Beranda > halaman > Aqidah Imam Syafi’i’

Aqidah Imam Syafi’i’


Larangan Iman Syafi’i Terhadap Ilmu Kalam dan Berdebat dalam Agama

1. Imam al-Harawi meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman, katanya, Saya mendengar Imam Syafi’i berkata: “Seandainya ada orang yang berwasiat kepada orang lain untuk mengambil kitab-kitabnya yang berisi ilmu-ilmu keIslaman, sementara diantara kitab-kitab itu ada kitab-kitab Kalam, maka kitab-kitab Kalam ini tidak masuk dalam wasiat, karena Kalam ini tidak termasuk ilmu-ilmu keIslaman.

2. Imam al-Harawi meriwayatkan dari al-Hasan az-Za’farani, katanya, Saya mendengar Imam Syafi’i berkata: “Saya tidak pernah berdiskusi dengan seorangpun dalam masalah Kalam kecuali hanya satu kali saja. Dan itu kemudian saya membaca istighfar, minta ampun dari Allah.

3. Imam al-Harawi meriwayatkan dari ar-Rabi bin Sulaiman, katanya, Imam Syafi’i pernah berkata: “Seandainya saya mau, saya akan membawa kitab yang besar untuk berdiskusi dengan lawan pendapatku. Tetapi untuk berdiskusi tentang masalah Kalam, saya tidak suka dikait-kaitkan dengan Kalam.

4. Imam Ibn Battah meriwayatkan dari Abu Tsaur katanya, Imam Syafi’i pernah berkata kepadaku: “Saya tidak pernah melihat orang yang menyandang sedikitpun tentang Kalam kemudian ia menjadi orang yang beruntung.

5. Imam al-Harawi meriwayatkan dari Yunus al-Mishri, katanya Imam Syafi’i pernah berkata: “Seandainya Allah memberi cobaan kepada seseorang hingga ia melakukan larangan-larangan Allah selain syirik, hal itu masih lebih bagus daripada ia mendapat cobaan dengan terperosok kedalam Ilmu Kalam

(Sumber: Aqidah Imam empat, karangan Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al-Khumais, diterjemahkan oleh Ali Mustafa Yaqub, MA)

Pendapat Imam Syafi’i Tentang Sahabat

1. Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Imam Syafi’i, “Allah telah memuji para Sahabat Nabi Shallallahu alahi wasalam didalam al-Qur’an, Taurat dan Injil. Dan Nabi Shallallahu alaihi wasalam sendiri telah memuji keluhuran mereka, sementara untuk yang lain tidak disebutkan. Maka semoga Allah merahmati mereka, dan menyambut mereka dengan memberikan kedudukan yang paling tinggi sebagai shiddiqin, syuhada’ dan shalihin.

Mereka telah menyampaikan sunnah Nabi Shallallahu alaihi wasalam kepada kita. Mereka juga telah menyaksikan turunnya wahyu kepada Nabi Shallallahu alaihi wasalam. Karenanya, mereka mengetahui apa yang dimaksud oleh Rasulullah, baik yang bersifat umum maupun khusus, kewajiban maupun anjuran. Mereka mengetahui apa yang kita ketahui dan apa yang tidak kita ketahui tentang Sunnah Nabi. Mereka diatas kita dalam segala hal, ilmu dan ijtihad, kehati-hatian dan pemikiran, dan hal-hal yang diambil hukumnya. Pendapat-pendapat mereka, menurut kita, juga lebih unggul daripada pendapat-pendapat kita sendiri.

2. Imam al-Baihaqi menuturkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman bahwa ia mendengar Imam Syafi’i memandang Abu bakar adalah paling utama diantara semua sahabat, kemudian Umar, Utsman, dan kemudian Ali.

3. Imam al-Baihaqi juga meriwayatkan dari Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam, katanya ia mendengar Imam Syafi’i berkata: “Manusia yang paling mulia sesudah Nabi Shallallahu alaihi wasalam adalah Abu bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman, dan kemudian Ali radhiyallahu ‘anhum.

4. Iman a-Harawi meriwayatkan dari Yusuf bin Yahya al-Buwaiti, katanya, Saya bertanya kepada Imam Syafi’i: “Apakah saya boleh shalat bermakmum dibelakang orang Rafidhi (Syi’ah)?” Beliau menjawab: “Jangan kamu shalat menjadi makmum orang rafidhi, qadari (penganut paham qadariyah), dan penganut paham murji’aj.” Saya bertanya lagi: “Apakah tanda-tanda mereka itu?” Beliau menjawab: “Orang yang berpendapat bahwa iman itu adalah ucapan saja, maka ia penganut paham Murji;ah. Orang yang berpendapat bahwa Abu Bakar dan Umar itu bukan imam umat Islam adalah penganut paham Rafidhah. Dan orang yang berpendapat bahwa manusia itu mempunyai kehendak mutlak dan dapat menentukan nasibnya sendiri, ia adalah penganut paham Qadariyah.

(Sumber: Aqidah Imam empat, karangan Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al-Khumais, diterjemahkan oleh Ali Mustafa Yaqub, MA)

Pendapat Imam Syafi’i Tentang Iman

1. Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari ar-Rabi’, katanya, saya mendengar Imam Syafi’i berkata: “Iman itu adalah ucapan, perbuatan, dan keyakinan (I’tiqad) didalam hati. Tahukah kamu firman Allah:
“Allah tidak menyia-nyiakan iman kamu” (Al-baqarah:143)

Maksud kata “imanakum” (iman kamu) adalah shalatmu ketika menghadap ke Baitul Maqdis. Allah menamakan Shalat itu Iman, dan shalat adalah ucapan, perbuatan dan i’tiqad.

2. Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Muhammad az-Zubairi, katanya, ada seseorang bertanya kepada Imam Syafi’i, “Apakah amal yang paling utama?” Imam Syafi’i menjawab: “Yaitu sesuatu yang apabila hal itu tidak ada maka semua amal tidak akan diterima. “Apakah itu?”, tanya orang itu lagi. Dijawab oleh Imam Syafi’i: “Yaitu iman kepada Allah dimana tidak ada Illah (yang berhak disembah) selain Dia. Iman adalah amal yang paling tinggi derajatnya; paling mulia kedudukannya, dan paling bagus buah yang dipetik darinya.”

Orang itu bertanya lagi: “Bukankah iman itu ucapan dan perbuatan, atau ucapan tanpa perbuatan?” Imam Syafi’i menjawab: “Iman itu adalah perbuatan untuk Allah, dan ucapan itu merupakan sebagian dari amal tersebut.” Ia bertanya lagi: “Saya belum paham bagaimana itu, coba jelaskan lagi.”

Imam Syafi’i menjelaskan: “Iman itu memiliki tingkatan-tingkatan. Ada iman yang sangat sempurna, ada iman yang berkurang, dan ada iman yang jelas kekurangannya dan ada pula iman yang bertambah.” “Apakah iman itu ada yang tidak sempurna, berkurang dan bertambah?” Tanya orang itu. “Ya”, jawab Imam Syafi’i. “Apakah buktinya?”, tanyanya lagi. Imam Syafi’i menjawab: “Allah telah mewajibkan iman atas anggota-anggota badan manusia. Allah membagi iman itu untuk semua anggota badan. Tidak ada satupun anggota badan manusia kecuali telah diserahi iman secara berbeda-beda. Semua itu berdasarkan kewajiban yang ditetapkan Allah.

Hati misalnya, dimana manusia dapat berpikir dan memahami sesuatu, merupakan pemimpin badan manusia. Tidak ada gerak anggota badan kecuali berdasarkan pendapat dan perintah hati. Begitu pula kedua biji mata, dimana manusia melihat, daun telinga dimana manusia mendengar, kedua tangan yang dipakai untuk memukul, kedua kaki yang dipakai untuk memenuhi keinginan hatinya, lisan yang dipakai untuk berbicara dan kepala dimana terdapat wajah.

Allah mewajibkan kepada hati akan hal-hal yang tidak diwajibkan kepada lisan. Pendengaran diwajibkan untuk melakukan sesuatu yang tidak diwajibkan kepada mata. Kedua tangan juga mendapat kewajiban yang tidak sama dengan kaki. Begitu pula farji mendapat kewajiban yang tidak sama dengan wajah.

Adapun kewajiban yang dibebankan oleh Allah kepada hati adalah iman, maka beriqrar (mengakui), mengetahui, meyakini, ridha, menyerahkan diri, bahwa tidak ada Tuhan (yang Haq) selain Allah, Maha Esa Allah tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak memiliki istri dan anak. Dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah, serta mengakui semua yang datang dari Allah, baik Nabi maupun kitab. Semua itu merupakan hal-hal yang diwajibkan Allah kepada hati, dan hal itu adalah amal (pekerjaan) hati:

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (an-Nahl:106)

Maka keimanan seperti itulah yang diwajibkan oleh Allah kepada hati, dan merupakan pekerjaan hati; dan juga merupakan pangkal iman.

Allah juga mewajibkan kepada lisan, yaitu mengucapkan dan menyebutkan apa yang telah diiqrarkan dan diyakini dalam hati. Allah berfirman:

“Ucapkanlah, “Kami beriman kepada Allah.” (al-Baqarah: 136)

Itulah ucapan-ucapan yang diwajibkan Allah kepada lisan, yaitu mengatakan apa yang ada didalam hati. Dan hal itu merupakan pekerjaan lisan, dan keimanan yang diwajibkan kepadanya.

Allah juga mewajibkan kepada telinga untuk tidak mendengarkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Allah berfirman:

“Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam” (an-nisa’: 140)

Namun ada pengecualian, bila seseorang itu lupa sehingga duduk bersama orang-orang kafir itu. Allah berfiman:

“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (An’am: 68)

Imam Syafi’i kemudian mengatakan: “Sekiranya iman itu ada satu, tidak ada yang tambah dan kurang, maka tidak ada kelebihan apa-apa bagi seseorang, dan semua manusia itu sama. Tetapi, dengan sempurnanya iman, orang mukmin akan masuk ke surga, dan dengan tambahnya iman pula orang-orang mukmin akan memperoleh keunggulan didalam surga. Sebailiknya bagi orang-orang yang imannya kurang, mereka akan masuk neraka.

Kemudian Allah mendahulukan orang beriman lebih dahulu. Manusia akan memperoleh haknya berdasarkan kedahuluannya dalam beriman. Setiap orang akan memperoleh haknya, tidak dikurangi sedikitpun. Yang datang belakangan tidak akan didahulukan; yang tidak muliah (karena rendahnya iman) tidak akan didahulukan daripada yang mulia (karena ketinggian iman). Itulah kelebihan orang-orang yang terdahulu dari ummat ini. Seandainya orang-orang yang beriman lebih dahulu itu tidak mempunyai kelebihan, niscaya akan sama nilainya dengan beriman belakangan dengan orang-orang yang beriman lebih dahulu.

(ditulis dengan ringkasan: (Sumber: Aqidah Imam empat, karangan Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al-Khumais, diterjemahkan oleh Ali Mustafa Yaqub, MA)

Pendapat Imam Syafi’i Tentang Taqdir

1. Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman, katanya, Imam Syafi’i pernah ditanya tentang taqdir, jawaban beliau:

Apa yang Engkau kehendaki terjadi
Meskipun aku tidak menghendaki
Apa yang aku kehendaki tidak terjadi
Apabila Engkau tidak menghendaki

Engkau Ciptakan hamba-hamba
Sesuai apa yang Engkau ketahui
Maka dalam ilmu-Mu
Pemuda dan kakek berjalan

Yang ini Engkau karuniai
Sementara yang itu Engkau rendahkan
Yang ini Engkau beri pertolongan
Yang itu tidak Engkau tolong

Manusia ada yang celaka
Manusia juga ada yang beruntung
Manusia ada yang buruk rupa
dan juga ada yang bagus rupawan

2. Imam al-Baihaqi menuturkan dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i, bahwa Syafi’i mengatakan: “Kehendak manusia itu terserah Allah. Manusia tidak berkehendak apa-apa kecuali dikehendaki oleh Allah Rabbul ‘alamin. Manusia itu dapat mewujudkan perbuatan-perbuatan mereka. Perbuatan-perbuatanitu adalah salah satu makhluk Allah. Taqdir baik maupun buruk, semuanya dari Allah. Adzab kubur itu haq (benar), pertanyaan kubur juga haq, bangkit dari kubur juga haq, hisab (perhitungan amal) itu juga haq, surga dan neraka juga haq, begitu dalam Sunnah Nabi Shallallahu alaihi wasalam.

3. Imam al-Lalaka’i meriwayatkan dari al-Muzani, katanya Imam Syafi’i berkata: “Tahukah kamu siapa penganut paham Qadariyah itu? Yaitu orang yang mengatakan bahwa Allah tidak pernah menciptakan sesuatu sampai hal itu dikerjakan orang.

4. Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Imam as-Syafi’i, beliau berkata: “Kelompok Qadariyah yang oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam disebut sebagai Majusi dari Umat Islam adalah orang-orang yang berpendapat bahwa Allah tidak mengetahui maksiat sampai ada orang yang mengerjakannya.

5. Imam al-Baihaqi juga meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman dari Imam Syafi’i, bahwa beliau tidak mau shalat menjadi makmum dibelakang penganut Qadariyah.

(Sumber: Aqidah Imam empat, karangan Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al-Khumais, diterjemahkan oleh Ali Mustafa Yaqub, MA)

Pendapat Imam Syafi’i tentang Tauhid

1. Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman, katanya, Imam Syafi’i mengatakan: “Barangsiapa bersumpah dengan menyebut salah satu asma’ Allah, kemudian melanggar sumpahnya, maka ia wajib membayar kaffarat. Dan barangsiapa yang bersumpah dengan menyebut selain Allah, misalnya “demi Ka’bah”, “demi ayahku”, dan sebagainya, kemudian melanggar sumpah itu, maka ia tidak wajib membayar kaffarat.

Begitu pula apabila ia bersumpah dengan mengatakan “demi umurku”, ia tidak wajib membayar kaffarat. Namun, bersumpah dengan menyebut selain Allah adalah haram, dan dilarang berdasarkan hadits Nabi: “Sesungguhnya Allah melarang kamu untuk bersumpah dengan menyebut nenek moyang kamu. Siapa yang hendak bersumpah, maka bersumpahlah dengan menyebut asma’ Allah, atau lebih baik diam saja (Shahih al-Bukhary, Kitab al-Aiman wa an-Nadzair, II/530).

2. Imam Ibn al-Qayyim menuturkan dalam kitabnya Ijtima’ al-Juyusy, sebuah riwayat dari Imam Syafi’i, bahwa beliau berkata: “Berbicara tentang sunnah yang menjadi pegangan saya, Shahib-shahib (murid-murid) saya, begitu pula para ahli hadits yang saya lihat dan saya ambil ilmu mereka, seperti Sufyan, Malik, dan lain-lain, adalah iqrar seraya bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah, dan bahwa Muhammad itu adalah utusan Allah, serta bersaksi bahwa Allah itu diatas ‘Arsy dilangit, dan dekat dengan makhluk-Nya, terserah kehendak Allah, dan Allah itu turun ke langit terdekat kapan Allah berkehendak.

3. Imam adz-Dzahabi meriwayatkan dari al-Muzani, katanya, “Apabila ada orang yang dapat mengeluarkan unek-unek yang berkaitan dengan masalah tauhid yang ada didalam hati saya, maka orang itu adalah Imam Syafi’i.”

Saya pernah dengar di masjid Cairo dengan beliau, ketika saya mendepat didepan beliau, dalam hati saya terdapat unek-unek yang berkaitan dengan masalah tauhid. Kata hatiku, saya tahu bahwa seseorang tidak akan mengetahui ilmu yang ada pada diri Anda, maka apa sebenarnya yang ada pada diri Andar?

Tiba-tiba beliau marah, lalu bertanya: “Tahukah kamu, dimana kamu sekarang?” Saya menjawab: “Ya”. Beliau berkata : “Ini adalah tempat dimana Allah menenggelamkan Fir’aun. Apakah kamu tahu bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa salam pernah menyuruh bertanya masalah yang ada dalam hatimu itu?”. “Tidak”, jawab saya. “Apakah para sahabat pernah membicarakan hal itu?”. “Tidak”, jawab saya. “Berapakah jumlah bintang dilangit?”, tanya beliau lagi. “Tidak tahu”, jawab saya. “Apakah kamu tahu jenis bintang-bintang itu, kapan terbitnya, kapan terbenamnya, dari bahan apa bintang-bintang itu diciptakan?”, tanya beliau. “Tudaj tahu” jawab saya. “Itu masalah makhluk yang kamu lihat dengan mata kepalamu, ternyata kamu tidak tahu. Mana mungkni kamu mau membicarakan tentang ilmu Pencipta makhluk itu”, kata beliau mengakhiri.

Kemudian beliau menanyakan kepada saya tentang masalah wudhu’, ternyata jawaban saya salah. Beliau lalu mengembangkan masalah itu menjadi empat masalah, ternyata jawaban saya juga tidak ada yang benar. Akhirnya beliau berkata: “Masalah yang kamu perlukan tiap hari lima kali saja tidak kamu pelajari. Tetapi kamu justru berupaya untuk mengetahui ilmu Allah. Ketika hal itu berbisik dalam hatimu. Kembali saja kepada firman Allah :

“Dan tuhanmu adalah Tuhan yang satu. Tidak ada tuhan (yang Haq) selain Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya didalam penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, bahtera yang berjalan dilautan dengan membawa barang-barang bermanfaat bagi manusia, dan air hujan yang diturunkan Allah dari langit dimana kemudian dengan air itu Allah hidupkan bumi setelah ia mati (gersang) dan Allah menyebarkan diatas bumi semua binatang melata, dan pengisaran angin dan awan yang direndahkan antara langit dan bumi, semuanya itu merupakan tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (al-Baqarah: 163-164)

“Karenanya”, lanjut Iman Syafi’i, “Jadikanlah makhluk itu sebagai bukti atas kekuasaan Allah, dan janganlah kamu memaksa-maksa diri untuk mengetahui hal-hal yang tidak dapat dicapai oleh akalmu.

4. Imam Ibn Abdil Bar meriwayatkan dari Yunus bin Abdul A’la, katanya, Saya mendengar Imam Syafi’i berkata: “Apabila kamu mendengar ada orang berkata bahwa nama itu berlainan dengan apa yang diberi nama, atau sesuatu itu berbeda dengan sesuatu itu, maka saksikanlah bahwa orang itu adalah kafir zindiq”

5. Dalam kitab ar-Risalah, Imam Syafi’i berkata: ” Segala puji bagi Allah yang memiliki sifat-sifat sebagaimana Dia mensifati diri-Nya, dan diatas yang disifati makhlukNya.”

6. Imam adz-Dzahabi dalam kitabnya Syiar A’lam an-Nubala’ menuturkan dari Imam Syafi’i, kata beliau: “Kita menetapkan sifat-sifat Allah ini sebagaimana disebutkan didalam al-Quran dan Sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa salam, dan kita meniadakan tasybih (menyamakan Allah dengan makhluk-Nya), sebagaimana Allah juga meniadakan tasybih itu dalam firmanNya:

“Tidak ada satupun yang serupa dengan Dia.” (as-Syura: 11)

7. Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman, katanya, “Saya mendengar Imam Syafi’i berkata tentang firman Allah:

“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu (hari kiamat) benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka.” (al-Muthaffifin :15)

“Ayat ini memberitahukan kita bahwa pada hari kiamat nanti ada orang-orang yang tidak terhalang, mereka dapat melihat Allah dengan jelas.”

8. Imam al-Lalaka’i menuturkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman, katanya, “Saya datang kerumah Imam Syafi’i, ketika itu datang sebuah pertanyaan kepada beliau, “Apa pendapat Anda tentang firman Allah dalam surat al-Muthaffifin ayat 15, yang artinya, “Sekali-kali tidak, Sesungguhnya mereka pada hari itu terhalang dari (melihat) Tuhannya?”

Imam Syafi’i menjawab: “Apabila orang-orang itu tidak dapat melihat Allah karena dimurkai Allah, maka ini merupakan dalil bahwa orang-orang yang diridhai Allah akan dapat melihat-Nya.”

Ar-Rabi’ lalu bertanya: “Wahai Abu Abdillah, apakah anda berpendapat seperti itu?. “Ya, saya berpendapat seperti itu, dan itu saya yakini kepada Allah”, begitu jawab Iman Syafi’i.

9. Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan, katanya, Dihadapan Imam Syafi’i ada orang menyebut-nyebut nama Ibrahim bin Isma’il bin Ulayah. Kemudian Imam Syafi’i berkata: “Saya berbeda pendapat dengan dia dalam segala hal. Begitu pula dalam kalimat “La ilaha illallah” Saya tidak sependapat seperti pendapatnya. Saya mengatakan Allah berfirman kepada Nabi Musa secara langsung tanpa penghalang. Sedangkan dia mengatakan, bahwa ketika Allah berfirman kepada Nabi Musa, Allah menciptakan ucapan-ucapan yan kemudian dapat didengar oleh Nabi Musa secara tidak langsung (ada penghalang).”

10 Imam al-Lalaka’i meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman, katanya, Imam Syafi’i mengatakan: “Barangsiapa yang mengatakan bahwa al-Quran itu makhluk, maka dia telah menjadi kafir.

11. Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Muhammad az-Zubairi, katanya, Ada seseorang yang bertanya kepada Imam Syafi’i, “benarkah al-Quran itu khaliq (pencipta)?”. Jawab beliau: “Tidak Benar.”. “Apakah al-Quran itu makhluk?”, tanyanya lagi. “Tidak”, jawab Imam Syafi’i. “Apakah al-Quran itu bukan makhluk?”, tanyanya berikutnya. “Ya, begitu”, jawab Imam Syafi’i.

Orang tadi bertanya lagi: “Mana buktinya bahwa al-Quran itu bukan makhluk?”. Imam Syafi’i kemudian mengangkat kepalanya, dan berkata: “Maukah kamu mengakui bahwa al-Quran itu Kalam Allah?”. “Ya, mau”, kata orang tadi. Imam syafi’i kemudian berkata: “Kamu telah didahului ayat:

“Dan jika diantara orang-orang musryik itu meminta perlindungan kepada kamu, maka lindungilah ia, supaya ia sempat mendengar Kalam Allah.” (at-Taubah: 6)

dan ayat:

“Dan Allah telah berbicara dengan Musa secara langsung.” (an-Nisa’: 164)

Imam Syafi’i kemudian berkata lagi kepada orang tersebut: “Maukah kamu mengakui bahwa Allah itu ada dan demikian pula KalamNya? atau Allah itu ada, sedangkan KalamNya belum ada?”. Allah ada, begitu pula Kalamnya.”

Mendengar jawaban itu Imam Syafi’i tersenyum, lalu berkata: “Wahai orang-orang kuffah, kamu akan membawakan sesuatu yang agung kepadaku, apabila kamu mengakui bahwa Allah itu ada semenjak zaman azali, begitu pula KalamNya. Lalu darimana kamu pernah punya pendapat bahwa Kalam itu Allah atau bukan Allah?”. Mendengar penegasan Imam Syafi’i, orang tadi terdiam, kemudian keluar.

12. Dalam kitab Juz al-I’tiqad, yang disebut-sebut sebagai karya Imam Syafi’i, dari riwayat Abu Thalib al-’Isyari, ada sebuah keterangan sebagai berikut:

“Imam Syafi’i pernah ditanya tentang sifat-sifat Allah, dan hal-hal yang perlu diimani, jawab beliau: “Allah Tabaraka wa ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang disebutkan dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa salam, yang siapapun dari umatnya tidak boleh menyimpang dari ketentuan seperti itu setelah memperoleh keterangan (hujjah). Apabila ia menyimpang dari ketentuan setelah ia memperoleh hujjah tersebut, maka kafirlah dia. Namun apabila ia menyimpang dari ketentuan sebelum ia memperoleh hujjah, maka hal itu tidap apa-apa baginya. Ia dimaafkan karena ketidaktahuannya itu. Sebab untuk mengetahui sifat-sifat Allah itu tidak mungkin dilakukan dengan akal dan pikiran, tetapi hanya berdasarkan keterangan-keterangan dari Allah. Bahwa Allah itu mendengar, Allah mempunyai dua tangan:

“Tetapi kedua tangan Allah itu terbuka” (al-Maidah: 64)

Dan bahwa Allah itu mempunyai tangan kanan

Dan langit itu dilipat tangan kanan Allah” (az-Zumar: 67)

Dan Allah juga punya wajah:

“Segala sesuatu akan hancur kecuali wajah Allah” (al-Qashash: 88 )

“Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (ar-RahmanL 27)

Allah juga mempunyai telapak kaki, ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa salam :

“Sehingga Allah meletakkan telapak kaki-Nya di Jahannam” (Shahih Bukhari, Kitab at-Tafsir, VII/594. Shahih Muslim, kitab al-Jannah, IV/2187)

Allah tertawa terhadap hamba-Nya yang mukmin, sesuai dengan sabda Rasululllah kepada orang yang terbunuh dalam jihad fi sabilillah, bahwa “kelah akan bertemu dengan Allah, dan Allah tertawa kepadanya” (Shahih Bukhari, kitab al-Jihad, VI/39. Shahih Muslim, kitab al-Imarat, III(1504)

Allah turun setiap malam ke langit yang terdekat dengan bumi, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu alaihi wa salam tentang hal itu. Mata Allah tidak pecak sebelah, sesuai dengan hadits Nabi Shallallahu alaihi wa salam yang menyebutkan, bahwa “Dajjal itu pecak sebelah matanya. Sedangkan Allah tidak pecak sebelah mata-Nya”. (Shahih Bukhari, kitab al-Fitan, XIII/91. Shahih Muslim kitab al-Fitan, IV/2248 )

Orang-orang mukmin kelak akan melihat Allah pada hari kiamat dengan mata kepala mereka, seperti halnya mereka melihat bulan purnama. Allah juga punya jari jemari, berdasarkan hadit Nabi Shallallahu alaihi wa salam:

Tidak ada satu buah hati kecuali ia berada diantara jari-jari Allah ar-Rahman” (Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, IV/182. Sunan Ibn Majah, I/72, Mustadrak al-hakim, I/525. al-Ajiri, asy-syari’ah, hal. 317. Ibn Mnada, ar-Radd)

Pengertian sifat-sifat seperti ini, dimana Allah telah mensifati diri-Nya sendiri dan Nabi Shallallahu alaihi wa salam juga mensifatiNya, tidak dapat diketahui hakikatnya oleh akal dan pikiran. Orang yang tidak mendengar keterangan tentang hal itu tidak dapat disebut kafir. Apabila ia telah mendenga keterangan sendiri secara langsung, maka ia wajib meyakininya seperti halnya kita harus menetapkan sifat-sifat itu tanpa tasybih (menyerupakan) Allah dengan makhluk-Nya, sebagaimana juga Allah tidak menyerupakan makhluk apapun dengan diri-Nya, Allah berfirman:

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (asy-Syura: 11)

(sumber : Aqidah Imam Empat karangan Syaikh Muhammad bin Abdurrahman al-Khumais. Diterjemahkan oleh Ali Musa Ya’qub, MA)

Kategori:halaman
  1. Belum ada komentar.
  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar