara lain : memakan riba (bunga bank), memakan harta anak yatim, melakukan korupsi, menzalimi orang, memfitnah, mengadu domba, berkhianat, larangan merusak alam dan lingkungan, dan larangan lainnya.
Ada juga larangan dalam soal konsumsi, seperti larangan memakan babi, darah, binatang bertaring (buas), binatang bercakar, narkotika, dan segala benda yang dapat menimbulkan bahaya pada kesehatan manusia.

Hal yang didiamkan/ kawasan bebas:
Di luar perkara-perkara yang disebutkan di atas, ada wilayah yang didiamkan oleh Syari’at. Sudah barang tentu wilayah ini jauh lebih luas dari wilayah sebelumnya yang tergolong kewajiban, batasan, dan larangan.
Kalau kita ibaratkan hidup di dunia ini seperti kawasan yang dikunjungi seperti taman, maka seseorang yang masuk ke dalam taman itu diberi petunjuk dan harus mengikutinya supaya dia selamat sejak mulai masuk hingga keluar dari taman itu. Untuk masuk ke dalam taman itu dan selama berada di dalamnya, ada kewajiban yang harus dipatuhi. Kewajiban-kewajiban itu harus dilaksanakan oleh pengunjung. Kemudian di dalam taman itu ada kawasan yang diproteksi, tidak boleh diterobos. Jika diterobos akan menimbilkan bahaya besar dan bencana. Ada pula larangan-larangan selama berada di dalam taman, demi keselamatan bersama. Tetapi di luar semua itu, ada kawasan bebas (free area), di mana pengunjung boleh menikmati apa yang ada di dalam taman itu. Seperti itulah gambaran sederhana hidup di dunia dalam bimbingan Islam.
Ada persoalan penting mengenai hal yang di”diam”kan yang perlu dijelaskan. Sebagaimana diterangkan di dalam hadits di atas, bahwa banyak hal yang didiamkan oleh Syari’at (al-Qur’an dan Hadits), dalam arti tidak diatur secara tegas dan detail, agar umat Islam tidak menjadi susah.
Ulama menerangkan bahwa persoalan yang didiamkan di sini adalah apa yang didiamkan oleh wahyu pada zaman Nabi Saw. Allah dan RasulNya melarang sahabat untuk memunculkan pertanyaan tentang apa saja, selain dari apa yang sudah diterangkan hukumnya. Masalah-masalah itu dilarang untuk ditanyakan, karena jika ditanyakan kepada Nabi Saw dan Nabi menjawabnya. Jawaban Nabi itu otomatis menjadi dasar hukum yang bisa jadi memberatkan umat Islam. Sekiranya tidak ditanyakan, maka tentu hukumnya tidak disampaikan oleh Nabi Saw. Inilah yang dimaksudkan oleh Firman Allah Swt dalam surat al-Maidah : “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan  kamu. (ayat 101).
Pernah suatu ketika, Rasulullah menerangkan tentang wajibnya haji, lalu ada yang bertanya, apakah setiap tahun ya Rasulullah? Rasul diam sejenak, kemudian berkomentar : Jika ku katakana “ya”, niscaya akan menjadi wajib (setiap tahun) dan kalian tidak akan mampu melaksanakannya.
Namun ada juga yang tak perlu ditanyakan di zaman setelah Nabi wafat; yaitu persoalan-persoalan tawhid yang oleh para Ulama terdahulu (salaf) terlarang untuk ditanyakan detailnya. Contohnya, ayat-ayat yang berkaitan dengan Allah Swt seperti tangan Allah, kursiNya, betisNya, Dia bersemayam di ‘Arasy, dan lainnya yang biasa dikenal dengan ayat-ayat mutasyabihat. Ayat-ayat ini dahulu oleh para ‘Ulama tidak boleh ditanyakan detailnya, cukup dipahami seperti apa adanya dan diimani seperti teks aslinya.
Ada juga persoalan yang tak perlu ditanyakan, karena masih terlalu jauh dari kemungkinan terjadinya. Umpamanya, bagaimana arah kiblat kalau kita berada di bulan atau planet-planet lain? Pertanyaan seperti ini tidak perlu ditanyakan apalagi diributkan, karena masih jauh dari kemungkinan terjadinya.

Masalah-masalah kontemporer :
Hadits di atas tidak boleh disalah pahami dengan mengatakan, segala yang tidak dijelaskan oleh al_Qur’an dan Hadits Nabi, tidak perlu dibahas, karena pada dasarnya dibolehkan. Tentu pandangan ini sangat keliru. Pada dasarnya semua persoalan hidup di dunia ini ada hukumnya dalam Syari’at Islam, namun yang mengetahuinya hanyalah orang-orang berilmu, seperti diterangkan oleh Allah dalam al-Qur’an : “Jika mereka mengembalikannya, niscaya itu akan diketahui oleh orang-orang yang mengistimbath (menetapkan hukum) darinya (al-Qur’an).”
Maka di sini ada keharusan untuk bertanya kepada ahli Ilmu (ulama) seperti diperintahkan oleh al-Qur’an : “Maka tanyakanlah kepada ahli ilmu (zikir), jika kamu tidak mengetahuinya.”
Sekalipun persoalan itu tidak dijumpai secara eksplisit di dalam al-Qur’an atau hadits Nabi, namun para ahli Islam (Fuqaha’) mengetahui hukumnya dengan cara berijtihad yang didasarkan pada al-Qur’an dan Hadits.

Perlu diketahui, persoalan yang dihadapi manusia senantiasa berkembang dari zaman ke zaman. Semakin berkembang sarana kehidupan maka semakin kompleks pula persoalan yang dihadapi manusia. Dahulu mungkin suatu masalah belum muncul, tetapi belakangan terjadi dan bahkan memasyarakat sehingga menuntut jawaban atas statusnya dalam perspektif Syari’at. Seperti masalah perbankan, asuransi, berbagai masalah financial, kedokteran, sains, dan lainnya. Inilah yang menjadi dasar bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Menutup pintu ijtihad berarti secara tidak langsung menganggap syari’at tidak dapat menjawab persoalan-persoalan manusia yang kontemporer. Padahal Syari’at Islam senantiasa relevan di setiap waktu dan tempat (Shalih li kulli zaman wa makan). Namun jawaban itu tidak senantiasa membolehkan atau menjustifikasi semua hal yang sudah terjadi di masyarakat, bisa jadi melarang atau mengharamkan, tergantung pada persoalan itu sendiri. Apabila persoalan itu tidak membahayakan dan tidak melanggar aturan-aturan yang sudah jelas, maka kemungkinan ia diperbolehkan, demikian pula sebaliknya.

Hadits ke 40

عن ابن عمر رضي الله عنهما قال : أخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم بمنكبي فقال : ( كن في الدنيا كأنك غريب ، أو عابر سبيل ) ، وكان ابن عمر يقول : (إذا أمسيت فلا تنتظر الصباح وإذا أصبحت فلا تنتظر المساء ، وخذ من صحتك لمرضك ومن حياتك لموتك ) رواه البخاري

Artinya : Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar – mudah-mudahan Allah meridhai keduanya- ia berkata, Rasulullah pernah memegang pundakku dan mengatakan : “Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau orang yang menyeberang jalan”. ‘Abdullah Ibn ‘Umar pernah berkata : “Bila kamu berada di waktu sore, jangan menunggu besok pagi. Dan bila kamu berada di pagi hari, jangan menunggu sore hari. Persiapkan kesehatanmu untuk menghadapi masa sakitmu. Persiapkan hidupmu untuk menghadapi kematianmu”. Dilaporkan oleh Imam al-Bukhory.
Penjelasan Hadits : Hadits ini kendatipun sangat singkat jumlah katanya, tetapi maknanya sangat dalam. Rasulullah Saw memberikan bimbingan hidup kepada umatnya agar tidak tenggelam dalam godaan dunia. Dunia sangat berpotensi membuat manusia lalai dan tidak menyadari bahwa tujuan hidupnya sebagai manusia adalah beribadah kepada Allah dan beramal untuk akhiratnya. Rasul saw mengarahkan umatnya agar memandang dunia ini sebagai tempat singgahan (transit) atau seperti orang yang menempuh perjalanan panjang. Bila kita renungkan makna “orang asing” secara filosofi, dapat kita katakana bahwa orang asing adalah orang yang tinggal sementara di suatu tempat/negeri dalam rangka menjalankan tugasnya dan setelah itu ia akan meninggalkan tempat tersebut apabila temponya telah jatuh. Begitulah orang asing.

Orang asing jelas berbeda dengan penduduk menetap. Orang yang merasa tinggal sementara di suatu tempat, kampung, negeri, tidak akan mau disibukkan hal-hal yang menyita waktunya. Ia akan berfikir bahwa waktunya singkat sementara tugasnya harus selesai tepat waktu, sehingga ia harus benar-benar berhitung dengan waktu, supaya waktunya tidak terbuang untuk hal-hal yang tak bermanfaat baginya. Kalau hadits ini kita tarik pada kehidupan kita di dunia, subhanallah, kita menyadari bahwa hidup kita selama ini telah berada pada posisi yang salah. Kita justru merasa betah dengan kehidupan dunia, dan membayangkan hidup ini akan berlangsung lama sekali.

Oleh karenanya banyak kegiatan yang sesungguhnya tak terlalu bermanfaat, menyibukkan kita, atau cenderung membuang-buang waktu. Ketika kita membangun rumah tempat kediaman kita, apakah yang terpikir di benak kita? Kita terbayang bahwa rumah ini akan kita tempati sangat lama. Oleh karenanya, kita lengkapi kediaman itu dengan berbagai fasilitas yang membuat hidup nyaman dan betah. Kita isi dengan sarana dan suasana yang membuat kita tahan lama berada di dalam rumah itu. Sebagian orang, membuat di rumahnya kolam renang, ruang berolah raga, ruang untuk bersantai, hiburan dan peralatannya. Bahkan sebagian ada yang menghiasi rumahnya dengan kebun bunga mengoleksi beraneka kembang melati, mawar, anggrek, tanaman-tanaman mewah dan mahal, indah dipandang mata.

Ada juga yang membuat kebun binatang di sekitar rumahnya, seperti jenis-jenis burung, jenis-jenis ikan dan sebagainya. Berapa waktu yang ia habiskan mencari dan mengumpul tanaman dari pameran-pameran tanaman, waktu yang ia habiskan merawat tanaman-tanaman itu. Lain lagi dengan kegiatan di luar rumah yang sudah dirancang untuk membuat hidup ini nyaman dan betah. Ada kegiatan olah raga seperti main golf yang memakan waktu seharian penuh. Begitu juga tenis yang memakan waktu berjam-jam lamanya. Ada kegiatan shopping ke supermarket, mall, ITC yang memakan waktu hampir seharian juga. Kalau orang di Jakarta berbelanja ke Mangga Dua, biasanya pergi pagi, kembali sore.

Waktunya habis berputar-putar di ITC itu dari satu tingkat naik ke tingkat lainnya. Dari satu toko pindah ke toko lainnya. Memilih dan mencari barang yang ia inginkan. La hawla wala quwwata illa billah.Berapa jam waktunya hilang? Lain lagi kondisi macet di Jakarta dan kota besar lainnya yang membuang umur sia-sia. Lain lagi dengan mereka yang setiap akhir pekan punya jadwal istirahat di luar kota seperti di Puncak, Bandung. Berapa jam mereka habiskan untuk naik ke Puncak yang begitu macet sejak hari Jumat. Sesampainya mereka di Puncak, hanya mendapat lelahnya dan langsung tertidur. Begitu pula kembalinya dari Puncak ke Jakarta, jalan penuh sesak dengan kenderaan sehingga menimbulkan macet yang panjang, waktu habis berjam-jam di jalan menuju tol dan di jalan tol. Sesampainya di rumah, akhirnya stress kembali.

Kehidupan orang yang singgah sebentar di suatu tempat jelas berbeda dengan hidup seperti yang kita gambarkan di atas. Orang yang singgah (transit) tidak akan mau disibukkan oleh toko-toko pusat perbelanjaan, tempat istirahat, tempat hiburan,tempat olah raga. Orang yang singgah tidak akan mau membeli barang-barang yang membuatnya akan menjadi repot dan menyita waktunya. Ia hanya menyelesaikan tugas-tugasnya dan bersiap-siap untuk meninggalkan tempat itu dan menyiapkan apa yang harus dibawanya ke tempat tujuan. Beginilah filosofi orang yang singgah di suatu tempat. Atau seperti penyeberang di jalan. Perumpamaan inipun sama dalamnya dengan pengertian ‘orang asing’. Penyeberang di jalan tidak akan mau berlama-lama dalam penyeberangannya. Kalau bisa secepat mungkin ia harus berlalu. Begitu pula umpama musafir yang beristirahat sejenak di bawah pohon melepas lelahnya. Apakah tempat istirahat di bawah pohon berubah menjadi tempat menetap. Tentu tidak.

Seorang musafir sadar betul bahwa ia akan segera meninggalkan tempat itu. Oleh karenanya ia tidak merencanakan untuk berlama-lama di situ. Begitu lelahnya sudah pergi, ia kembali meneruskan perjalanan. Begitu pulalah hidup di dunia. Manusia tida boleh disibukkan dengan perhiasan (assesoris), dan keindahan dunia yang membuai. Karena ia tidak akan hidup lama di dunia. Yang ia harus siapkan adalah bekal dirinya hidup di akhirat yang abadi. Hadits di bawah ini menggambarkan bagaimana Rasulullah memandang dunia ini dan memperlakukannya sebagai sesuatu yang hina. Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Tuhankn pernah menawarkan kepadaku untuk merubah lembah Makkah menjadi emas. Lalu aku katakana: Tidak, ya Tuhanku. Yang aku inginkan, aku sehari kenyang dan hari berikutnya lapar”. Ia mengatakannya tiga kali atau ucapan serupa itu. “Maka ketika aku lapar, aku mengadu kepadaMu dengan segala kerendahan.

Aku mengingatMu. Dan bila aku kenyang, aku bersyukur kepadaMu dan memujiMu.” (dilaporkan oleh Imam at-Tirmizy). Pandangan Ibnu ‘Umar: Hadits di atas mengetengahkan pula pandangan Ibnu ‘Umar terhadap dunia dengan katanya: “Bila Anda berada di sore hari, jangan menunggu besok pagi.” Begitu pula sebaliknya. Apa maksudnya? Apabila kita berada di sore hari, jangan berharap bahwa kita akan hidup besok pagi. Karena belum tentu kita masih hidup esok hari.Tak ada orang yang mengetahui kapan ia harus berpisah dengan dunia ini. Oleh karenanya, apa saja yang bisa kita lakukan sekarang berupa amal soleh, laksanakanlah segera, belum tentu besok, amal itu bisa kita lakukan. Setiap orang harus bersiap diri untuk menghadapi mati, dan ajal itu datang tiba-tiba.

Ungkapan Ibnu ‘Umar itu menggambarkan pola hidup generasi awal yang tidak mau disibukkan oleh urusan dunia. Karena mereka berfikir, bahwa dunia hanya tempat singgah sementara. Begitu juga dalam soal akhirat, mereka tidak mau menunda-nunda amal dan kethoatan.

SUMBER: MARKAS HADITS – Ustaz Daud Rasyid

Kategori:halaman
  1. Belum ada komentar.
  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar